Andari terus bergantian menatap Angga juga Galuh yang sedang sibuk bercengkrama di dapur.
Gadis itu masih bertanya-tanya, bagaimana Angga yang masih muda itu bisa menjadi ayah dari seorang gadis yang sudah berkuliah.
Galuh tentu saja tak beda jauh usianya dengan sang adik, Kala.
Kalaupun Angga menikah muda, di usia berapa pria itu menikah?
Andari benar-benar dibuat penasaran sampai tak menyadari kehadirannya di ambang pintu dapur membuat orang-orang di sana mengerutkan kening.
“Kak Andari mau ke kamar mandi?”
“Ah? Iya? Kenapa Galuh?”
Sentuhan lembut Galuh di lengannya berhasil membuat Andari menjenggit dan kembali dari lamunan.
“Kak Andari ngelamun, ya? Aku tanya Kak Andari mau ke kamar mandi?” ulang gadis itu.
“Ah, iya. Itu, Kak Andari mau siap-siap sholat magrib.”
Galuh terkekeh. “Masih jam lima, Kak.”
“Hah? Masa?”
Andari lantas melihat jam di pergelangan tangannya. Ia meringis malu karena ketahuan salah melihat jam.
“Kak Andari siwer, ya? Kenapa? pasti gara-gara Ayah aku yang ganteng itu, ya?”
Blush ….
Wajah Andari memerah. Ia sungguh tak menyangka kalau Galuh akan mengatakan hal seperti itu.
Apa tadi saat memperhatikan mereka ia ketahuan, ya? Batinnya gugup.
“Kak Andari kira sudah magrib. Soalnya sudah gelap sekali,” kilahnya.
“Sepertinya mendung. Mau hujan, Nak Andari. Ayo sini duduk!” ucap Sumarni mempersilakan tamunya itu mendekat.
Gadis itu baru saja selesai menerima telepon dari Damar yang mencemaskan dan menanyakan perkembangan pencarian ayah kandungnya.
Andari mendadak gugup dan malu. Wanita itu duduk di depan Angga yang tak peduli sama sekali dan memilih fokus mengunyah pisang gorengnya.
“Monggo dicicipi, Nak Andari. Ini pisangnya dari kebun di belakang.”
“Iya. Enak, Kak Andari. Ayah aku loh yang nanem sendiri.”
Andari hanya tersenyum. Apa pentingnya juga Galuh mengatakan kalau pisang yang sekarang sudah jadi makanan enak itu ditanam oleh Ayahnya?
Memangnya ada perbedaan kah? Apa akarnya jadi berbentuk kepang seperti rambut hanya karena Angga yang menanamnya? Tidak bukan.
Andari pun mengangguk lalu mengambil satu buah pisang.
“Aawww!” Semua orang reflek menatap gadis itu.
“Kak Andari laper, ya?”
Andari terkekeh. “Wangi sekali soalnya,” akunya jujur.
“Iya. Tapi masih panas, Kak.”
Angga dengan cepat memberikan tisu agar wanita itu bisa menggunakannya untuk mencomot pisang goreng.
“Pakai ini biar tidak panas.”
“Iya. Makasih.”
Pria itu hanya mengangguk kecil dengan datar wajah. Tanpa ekspresi juga tanpa senyum. Benar-benar beku seperti kulkas dua pintu.
“Hati-hati, Nak Andari. Masih panas.”
“Iya, Bu.”
Andari memilih menunggu pisangnya lebih dingin dulu lalu menatap Galuh yang duduk di sebelahnya.
“Kita tadi ninggalin motor sewaan di parkiran alun-alun. Apa tidak masalah ya?”
Galuh langsung menepuk jidatnya kencang. Ia baru ingat dan malah mengajak Andari dengan memaksanya dibonceng sepulang dari kedai eskrim.
Gadis itu lantas menatap ke arah Angga yang sedang menikmati teh dan pisang gorengnya lagi.
“Ayah punya kenalan tukang parkir alun-alun kan? Motor sewaannya Kak Andari tadi ditinggal di sana.”
“Sebelah mana?”
“Sebelah mana, Kak?” ulang Galuh saling menatap Andari.
Andari menggaruk kepalanya pelan. “Sebelah mananya Kak Andari lupa. Tapi nggak jauh dari tempat kita ketemu tadi kok.”
“Deket tugu nol kilometer, Yah. Gimana?”
“Nanti Ayah cari tahu.”
Singkat padat dan jelas balasan dari laki-laki itu tanpa menatap Andari.
“Nanti kita anterin Kak Andari ya, Yah?”
“Ya dianter to, Nduk. Moso ndak dianter,” sahut Sumarni.
“Ya, siapa tahu Ayah males. Ayah kan gitu kalau aku minta anterin temen-temenku aja, Mbah.”
Sumarni terkekeh. “Masalahnya temen-temenmu itu senang goda Ayahmu. Jadinya Ayahmu ndak suka.”
"Namanya juga usaha to, Mbah. Siapa tahu Ayah mau kasih Galuh ibu baru."
Sumarni terkekeh sedang Galuh sudah berdecak gemas. Ayahnya itu memang seperti kulkas dua pintu. Kaku dan dingin pada orang yang tidak dikenalnya.
“Nak Andari ke sini dalam rangka apa?” buka Sumarni usai memindahkan pisang goreng terakhir ke piring.
Andari mendadak seperti ditampar lagi. Dan raut itu tak lepas dari penglihatan Angga dan Sumarni.
“Saya mau cari Ayah kandung saya, Bu.”
Wanita dengan rambut beruban itu tampak tertegun sesaat. Tak enak hati usai bertanya kemudian memilih tersenyum menanggapi. Seolah apa yang dikatakan Andari bukan sesuatu yang aneh.
“Memangnya Ayah Nak Andari tinggal di mana?” tanyanya lembut.
“Saya juga nggak tahu, Bu. Karena di alamat lama nggak ada yang tahu pindahnya ke mana.”
Obrolan itu seharusnya bisa lebih panjang lagi. Namun Sumarni memilih tak bertanya lebih lanjut begitu melihat kode gelengan dari Galuh.
Sementara Angga, pria itu masih konsisten dengan wajah datar sedatar penggaris besi. Seolah apa yang diutarakan Andari tidak terlalu menarik rasa penasarannya.
“Rencannya berapa lama Kak Andari mau tinggal di sini?” alih-alih Galuh.
“Mungkin satu minggu atau sampai Ayah kandung Kak Andari bisa ditemukan.”
“Setelah itu Kak Andari mau ke mana lagi?”
“Pulang ke Bandung. Kak Andari sudah diterima pengajuan beasiswa ke Inggris. Kalau semua berjalan lancar, dua bulan lagi sudah bisa berangkat.”
Galuh mengangguk paham. “Ayah, aku kalau ambil S2 di luar negeri boleh ndak?”
Sumarni terkekeh. “Kamu itu loh, kuliah sarjana saja belum lulus.”
“Ya kan harus direncanakan dari sekarang, Mbah. Kak Andari juga pasti udah ngerencanai lama untuk kuliah ke Inggris. Iya kan, Kak?”
Andari termenung, seolah diingatkan lagi tentang hubungannya dan Pras. Juga alasan kenapa ia mengambil S2 sampai ke Inggris.
Gadis itu tersadar sebelum akhirnya mengangguk pelan. Namun, mendung menggelayuti wajah ayunya kemudian.
Tiga orang lain yang duduk di sana saling menukar tatapan.
Imbuh Sumarni, “Ibu doakan semoga urusannya lancar ya, Nak Andari.”
“Aamiin. Terima kasih, Bu.”
Wanita yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu tersenyum tulus dan hangat.
Galuh ikut menimpali, “Iya. Galuh juga bakal doain Kak Andari. Ayah juga kan?”
Angga yang sedang fokus mengunyah langsung tersedak karena kaget namanya dicatut.
“Mangan mbok alon-alon to, Le.”
“Aku ta ke kamar dulu ya, Bu. Siap-siap.”
Sumarni mengangguki sang anak. Angga berdeham lalu bangun dari duduk dan berlalu ke kamarnya.
Andari, Galuh juga Sumarni memilih tetap berbincang di dapur sambil menghabiskan pisang goreng hingga kumandang adzan magrib terdengar.
Mereka sholat berjamah dengan Angga sebagai imamnya lalu makan malam dan Andari pamit pulang di antar pria itu bersama Galuh.
“Yah, jalan-jalan dulu ke angkringan, ya?” bujuknya. "Jajan sambil nonton live musik to. Ajakin Kak Andari. Pasti belum pernah kan, Kak?”
Gadis itu menoleh ke belakang. Andari menggeleng pelan menjawab pertanyaan terakhir gadis itu.
“Tuh, Yah. Kita ke sana dulu ya? Mumpung ada Ayah.”
“Memangnya kamu juga baru ke sana Galuh?” tanya Andari ragu.
“Ndak juga sih, Kak. Cuma kalau nggak sama Ayah seringnya ndak boleh. Ayah kan gitu, pakar posesif se-Jawa Tengah dan Yogyakarta.”
Andari ingin terkekeh namun urung. Gadis itu lalu menoleh ke arah Angga yang tak sengaja juga menatapnya dari kaca spion tengah.
Andari pun terkesiap saat netra mereka bertemu. Angga langsung berdeham dan Andari memutuskan tatapannya dengan cepat.
Galuh yang sempat menangkap interaksi manis itu hanya bisa mengulum senyum.
“Gimana, Yah?”
“Besok lagi saja. Ayah lelah. Hari ini habis panen,” terangnya.
“Ih, Ayah ndak asik.”
“Kayaknya mau hujan juga Galuh,” timpal Andari. “Kak Andari pengen istirahat. Lain kali saja, ya?”
“Gitu ya?” Galuh menatap kecewa pada Andari tapi akhirnya, “Oke deh.”
Tiba di tempat Andari memarkirkan motornya tadi, Angga turun lebih dulu dan menemui seseorang.
“Kuncinya mana?” tanya pria itu begitu kaca pintu mobil di sebelah Andari diturunkan.
Gadis itu hendak turun ketika Angga mengulang, “Kuncinya saja. Biar teman saya yang bawa.”
Galuh bersorak dalam hati. “Iya, Kak. Udah malem. Kak Andari nggak bawa jaket juga. Nanti kalau beneran hujan, repot. Biar dibawain sama temen Ayah aja. Hotelnya di mana?” tutur Galuh panjang lebar sekaligus senang.
Menimang-nimang, gadis itu pun mengangguk setuju. Andari memberikan kunci motornya dengan cepat lalu memberitahukan di mana ia menginap.
Mobil pun melaju kembali meninggalkan alun-alun beriringan dengan kendaraan motor yang Andari sewa melaju kembali ke tempat penyewaannya.
Dan begitu mereka tiba di hotel, seorang pria yang ditaksir seusia Angga sudah menunggu sambil membukakan pintu untuk Galuh.
“Suwun, Om!”
“Yo!”
“Ini yang anter motor Kak andari tadi,” terang Galuh menunjuk pria gondrong bertato itu.
“Terima kasih sudah membawakan motor saya. Ini, untuk beli rokok.”
Andari memberikan uang lima puluh ribu rupiah pada pria yang awalnya menolak itu.
“Ndak usah, Mbak. Ndak masalah kok. Wong cuma bawain motor aja ke sini.”
Andari memaksa, dan pria itu akhirnya mau menerima setelah mendapat anggukkan kecil dari Angga.
“Wes, ditompo, Om. Ditukuke sate. Gaek mangane para krucil.”
“Mas-nya punya anak berapa memang?”
Andari penasaran.
Galuh terbahak. Sementara pria itu sendiri menggaruk kepala sambil meringis malu.
“Maksudnya kucing jalanan Kak Andari.”
“Oh, gitu? Maaf. Kak Andari kira anak manusia.” Gadis itu tersenyum malu.
“Iya. Om Baron suka kasih makan kucing jalanan di sekitar tempat dia markirin tadi, Kak,” terang galuh.
“Suka kasih makan kucing juga ternyata.”
Pria itu mengangguk. “Inggih, Mbak. Tapi ya gitu. Paling tak belikan nasi kucing dicampur sate. Kalau beli makanan kucing malah pada ndak suka. Aneh,” ujarnya.
Andari mengangguk paham lantas mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu lagi dan memberikannya pada pria itu.
“Ealah, kebanyakan to, Mbak. Iki wae wes cukup.”
“Nggak papa. Ini hadiah saya buat kucingnya. Yang tadi buat Mas-nya. Anggap aja rezeki mereka tapi lewat saya.”
“Rezeki, Om. Ayo diterima! Ojo ditukoke udud yo!” ancamnya Galuh sedikit galak.
“Matursuwun nggih, Mbak.”
Andari mengangguk lalu pamit pada mereka semua.
“Kak Andari!” Gadis itu menoleh lagi saat di depan pintu masuk hotel.
“Iya?”
“Selamat istirahat ya? Semangat!”
Galuh berseru sambil mengacungkan kepal ke langit. Andari tersenyum manis. Senyum yang membuat Angga sedikit tertegun karena bayangan wajah seseorang yang sekelebat muncul di diri Andari.
“Kak Andari masuk dulu, ya? Kalian hati-hati pulangnya.”
Lalu gadis itu mengangguk lagi sambil menatap ke arah Angga dan Baron.
Galuh ikut melambaikan tangan bersama Baron sementara Angga masih terpekur dengan kenangannya.
“Ayah?!” seru sang anak mengentak lamunannya.
Pria itu gelagapan sesaat. “Iya?! Kita pulang sekarang?”
“Emange Ayah mau nginep di sini?” godanya ditimpali gelak tawa Baron.
“Bapakmu kasmaran maneh po, Luh? Opo mbok nginget-nginget mantane?”
“Hush! Mantan rasah diinget-inget, Om. Marai loro.”
Angga memilih berlalu dan masuk ke dalam mobil. Meninggalkan kedua orang yang kemudian terkekeh puas karena menggodanya.
Sementara itu, Andari yang tiba di kamarnya menyalakan lampu dan berjalan ke arah jendela untuk menarik tirai.
Dari lantai tiga kamarnya sana, ia bisa melihat mobil milik Angga melaju meninggalkan halaman parkir hotel.
Gadis itu mengela napas sebelum akhirnya mengambil pakaian ganti dan masuk ke kamar mandi.
Bersambung ....