Suasana di dalam mobil agak terasa aneh kali ini, Rayyan tampak terdiam saja, sementara Sasha sibuk dengan ponselnya. Wanita muda itu tidak berceloteh kembali, dan sudah tentu pria itu semakin geram pada sekretarisnya karena dirinya tidak ditanya.
Sudah tentu saat ini pikiran Sasha tertuju pada anaknya yang kini sedang berada di rumah sakit sedang menjalankan pemeriksaan kembali bersama Bunda Fian, dia tidak peduli dengan pria yang ada di sampingnya itu hingga tanpa terasa mereka sudah tiba di kantor kembali.
“Siapkan makan siang untuk saya seperti biasanya,” perintah Rayyan pada Sasha saat mereka keluar dari mobil.
“Baik Pak Bos,” jawab cepat Sasha, lalu dia bergerak berbeda arah dari langkah kaki Rayyan. Rayyan baru mau masuk ke dalam lobby, sementara Sasha belok ke kanan menuju keluar gerbang perusahaan.
“Mau ke mana kamu, Sasha?” tegur Rayyan menyadari Sasha tidak mengikutinya kembali.
Wanita yang disebut namanya menoleh ke belakang berbarengan dengan langkah kakinya yang terhenti. “Mau ke restoran sebelah, katanya Pak Bos mau makan siang,” jawab Sasha.
Rayyan berkacak pinggang. “Memangnya gak bisa apa kamu pesan via delivery, kenapa harus kamu ke restoran. Bilang aja kamu mau ketemu lagi sama calon suami kamu itu! Ayo cepetan masuk ke dalam!” perintah Rayyan agak meninggi suaranya, naik satu oktaf.
Netra Sasha agak memicing, raut wajahnya menampakkan garis herannya, kakinya terpaksa belok ke kiri dan mulai melangkahkan kakinya.
“Perasaan Sasha, dari tadi Pak Bos nyuruh Sasha masuk terus deh! terus kenapa Pak Bos kayak orang marah-marah begitu sih, lama-lama cepet tua loh. Nanti kalau kelihatan tua bakal ditinggalin pacarnya loh!” jawab Sasha dengan santainya.
Tidak usah ditanya bagaimana ekspresi wajah Rayyan saat ini, sudah jelas dia terlihat semakin kesal sama Sasha, entah kenapa dia kayak menahan sesuatu dihatinya, Rafiq pun agak heran juga melihat sikap Rayyan kali ini agak berbeda.
“Kalau saya bilang masuk ya masuk Sasha, pesan delivery saja, gak usah banyak alasan lagi!” sentak Rayyan, dia menggerakkan kepalanya seakan menunjukkan arah pintu lobby.
Sasha jadi memutar bola matanya ke arah Rafiq, dan menatap bingung pada asisten suaminya. Rafiq hanya bisa mengedikkan kedua bahunya saja.
“Iish, sepertinya Sasha harus sholat dzuhur yang khusuk biar dijauhkan dari jin tomang, serem eeey,” jawab Sasha saat melewati Rayyan, lantas dia pun bergegas masuk ke dalam lobby dan meninggalkan bos sekaligus suaminya yang belum ada satu hari jadiannya.
Rayyan menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan secara kasar, lalu kembali melangkahkan kakinya.
“Rayyan, kenapa ya? Kok jadi kayak marahin Sasha ya?” gumam Rafiq dalam batinnya sendiri.
Setibanya di lantai 10, Sasha kembali ke meja kerjanya dan langsung memesan makan siang buat Rayyan serta untuk dirinya juga, di saat yang bersamaan itu juga Rayyan lewat dengan lirikan tajamnya pada Sasha.
“Kenapa pula matanya harus ditajamkan begitu, aneh!” gumam Sasha sendiri.
“Sasha, kayaknya hari ini kamu mesti hati-hati deh, Pak Bos kita lagi sensi semenjak balik dari bank,” pinta Rafiq saat menghampiri meja kerjanya.
Sasha mengernyitkan keningnya hingga garis halus nampak di keningnya. “Bukan urusan Sasha, Pak Rafiq ... siapa suruh sensi, aneh pakai marahin Sasha segala,” jawab Sasha dengan santainya.
“SASHA ... ROYCO ... MASAKO ... AJINOMOTO ... MASUK KE DALAM!” teriak Rayyan dari dalam ruangannya, begitu menggelegar.
Rafiq sempat melayangkan pandangannya ke pintu ruangan CEO yang masih terbuka, lalu kembali melirik wanita berkepang dua itu.
“Tuh kamu dengar sendirikan, semua nama bumbu penyedap rasa sudah disebut semuanya sama Pak Bos,” celetuk Rafiq.
Sasha bangkit dari duduknya dengan tarikan napas beratnya.
“SASHA!” Rayyan kembali berteriak seperti orang tidak sabar menunggu.
“Iya Pak Bos, tunggu sebentar!” sahut Sasha dari mejanya.
“Baek-baek sama suami, jangan suka berantem,” celetuk Rafiq dengan mengedipkan salah satu matanya pada Sasha.
Sasha mendesis jengkel, dan bergegas masuk ke dalam ruangan CEO. Tampaklah Rayyan sudah berdiri dan menyandarkan bokongnya di tepi meja kayu oak yang begitu kokohnya. Netra pria itu agak menajam saat Sasha masuk ke dalam pintunya. Tatapan Sasha pun mulai awas dengan sikap Rayyan.
“Tutup pintunya!”
Ditutuplah pintu ruangan Rayyan tanpa menimbulkan suara.
“Mendekat ke sini!”
Rayyan menunjukkan titik tempat untuk Sasha harus berdiri, jaraknya hanya dua langkah dari posisi Rayyan berdiri.
Sasha terlihat biasa saja, tidak ada raut ketakutannya. Sementara itu sorot mata Rayyan tampak memindai wanita berkepang dua dari bawah hingga ke atas.
“Sejak kapan punya calon suami ... hem?” tanya Rayyan, tatapannya terlihat sangat ingin tahu.
“Sudah lama, memangnya kenapa?”
“Kenapa kamu tidak kasih tahu ke saya kalau sudah punya calon suami! Terus kenapa kamu di depan saya berani dicium pipinya lalu pelukan di depan mata saya sama cowok lain! Saya ini dianggap apa sama kamu! kamu itu gak bisa menghargai saya ya!” cecar Rayyan.
Mulut Sasha mengangga setelah mendengar segala rentetan ucapan bosnya.
“Wait Pak Bos, Sasha mau mencerna ucapan Pak Bos, kayak sedikit aneh di telinga Sasha, coba Pak Bos tarik napas dalam-dalam terlebih dahulu,” pinta Sasha , kemudian dia mendekati meja kerja Rayyan dan mengambil gelas yang sudah terisi air.
“Coba diminum dulu biar agak enakkan hatinya,” pinta Sasha sembari menyodorkan gelas minum milik Rayyan.
Pria itu manut saja atas perintah Sasha dan meneguk air tersebut hingga tandas tanpa membuang sedikitpun pandangan Sasha. Setelah selesai menghabiskan minumannya, Sasha kembali mengambil gelas kosong tersebut dan menaruh kembali pada tempatnya.
“Pak Bos sepertinya melupakan sesuatu, di point ke-3, sesuai kesepakatan awal pihak pertama dan pihak kedua tidak boleh ikut campur masalah pribadi masing-masing, bukankah itu ucapan Oak Bos dari awal,” ucap Sasha dengan raut wajah seriusnya.
“Dan seharusnya Pak Bos tidak harus melontarkan pertanyaan seperti itu sama Sasha, jadi terkesannya Pak Bos cemburu sama Sasha, padahal Pak Bos tidak cemburu sama Sasha'kan. Dan sudah jelas kita tidak punya ada ikatan apapun selain nikah kontrak. Ada gak ... tadi pagi Sasha marah seperti itu sama Pak Bos saat Melisa cium pipi Pak Bos?”
Rayyan terdiam dan tidak menjawab.
“Sasha gak marahkan, karena Sasha tahu batasannya kalau urusan Pak Bos ... Sasha gak bisa ikut campur. Jadi Pak Bos gak boleh menegur dan marah sama Sasha seperti itu,” tutur Sasha begitu lembut, seperti berbicara dengan Raffa anaknya.
Semua yang dikatakan oleh Sasha benar semuanya, dia tidak bisa menyangkalnya namun hatinya tidak bisa menerimanya, entah kenapa?
“Tapi ya gak bisa begitu dong, Sasha. Harusnya kamu tahu posisimu dong sekarang, kamu itu sudah saya nikahi. Saya itu suami kamu! Memangnya kamu pikir saya suka lihat kamu dicium dan dipeluk sama pria lain, jangan sok cantik ya! Saya bilang seperti ini bukan karena saya cemburu sama kamu, tapi tolong hargailah saya!” sahut Rayyan kembali merepet.
Netra Sasha mendelik-delik, dan langkah kakinya tergeser hingga tidak ada jarak di antara dirinya dengan Rayyan, lalu dia mendongakkan wajahnya agar bisa menatap jelas wajah suaminya, maklum lebih tinggi Rayyan ketimbang Sasha.
“Pak Bos, cemburu ya sama Sasha! Pak Bos suka ya sama Sasha?”
DEG!
JLEB!