Berhari-hari itu, Damar lah yang menjaga dan merawat Andari selama di rumah sakit.
Pria itu rela berangkat kerja dari sana dan pulang ke sana meski sesekali Bunda dan Adiknya gantian menjaga. Hingga Andari dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang
Andari dan Damar berada di dalam mobil menuju rumah mereka hari ini.
Pandangan gadis itu terlempar jauh keluar jendela. Dadanya masih sesak kala teringat ucapan Pras waktu di telepon.
Pras yang awalnya meminta Andari berjuang dan bertahan, justru ia yang akhirnya menyerah dan mengakhiri hubungan mereka.
Pras tidak bisa melawan keluarga besarnya. Terutama Eyang Putri dan Ibunya.
Pria itu memang tak mengatakan perihal perjodohannya yang lain. Tapi Andari akhirnya tahu ketika Ibunya Pras mengajak gadis itu bertemu. Memintanya untuk menjauhi Pras agar ia mau dijodohkan dengan perempuan yang bibit bebet bobotnya jelas dan sederajat dengan keluarga mereka.
Andari seperti dihujam ribuan panah. Wanita yang awalnya sangat menerimanya berubah dingin dan ketus hanya karena asal usul Andari yang kini terungkap.
Hancur?
Tentu saja. kehancuran itu akhirnya membuat Andari harus terbaring di rumah sakit selama sepuluh hari.
“Andari istirahat. Ya?” tutur Damar setibanya mereka di rumah dan membawa gadis itu langsung ke kamarnya.
“Nanti kalau perlu sesuatu, panggil Simbak. Ini namanya Mbak Ani. Yang baru kerja dan akan bantu-bantu di rumah juga mengurus Andari. Ayah harus balik lagi ke kantor,” ucap Damar kemudian mengecup kening putrinya.
Andari mengangguk lalu menatap wanita yang usianya tampak tak beda jauh dengan adik Bunda-nya itu.
“Non Andari mau makan sesuatu?”
Andari menggeleng. “Mbak Ani bisa tolong isi termos kecil itu sama air panas?” unjuknya ke meja belajar. “Biar Andari gampang kalau mau minum air anget. Sekalian sama pitcher-nya.”
Asisten Rumah Tangga itu mengangguk lalu kembali sambil membawakan permintaan Andari juga irisan buah yang dipesankan Bunda-nya tadi pagi.
“Ibu minta Mbak kasih ini untuk Non Andari kalau pulang. Non katanya harus banyak makan buah. Dimakan ya? Atau mau Mbak Ani suapi?”
“Mbak Ani sibuk nggak?”
Ani menggelengkan kepala. Asiten Rumah Tangga itu kemudian mengambil piring buah dan menyuapkan potongannya satu persatu ke dalam mulut Andari.
Mereka mengobrol. Berkenalan dan Andari lebih banyak bertanya tentang wanita itu juga keluarganya.
“Jadi Mbak Ani cuma pulang pergi ya kerja di sini?”
“Iya, Non. Di rumah ada anak kecil. Udah gitu suami Mbak juga lumpuh. Jadi kasihan kalau Mbak kerjanya harus menginap.”
Andari mengangguk paham. Suami Mbak Ani mengalami kecelakaan saat anak pertama akan lahir. Karena tidak ada biaya, suaminya tidak bisa dioperasi dan lumpuh.
Untung saja ada tetangga baik yang mau mempekerjakan sang suami di tempatnya yang membuka usaha kerupuk rumahan.
Suami Mbak Ani bekerja enam hari dalam seminggu sambil mengurus dua anaknya yang masih kecil dengan dibantu sang Ibu.
“Uangnya nggak terlalu besar, Non. Makanya Mbak cari kerja juga. Tapi kebanyakan minta nginep. Alhamdulillah Mbak nggak sengaja ketemu ibunya Non Andari.”
“Mbak Ani pernah ngerasa capek nggak sama hidup Mbak?” Tiba-tiba saja bertanya hal itu.
Andari tahu sudah lancang. Namun, Andari juga perlu merasa bertanya seperti itu untuk memotivasi dirinya.
Ani hanya tersenyum. “Namanya manusia pasti capek, Non. Tapi Mbak inget aja waktu masih sama-sama sehat dan suami Mbak kerja keras.”
Andari tersadar. Kemarin itu, Andari memang tidak bisa berfikir positif karena kekacauan yang dialaminya. Tapi kini Andari menyadarinya, mungkin kegagalan pernikahannya adalah cara Tuhan untuk menyadarkannya kalau memang ia dan Pras belum siap membina rumah tangga.
Apa jadinya kalau nanti Andari tetap memaksakkan pernikahannya dengan Pras?
Rumah tangga mereka pasti akan mengalami banyak prahara. Penolakkan juga cibiran yang akan diterimanya dari keluarga besar Pras, mungkin akan membuat Andari lebih terpuruk dan menghancurkan pernikahan mereka nantinya.
“Maaf ya, Mbak. Andari nanya ini karena Andari juga lagi banyak masalah sampai sakit. Bukan mau membandingkan, tapi Andari sepertinya selama ini sudah salah.”
Ani tersenyum. “Non Andari masih muda. Perjalanannya masih panjang. Masalah yang datang saat ini bisa jadi penyelamat hidup Non di masa depan,” tuturnya meski ia tidak tahu pasti apa permasalah yang sedang menimpa nonanya itu.
Andari tersenyum tulus. Gadis itu seperti disuntikkan booster semangat. Tubuhnya berangsur pulih dengan cepat dua minggu kemudian.
Hubungan Andari dengan Ayah dan Bunda-nya memang belum membaik seperti sedia kala. Andari masih butuh waktu. Meski begitu, ia tetap berusaha bersikap seperti dulu.
“Bunda?”
“Iya, Sayang?”
“Andari pengen ketemu Ayah kandung Andari.”
Damar dan Ardila seketika bertatapan. Kala yang akan turun dari kamar dan mendengar obrolan mereka memilih mencuri dengar di balik tembok sebelum tangga turun.
Pria muda yang sedang kuliah tingkat satu itu memang sudah tahu tentang masalah yang dihadapi kakaknya. Hanya saja, Kala takut Andari yang masih rapuh justru semakin dingin dan menjauh karena sikap pedulinya.
Karena itu, Kala memilih bersikap seolah semuanya biasa. Mungkin itu lah cara terbaik yang bisa Kala lakukan agar tetap bisa menghibur dengan cara menggoda kakaknya seperti biasa.
Kala tak ingin Andari semakin menghindar seperti yang ia lakukan pada kedua orangtua mereka.
“Bunda nggak tau di mana keberadaannya Andari. Pria itu nggak mau bertanggungjawab dan malah meminta Bunda untuk menggugurkan kamu saat itu.”
“Tapi Andari tetep pengen ketemu. Andari pengen lihat dan memastikan. Walaupun nantinya Andari ditolak juga.”
“Nak?” Damar menyela lembut.
“Andari mohon Yah, Bund? Mungkin ini satu-satunya cara terakhir agar Andari bisa melepaskan semuanya.”
Damar menghela napas panjang dan berat. Sementara Ardila pergi ke kamar dan kembali sambil membawa secarik kertas yang tampak usang.
Ardila sengaja menyimpan kertas itu sambil menyiapkan diri jika suatu saat hari ini akan datang. Dan hari ini, Ardila pun menunjukkan kertas itu pada Andari. Satu-satunya bukti kekelaman masa lalunya.
“Bunda nggak tahu pria itu masih ada atau tidak. Terakhir Bunda ke sana saat kamu TK, dan orang itu masih tinggal di alamat ini.”
Ardila tak sanggup menyebutkan pria itu dengan sebutan ayah untuk anaknya.
Andari memperhatikan sebuah nama juga alamat yang ditulis di bawahnya itu dengan seksama sebelum memasukkannya ke dalam saku piyama dan beristirahat di kamar.
Seminggu kemudian, Andari langsung memesan tiket kereta api menuju Yogya. Andari tiba di stasiun Tugu sore harinya lalu menuju hotel yang sudah dipesan sebelumnya.
Malam itu, sebelum memejamkan matanya, Andari mengukuhkan diri, bertekad akan mencari ayah kandungnya sampai ketemu.
Lalu kesokan paginya, Andari menyewa motor agar mempermudah mobilitasnya dalam pencarian.
Andari tiba di sebuah rumah yang tampak asri halamannya. Bangunannya khas sekali dengan bangunan-bangunan tradisional di Yogyakarta. Halamannya ditamani dengan berbagai jenis pohon dan bunga-bunga indah yang berjejer rapih.
Atapnya tinggi. Pintunya terbuat dari gabyok kayu dengan kualitas terbaik. Siapapun yang melihat akan langsung tahu kalau keluarga pemilik rumah ini pasti dari kalangan kelas atas.
Ornamen yang melekat di dinding luar rumah menunjukkan kalau si empunya sangat menghargai karya seni yang bernilai tinggi.
“Cari siapa, Nduk?” sapa seorang Simbok yang sedang menyapu halaman rumah.
Andari kemudian menunjukkan kertas yang diberikan Bunda-nya pada wanita sepuh itu.
“Alamatnya sudah betul. Tapi pemilik rumahnya bukan Pak Hartanto Danan Sudirdjo.”
“Apa mungkin pemilik rumah yang sekarang tahu kemana pemilik lama di sni pergi?”
“Sebentar saya panggilkan ya? Mbaknya duduk saja di sini,” ajak si wanita yang terlihat sudah berusia senja itu ke depan teras.
Setelah sang pemilik rumah keluar, Andari berbincang dengannya.
“Saya juga ndak kenal nama ini, Mbak. Saya baru beli rumah ini lima tahun lalu,” kata si wanita yang Andari duga adalah Nyonya rumah. Lanjutnya, “Coba tanya sama Pak RT. Mungkin Pak RT punya datanya.”
Andari berterima kasih sudah diterima lalu pamit dan ditunjukkan rumah Pak RT oleh Simbok yang bekerja di rumah itu. Namun, lagi-lagi Andari tak menemukan petunjuk karena dua pemilik rumah sebelumnya bukan orang yang Andari cari.
“Sepertinya orang yang Mbak cari orang lama. Saya baru tinggal sepuluh tahun di sini.”
“Kalau saya cari ke kelurahan, Bapak bisa bantu?”
“Sepertinya akan susah, Mbak. Arsip lama masih manual. Dan kantor Desa pernah kebakaran. Kalau orang yang Mbaknya cari tinggal di sini dua puluh tahun yang lalu, berarti ada kemungkinan datanya juga tidak akan ditemukan. Kecuali Mbak cari ke disdukcapil. Di sana kan datanya terbaru.”
Bahu Andari merosot. Semangat dan harapannya seketika luruh.
Mencari ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi akan semakin sulit karena petugas pasti akan meminta data dan menanyakan ini dan itu.
“Kalau orang yang paling sepuh tinggal di sini apa masih ada? Kemungkinan yang kenal dengan orang yang saya cari ini mungkin, Pak.” Andari pun berusaha mencari cara lain.
Pria berusia sekitar empat puluh tahun itu berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan mengantar Andari menemui orang yang disebutkan.
Beberapa yang ditemui mengatakan tidak tahu atau tidak ingat. Hingga satu orang di antaranya ingat tapi mengatakan tidak tahu juga ke mana perginya.
Harapan Andari benar-benar pupus. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Gadis itu hanya bisa terduduk di bangku trotoar dekat Tugu Nol Kilometer Yogyakarta sambil menangis. Meratapi nasibnya saat ini. Tak peduli orang-orang sesekali bertanya dan Andari hanya menggelengkan kepalanya.
Hingga di titik putus asanya, Andari berjalan ke tengah jalan tanpa menghiraukan lalu lintas yang padat.
Tapi tiba-tiba saja tubuh Andari ditarik seseorang. Sosok itu seorang gadis muda yang wajahnya terlihat cemas sekali kemudian.
“Mbaknya nggak apa-apa kan?”
Andari terus menatapnya dengan kaca-kaca bening yang semakin memburamkan penglihatannya.
“Aku … aku …. “ Kemudian Andari menangis di pelukan gadis itu.
Saat ini, Andari hanya butuh pelukan seseorang. Pelukan yang bisa menangkan. Juga seseorang yang bisa mengatakan padanya kalau … semua pasti akan baik-baik saja.
Setelah puas menangis dan menumpahkan perasaan sesaknya, gadis berkerudung dengan stelan celana kain dan batik itu mengajak Andari ke sebuah kedai eksrim yang terkenal di Yogya.
Alih-alih bertanya tentang apa yang sedang dialami Andari, gadis itu memilih bercerita banyak hal. Tentang pekerjaan, kuliahnya juga hobi serta kucing-kucing peliharaan di rumahnya.
Sejenak, kemelut di hati Andari pun tersamarkan. Gadis itu sangat supel, riang sekaligus lucu dan menyenangkan. Membuat Andari nyaman berada di dekatnya. Ia juga mengajak Andari ke rumahnya.
“Di rumah tinggal sama siapa, Galuh?”
“Sama Mbah sama ayah juga,” terangnya kemudian memarkirkan motornya di depan rumah.
Gadis itu mengucapkan salam dan memanggil Mbah-nya yang ada di dalam rumah.
“Waalaikumsalam. Lho, sama siapa, Nduk?” tanyanya sambil menerima sun di tangan dari sang cucu.
Andari mengangguk ramah dan ikut menyalami wanita yang masih terlihat segar bugar dengan keriput dan rambutnya yang memutih itu.
“Ini Kak Andari, Mbah. Galuh tadi ketemu di jalan. Terus aku ajak aja ke sini. Mau aku kenalin sama Temong, Menik dan Sembrono,” tuturnya lalu tertawa riang.
Wanita paruh baya itu ikut tertawa kecil. “Diajak apa dipaksa?"
"Lah, Simbah kok gitu sih?!" Gadis itu merungut manja.
"Ayo! Monggo masuk, Nak!” ajak Mbah-nya Galuh pada Andari.
Namun belum Andari melangkah bersama mereka ke dalam rumah, suara mobil yang datang lalu terparkir di halaman rumah mengalihkan perhatian ketiganya.
Sesosok pria yang Andari taksir usianya masih di awal tiga puluhan muncul dari balik pintu kemudi yang terbuka.
Kulitanya hitam manis. Tubuhnya tinggi tegap. Hidungnya mancung. Matanya sedikit sayu dan menjorok ke dalam. Ditambah alisnya yang tebal dan hitam, sorot mata pria itu jadi terasa teduh sekaligus misterius.
Bibir bawahnya penuh sementara bibir atasnya tipis. Sedikit jambang di wajahnya membuat siapapun yang melihatnya pasti terpana.
Andari menatap ke arah pria yang kemudian tersenyum hangat dan memeluk Galuh yang menghambur padanya.
“Ayah, ayo aku kenalin temen baru aku. Namanya Kak Andari. Dari Bandung loh.”
‘Hah? Ayah? Maksudnya Ayah Galuh? Atau Ayah panggilan suami?’
Andari sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak menyadari kalau pria itu sudah berdiri di hadapannya sambil mengulur tangan tegap dan memperkenalkan diri sebagai,
“Saya Anggaesa. Ayah-nya Galuh.”
Bersambung …