Keesokan harinya, Andari kembali menyewa motor untuk menuju tempat terakhir ia menemukan petunjuk tentang Ayah kandungnya.
Andari tahu, mungkin kedatangannya akan sia-sia. Namun hanya itu jalan satu-satunya yang bisa ia upayakan mengingat untuk pergi ke pusat data kependudukan akan kesulitan.
“Coba, Mbah inget-inget lagi. Mungkin Mbah pernah ngobrol sama keluarganya,” ucap Andari penuh harap pada laki-laki sepuh di hadapannya itu.
Tetangga yang sempat Andari datangi dan tanyai bersama Pak RT kemarin saat mencari keberadaan orang-orang yang mungkin ingat sosok ayah kandungnya sebelum pindah rumah.
“Memangnya Mbak ini kenapa to cari Pak Hartanto? Ada keperluan apa?” tanya seroang wanita yang adalah anak dari laki-laki sepuh yang Andari tanyai itu.
Andari sedikit gelagapan setelah ditanya anak dari pria yang katanya dulu ingat kalau Ayah kandung Andari itu memang tinggal di sini.
“Saya hanya ingin bertemu. Ada yang mau saya sampaikan.”
“Apa?”
Pertanyan singkat itu terlalu masuk ke dalam ranah pribadi seharusnya. Namun Andari memaklumi meski pada akhirnya ia juga tak mengungkapkan apapun untuk menjawab rasa penasaran wanita itu.
“Sebetulnya kenapa mereka pindah? Soalnya kalau saya lihat rumahnya bagus. Lingkungannya juga nyaman. Tetangganya baik-baik,” pancing Andari.
Wanita yang Andari taksir berusia empat puluhan tahunan itu celingukan ke kiri dan ke kanan. Membuat Andari mengikuti gerakannya untuk memastikan. Seolah adala bahaya di sekitar mereka.
“Mbaknya masuk dulu yuk! Bapak saya sudah waktunya minum obat,” katanya.
Memang, saat Andari datang ke rumah mereka waktu masih sangat pagi sekali. Untung saja Andari juga tidak diusir karena bertamu pagi sekali ke rumah orang lain.
Wanita pemilik rumah itu lantas membawakan Andari minum usai mengurus obat ayahnya.
“Dulu, gosipnya anak Pak Hartanto itu hamil di luar nikah. Nah, buat meredam gosip, mereka itu katanya pindah.”
“Jadi begitu?” lirih Andari. “Terus Ibunya nggak tahu sama sekali ke mana mereka pindah?”
“Waktu itu sih ada sepupu saya yang datang dari Solo. Terus dia cerita ketemu sama anaknya Pak Hartanto di Semarang. Dan sedang hamil. Batinku ya jadinya mikir bener to kalau mereka pindah itu biar ndak ketauan kalau anaknya hamil.”
Andari mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sepupu Ibu kenal sama anaknya Pak Hartanto?”
“Satu sekolah, Mbak. Dulu sepupu saya itu tinggal di Semarang sama Simbahnya. Nah anaknya Pak Hartanto itu juga tinggal sama Mbahnya dan sekolah di Semarang sampai SMP.”
Andari mengangguk paham. Berarti kemungkinan ayahnya juga ada di Semarang saat ini, batin Andari.
“Kalau saya minta nomer sepupunya Ibu boleh nggak? Barangkali dia masih kontak-kontakan sama anaknya Pak Hartanto itu.”
“Sek. Tak ambil hpku dulu, ya?”
Andari mengangguk. Gadis itu menoleh dan mendapati Simbah yang kadang ingat kadang pikun itu menatapnya.
“Kowe anake Hartanto po?”
Andari tertegun. Meski iya yakin sang kakek hanya nyeletuk, nyatanya kalimat yang diucapkan pria sepuh itu sukses membuat mata Andari memerah.
Apakah wajahnya memang mirip dengan Ayah kandungnya sampai Simbah mengatakan hal itu?
“Memangnya kami mirip ya, Mbah?”
Pria sepuh itu menggeleng. Andari mendesah lega.
Mungkin Simbah hanya menebak asal saja. Namun tebakannya sukses membuat jantung Andari hampir saja loncat dari tempatnya.
Anak dari Simbah itupun kembali sambil membawa ponsel dan menyebutkan sederet angka yang kemudian Andari simpan di ponselnya.
“Sekali lagi terima kasih ya, Bu. Maaf saya sudah nggak sopan datang ke sini pagi-pagi sekali.”
Wanita itu hanya mengangguk. Lalu mengantar Andari sampai pintu rumahnya.
Andari meninggalkan kediaman mereka dengan mengendarai motor sewaannya lalu berhenti di pinggir jalan sebentar.
Jantungnya masih berdebar. Bukan karena pertanyaan Simbah tadi, tapi karena Andari akhirnya menemukan petunjuk yang lebih mengurucut tentang di mana keberadaan ayah kandungnya.
“Semoga ini petanda baik.”
Andari menarik dan menghela napas berulang kali guna meredakan kegugupannya.
Barulah setelahnya gadis itu kembali melaju dengan motor sewaannya untuk mencari tempat makan.
Andari belum sarapan sama sekali. Padahal jam sudah menunjuk angka delapan.
Gadis itu pun membuka google maps dan mencari referensi tempat makan yang enak dan cocok dijadikan menu sarapan terlambatnya.
Setelah berselancar, Andari akhirnya memutuskan pergi ke jalan Johar Nurhadi, Kotabaru.
Andari memesan semangkuk bubur ayam juga es dawet segar yang diberi toping eskrim di sebuah kedai yang cukup ramai saat ia tiba.
“Silakan dinikmati, Mbak.”
“Makasih, Mas,” sahut gadis itu dengan senyum ramah pada sang pelayan yang membawakan pesanannya.
Matanya langsung berbinar begitu melihat menu bubur dihadapannya yang ditata sedemikian rupa.
Toping ayam, bawang merah goreng juga bawang daun segar, cakue, serta kacang itu dibubuhkan mengelilingi.
Terakhir ada telur ayam kampung bagian kuningnya saja yang diletakkan di tengah-tengah dan semakin mempercanting set makanan tersebut.
“Enak banget ini kayaknya. Ayah sama Kala pasti suka. Mereka kan penggemar bubur Ayam nggak diaduk,” kekehnya bermonolog.
Tak lupa sebelum mengaduknya, Andari mengambil gambar makanan yang ia pesan dan mengirimkannya pada sang Ayah.
Sesuai pesan Damar yang meminta Andari harus mengabarkan apapun dan di manapun semua kegiatan yang gadis itu lakukan selama di Yogya.
Ayah : “Sepertinya enak”
Ayah : “Apa Ayah susul ke sana saja, ya?”
Andari : “Apa deh Ayah mah”
Andari : “Ayah kan kerja”
Ayah : “Nanti kita liburan sama-sama sebelum kamu pergi ke Inggris, ya?”
Andari : “Iya”
Andari : “Andari makan dulu ya, Ayah”
Ayah : “Iya, Nak”
Ayah : “Terima kasih sudah mengabari Ayah”
Ayah : “Jaga kesehatan kamu”
Ayah : “Ayah sayang Andari”
Ayah : “Selamanya”
Ayah : “Jangan lupa kabari Bunda ya, Nak.”
Andari yang sedang mengaduk-ngaduk buburnya sambil membaca pesan dari Damar pun seketika menghentikan gerakan tangannya.
Meletakkan sendok yang dipegangnya, Andari kemudian fokus membuka room chat-nya bersama sang Bunda dan mengetikkan sebuah pesan yang kemudian urung dikirimkannya.
Gadis itu mendesah berat dan panjang lantas memilih mengahapus semua kalimat yang sudah diketik dan siap dikirimkan pada Bunda-nya itu.
Dimasukkannya kembali benda canggih berbentuk pipih itu ke dalam tasnya lagi sebelum fokus menghabiskan makanan dan minumannya.
“Alhamdulillah. Kenyang juga," lirihnya usai menghabiskan semua makanan dan minumannya.
Andari lalu mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomer yang tadi didapatnya dari anak Simbah.
Ada nada sambung yang terhubung. Namun tak ada jawaban dari si empunya nomer.
“Aku telepon nanti aja gitu, ya? Jam makan siang?” monolognya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.
Setelah itu, Andari pun memutuskan mengirimkan pesan panjang yang berisi salam, perkenalan diri dan dari mana ia mendapatkan nomer yang dihubunginya itu.
Kemungkinan si pemilik nomer juga enggan menerima telepon dari orang atau nomer yang tak dikenalnya.
Tapi, setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pesan yang ia kirim lewat whtasapp itu masih centang abu. Tanda belum dibaca oleh si penerima.
“Lagi kerja mungkin ya. Aku nggak tanya tadi sodaranya kerja apa,” monolognya lagi kemudian berpikir sejenak dan memutuskan pergi dari sana setelah membayar semua makanan yang ia habiskan.
Andari pun melajukan kendaraannya ke tempat lain. Cukup lama dan kesulitan karena tujuannya kali ini adalah Candi Prambanan.
Andari sesekali berhenti untuk mengecek aplikasi maps, memastikan jalan yang ia lalui sudah benar.
Ya, sambil menunggu nomer yang dihubunginya membalas Andari memilih jalan-jalan ke Prambanan pagi menjelang siang itu.
Mumpung masih hari kerja. Andari pikir lokasi yang ia datangi tidak akan terlalu ramai nantinya.
Namun, dugaan Andari salah. Prambanan siang itu cukup ramai karena didatangi satu bus rombongan turis asing dari Jerman.
Meski begitu hal tersebut tak menyurutkan keinginan Andari untuk menelusuri kemegahan candi yang menyimpan banyak jejak sejarah dan masih terawat baik sampai hari ini.
Sesekali Andari juga mengekori rombongan yang dipandu dua orang tour guide asal Indonesia itu.
Mendengarkan story telling mereka dalam bahasa inggris sambil mengabadikan beberapa sudut gambar dengan kamera ponselnya.
Andari menoleh karena bahunya ditepuk pelan seseorang dari belakang.
“Sory.”
“Yes? Can I help you?”
“If you don’t mind, can you take picture of us?” tanya seorang gadis bule pada Andari.
“Oh, sure. With this? What Should I do then?”
“Ya. Just shut this button,” unjuk gadis bule itu pada kamera miroless yang diberikannya pada Andari.
“Okay!”
Tiga orang gadis bule yang Andari duga kakak beradik itu pun bergaya sesuai keinginan mereka.
Andari cukup memencet shutter kamera dan mengarahkan sudut kamera yang bagus sampai ketiga gadis bule itu puas bergaya bersama.
“Can I take picture with you too?”
“Oh sure!”
Andari lantas berpose selfie dengan gadis bule itu menggunakan ponsel milik salah satu dari mereka dan dirinya juga.
Usai mengambil beberapa pose dan gambar bersama kedua adik gadis bule itu, mereka lalu ngobrol sebentar dan bertukar media sosial sebelum berpisah.
Andari mencari tempat makan lalu mengecek pesan w******p yang ditunggu dan ternyata sudah dibaca sang empunya.
Sambil menunggu pesannanya dibuatkan, Andari pun menjelaskan sedikit kenapa ia ingin bicara dengan si pemilik nomer. Namun, lagi-lagi pesan itu hanya centang dua abu.
Andari berusaha sabar. Mungkin sang pemilik nomer memang sibuk, bekerja atau sedang banyak urusan.
Andari pun memilih makan. Lalu setelahnya Andari melanjutkan perjalanan ke sebuah pantai yang cukup sepi siang ini.
Ya, tentu saja sepi. Jarang yang mau ke pantai siang hari begini kecuali orang-orang yang memang sengaja ingin berjemur dan membuat kulitnya menggelap.
Namun, langit yang berawan dan cukup teduh itu membuat Andari jadi tertarik berjalan-jalan di sekitar pantai sambil menjejalkan kakinya ke air laut yang menyapu pesisir.
Menatap ke arah lautan yang luas dan biru, sejenak Andari memikirkan kembali apa yang akan ia lakukan kalau ternyata kali ini dirinya bisa bertemu dengan sang Ayah kandung.
Napas gadis itu dibuang dengan kasar kemudian. Langkahnya kembali mengayun menuju warung yang ada di sekitar pantai.
Andari memesan es jeruk yang kemudian ia campur dengan air kelapa muda yang dipesannya juga.
Tenggorakannya pun terasa segar setelah di aliri minuman yang menyejukkan dahaganya.
Andari kembali mengecek ponsel dan memastikan lagi ada pesan yang masuk atau tidak.
Tak ada bunyi notifikasi pesan masuk. Dan seharusnya dengan hal itu saja Andari tahu kalau pesannya masih belum dibalas.
Dengan berat hati, karena hari sudah menjelang sore, Andari pun memutuskan pulang.
Perjalanan yang cukup jauh ditempuh dengan kecepatan rendah serta beban pikiran yang cukup mengganggu, membuat perut gadis itu jadi lapar lagi.
Andari pun berhenti di tepi jalan. Membuka aplikasi laman pencarian guna memilih tempat makan yang dekat dengan hotel tempatnya tinggal.
“Kata Kala di sini ada acara pertunjukkan kabaretnya. Makan di sini aja gitu, ya?”
Kepala gadis itu pun mengangguk-angguk yakin setelah melihat review yang dibacanya.
Andari memang termasuk gadis yang tidak pernah traveling sendiri. Jika tidak dengan keluarganya, keluarga Pras, Andari pasti pergi dengan Kala atau sepupu-sepupunya.
Karena itu, ini adalah pengalaman pertama Andari bepergian ke luar kota sendiri.
Bahkan dengan beraninya gadis itu menyewa motor untuk akomodasinya keliling Yogya mulai dai kemarin dan seharian ini.
“Ya udah deh. Makan di Raminten aja. Habis itu nonton kabaretnya,” pungkasnya bermonolog lagi.
Andari pun menyalakan mesin motornya. Menarik gas lalu belok ke arah kiri jalan tepat saat ponselnya berbunyi.
Andari yang yakin kalau bunyi notifikasi pesan w******p itu dari orang yang ditunggunya reflek menarik rem, dan ….
Brakkk ….
Karena tak siap saat belok dan kendaraan di belakangnya pun terkejut, kecelakaan itu pun tak dapat dihindari.
“Aduh! Sakit.”
Andari jatuh tertimpa motornya. Tubuh wanita itu juga bahkan terseret sedikit karena motor yang dikendarainya juga terdorong ke depan.
Seketika jalanan jadi ramai. Pengendara mobil yang menabraknya dari belakang pun segera turun dan memeriksa.
“Kamu tidak apa-apa?”
Andari mendongak dan membeliak sambil berseru, “Lho?”
“Andari?!”
"Mas Angga?!"
"Kamu ndak papa?"
Andari bingung harus menjawab apa. Gadis itu masih syok karena ditabrak dari belakang. Belum bisa memastikan apa yang sakit yang dirasakannya karena terdistraksi keterkejutan yang membuat pikirannya mendadak linglung.
Baru setelah Angga membantunya berdiri, Andari merasakan pergelangan kakinya sakit.
"Mana yang sakit?"
"Kakiku, Mas. Kayaknya terkilir pas jatuh tadi."
"Bisa jalan?" Andari menggeleng.
Angga menatap gadis itu dengan tatapan datar namun sorot matanya jelas menunjukkan rasa bersalah.
"Saya gendong kamu keberatan?"
Bersambung .....