Angga mengerutkan kening begitu melihat penampilan Andari di depannya pagi ini.
Pria itu baru saja menemui kurir yang datang untuk menjemput paket oleh-oleh yang mereka beli kemarin untuk dikirimkan.
Subuh sekali perempuan itu sudah dibangunkan karena akan didandani. Sayangnya, hasil riasan yang menempel di wajah ayunya kini malah membuatnya terlihat lebih tua.
“Siapa yang dandani kamu?” tanya Angga sedikit ketus.
“Nggak tahu. Ibu-ibu gitu. Katanya tetangga di sini,” polos gadis itu.
Angga mendesah dalam hati. Entah kenapa kesal sekali melihat hasil riasan yang menyapu wajah Andari.
Pria itu lantas menoleh, mencari-cari sepupunya yang lain.
“Sekar!”
“Nggih, Mas.”
Seorang perempuan yang terlihat menggendong seorang balita perempuan itu menghampiri dan bertanya, “Kenapa?”
“Kamu bisa dandani Andari pakai makeup biasa saja?”
Perempuan itu menoleh ke arah Andari yang memang baru dilihatnya pagi ini.
“Sopo kuwi? Pacarmu ta?”
“Dandani sek. Takone mengko.”
Perempuan itu memicing penuh tanda tanya namun akhirnya menyerahkan bayinya pada Angga.
“Ayo Mbak tak ganti riasannya,” ajaknya.
“Kenapa?”
“Ketebelan.”
Andari menurut saja dan masuk ke dalam kamar yang sebelumnya ia dan Sumarni tempati.
“Lho … kenapa dihapus semua, Mbak?”
“Elek. Mbaknya jadi keliatan tua. Mana lipsticknya juga terlalu gelap warnanya. Mbaknya ndak bawa alat makeup memangnya?”
Andari mengangguk. “Kalau skincare ada?” lanjut Sekar.
“Ada. Di pouch-ku itu, Mbak.”
Perempuan bernama sekar itu lantas mengambilkan pouch yang ditunjuk Andari sebelumnya.
Gadis itu memang tidak suka pakai makeup kompleks untuk keseharian. Namun bukan berarti Andari tidak bisa menggunakan riasan makeup yang lebih kompleks di wajahnya.
Andari hanya tidak membawa perlengkapan makeup pribadinya saat memutuskan pergi ke Yogya.
Wanita itu juga hanya membawa beberapa skincare dasar rutinnya saja untuk perawatan sehari-hari selama di Yogya.
“Ki sopo sih sing dandani? Jadi tuwek men ngene hasile,” dumal Sekar karena ternyata kapas pembersihnya tak cukup sekali membersihkan wajah Andari.
Andari sendiri tidak terlalu paham dan bisa berbahasa Jawa. Tapi gadis itu sedikit bisa mengerti saat orang-orang di sekitarnya berbicara menggunakan bahasa Jawa.
Gadis itu tak banyak bicara. Manut saja saat Sekar membersihkan wajahnya dengan pembersih makeup sampai dua kali. Saking tebalnya makeup yang menempel di wajah Andari.
Andari sungkan kalau harus menolak perias yang merias wajahnya sehabis subuh tadi.
Apalagi saat gadis itu sempat meminta lipstick yang lebih muda saja, si perias menolak dengan sedikit kasar. Membuat Andari jadi tak enak hati.
“Mbaknya cuci muka saja dulu. Terus pakai skincare-nya lagi. Nanti baru saya makeup-in.”
Lagi-lagi Andari hanya manut saja dan pergi ke belakang rumah untuk cuci muka.
Karena kamar mandi sedang dipakai, wanita itu terpaksa mencuci wajah di dekat sumur kamar mandi luar.
Guntur yang melihat hal itu lantas membantu Andari menimbakan air yang masih menggunakan pompa tangan manual.
“Makasih,” ucapnya lalu buru-buru ke kamar dan menggunakan skincare-nya setelah selesai mencuci wajah.
Tak lama Sekar masuk ke dalam kamar sambil membawa alat perang yang yang dimiliki.
“Mbaknya mau tak dandani atau dandan sendiri?”
Sekar memberikan pilihan karena ia yakin Andari sepertinya bisa menggunakan makeup.
“Boleh?”
“Boleh dong! Ndak papa kok. Pakai saja. Cari yang menurut Mbaknya pas.” Perempuan itu tersenyum ramah.
Sekar mengeluarkan semua isi pouchnya. Mulai dari spray mist, pelembab, foundation, BB cream, concealer, eyes shadow, hingga lipstick dengan beberapa warna yang biasa ia gunakan.
“Banyak banget alat makeup-nya, Mbak.”
“Kerjaanku kan ketemu orang banyak. Jadi memang perlu makeup.”
Andari baru ingat kalau Asti semalam bercerita tentang sepupunya yang bekerja di travel. Dan sepertinya orang yang dimaksud Asti semalam adalah wanita ini. Batinnya.
“Oh, ya namaku Sekar.”
“Andari.”
Lanjut Sekar, “Kebetulan temenku ada yang suka bikin video tutorial makeup gitu. Dia suka dapet endorse.”
“Oh, gitu.” Andari melihat satu persatu makeup mana saja yang akan ia gunakan.
“Beberapa produk yang sudah di-review sering dijual murah atau dia kasih aku. Yang kamu cocok pakai saja,” terang Sekar diangguki Andari.
“Makasih, Mbak.”
“Kalau mau pakai bulu mata palsu juga ada. Tapi cuma ada sejenis. Kayak yang aku pakai ini. Kalau mau tak minta suamiku ambilkan. Rumahku deket kok.”
“Nggak usah, Mbak. Nanti bisa pakai maskara saja biar kelihatan lebih tebal.”
Sekar pun mengacungkan jempol untuknya.
Gadis itu pun mulai mengoleskan tahapan makeup kompleks yang biasa ia gunakan untuk acara-acara yang memang lebih formal seperti sekarang ini.
Sekar sendiri hanya memperhatikan sambil tersenyum hingga Andari selesai menggunakan rangkaian makeup-nya.
“Tahu bisa dandan gini kenapa ndak makeup-an sendiri aja?”
Andari hanya meringis. Tak enak hati juga kalau mengatakan yang sebenarnya. Dan semua lagi-lagi karena ia merasa sungkan sebagai tamu yang hanya menumpang.
Keduanya pun segera membereskan peralatan makeup Sekar ke dalam pouch-nya lagi sebelum keluar kamar bersamaan.
“Mas!” seru Sekar pada Angga yang terlihat sedang bermain-main dengan anaknya yang masih berusia satu tahun itu.
Angga menoleh dan seketika itu juga tatapannya terlihat penuh kekaguman.
“Piye?”
“Bagus.”
“Ngedip heh!”
Sekar terkekeh menggoda karena pria itu menjawab pertanyaan tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun dari Andari.
Angga berdeham kikuk karena ledekan Sekar yang kemudian sudah mengambil sang anak dari gendonganya lagi.
“Wes yo.”
“Suwun.”
“Ra usah. Wong aku ra dandani kok. Mbakne dandan dewek.”
Angga menatap Andari yang kini terlihat kikuk mengusap tengkuknya.
“Nek saiki wes cocok koyok couple,” imbuh Sekar. Berlalu begitu saja tanpa peduli ucapannya membuat kedua manusia itu jadi salah tingkah sendiri.
Di antara keramaian rumah yang sedang sibuk mempersiapakan iring-iringan seserahan, Andari dan Angga juga terlihat sibuk dengan perasaan mereka masing-masing.
“Kenapa tadi tidak minta dandan sendiri?”
“Aku nggak enak, Mas. Aku kan tamu. Terus tadi juga ibunya …. “
Andari menggantung kalimatnya.
“Ibunya kenapa?”
“Mm, nggak papa. Aku kasian aja. Dia kan sudah belain ke sini buat dandani.”
“Tapi yang tadi itu hasilnya jelek di wajah kamu. Seperti lebih tua dari saya jadinya.”
“Iya?”
Andari memekik sambil melebarkan kedua bola matanya mengemaskan.
Gadis itu memang tak sempat melihat kaca usai di dandani di kamar lain lalu keluar dan lebih dulu berpapasan dengan Angga.
“Kenopo, Le?”
Sumarni menghampiri keduanya. Tersenyum dalam hati melihat mereka menggunakan kebaya dan batik pasangan.
“Ndak papa, Bu.”
“Nak Andari mau bantu bawa seserahan?”
“Bo–“
“Ndak usah. Biar yang lain saja.” Angga reflek menyela lebih dulu.
“Yo ndak papa, to. Kowe ki kenopo to? Kok kabeh ra oleh. Koyok Nak Andari ki bojomo, hah?”
Andari mendengkus pelan melihat Angga yang diomeli Sumarni.
“Andari mau kok, Bu.”
“Kaki kamu?” Angga langsung menyahut.
“Kakiku udah baikan kok. Kan bawa antaran seserahan nggak berat-berat amat.”
Asti yang baru saja datang langsung menghampiri Andari dan mengajaknya melihat hantaran yang akan dibawa.
“Kan Andari bawa ini aja.”
Asti lantas menyerahkan seserahan berisi handuk yang dibuat boneka angsa-angsaan.
“Nah, kalau ini kan ringan. Biar Mas Angga ndak ngomel-ngomel nanti.”
Blush ….
Andari jadi malu. Angga sepertinya terlalu ambil serius ucapan Galuh sebelum mereka berangkat ke Semarang kemarin.
Gadis itu pun memilih duduk sambil menikmati kudapan kecil untuk mengisi perutnya sebelum mereka berangkat.
Andari mengecek ponsel dan mencoba mengirim pesan ulang pada nomer orang yang diajaknya bertemu.
Namun belum ada balasan sama sekali bahkan hingga acara seserahan itu selesai dan keluarga menikmati hidangan makanan yang disiapkan tuan rumah pengantin wanita.
“Kamu nggak makan?”
Andari menggeleng. “Nanti aja, Mas.”
“Ini sudah jam sepuluh. Kamu tadi cuma makan snack.”
“Aku nunggu balasan dari orang yang janjian itu.”
“Memangnya nunggu nggak boleh sambil makan?”
Andari meringis. “Kamu ada alergi makanan?”
Andari menggelengkan kepala meski bingung kenapa pria itu menanyakan hal seperti itu padanya.
“Tunggu di sini. Saya ambilkan makanannya.”
“Nggak us–“
Angga sudah berlalu meninggalkannya. Andari sendiri malas mengejar.
Moodnya kacau karena sampai detik ini orang yang diharapkannya tak kunjung menghubungi.
Bagaimana kalau sampai besok Andari tak bisa bertemu. Batinnya jelas resah karena itu artinya ia harus pulang ke Yogya tanpa hasil apapun.
Angga yang kembali sambil membawakan makanan untuk gadis itu pun menatap heran.
“Eh?”
Andari menjenggit ketika tangannya menyentuh piring yang dibawakan Angga.
“Tidak kebanyakan kan?”
Andari menggeleng sambil menyunggingkan senyum kecil.
“Makasih.”
Keduanya pun menikmati hidangan utama di acara pernikahan itu sambil ditemani iringan tembang Jawa yang sedang dinyanyikan sinden di atas panggung.
“Dimakan. Perutmu nggak akan kenyang kalau cuma liatin makanan.”
“Aku nggak nafsu makan, Mas.”
“Kalau sakit jangan ngerepoti loh, ya?”
Andari menoleh menatap Angga yang sudah sibuk kembali menikmati makannya.
Benar. Kalau ia sakit yang direpotkan pasti Angga dan keluarganya.
Andari pun memaksakan diri menyantap makanan yang ada di piringnya.
Meski agak kesulitan, namun perempuan itu akhirnya bisa menghabiskan semua yang ada dipiring tanpa tersisa.
Angga diam-diam tersenyum lalu bangun dan membawakan makanan lain sebagai menu cuci mulut mereka.
“Kalau dia nggak ngehubungin juga gimana?” lirih Andari sambil menerima cup eskrim yang disodorkan Angga.
Pria itu menoleh, bertemu pandang dengan netra sendu gadis dan mengendikkan bahu.
“Sia-sia dong aku ke sini.”
“Pikirkan yang baik-baik. Prasangkamu itu nanti kejadian.”
Membuang napas panjang dan berat, Andari hanya bisa pasrah sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam clutch dengan satu tangan.
Namun, belum sempat ia menutup clutch-nya lagi, ponselnya berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk lewat aplikasi w******p-nya.
Andari dan Angga menukar tatapan terkejut sekaligus senang.
Seolah pria itu juga menunggu kabar yang sama, Angga reflek mengulurkan kepalanya agar bisa melihat isi pesan yang masuk ke ponsel Andari itu.
Andari yang menyadari hal itu langsung menoleh dan seketika wajah mereka bertemu dengan jarak yang sangat dekat.
Pria itu berdeham. Lalu mundur tanpa mengatakan apapun. Telalu malu sekaligus gengsi.
Andari sendiri langsung membuka ponsel dan membaca pesan dari orang yang memang ditunggunya sejak kemarin.
XXX : [Saya harus ke luar kota]
XXX : [Kalau mau ketemu, saya tunggu di kafe sekarang]
XXX : [Lokasinya saya share]
“Dia ngajak ketemu tapi di sini lokasinya?”
Angga menerima ponsel Andari dan melihat peta dari peta digital yang dibuka Andari dari tautan link lokasi yang dikirimkan padanya.
“Agak jauh. Naik motor mau?”
Andari langsung mengangguk. Tak pikir panjang karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bertemu dengan orang tersebut.
“Ayo kalau begitu.”
“Nggak pamit sama Ibu?”
“Nanti bisa telepon.”
Andari mengikuti pria itu dengan patuh. Angga menghubnungi kerabatnya yang ternyata sedang merokok di parkiran motor.
Keduanya berjalan menghampiri dan meminjam motor matik kepunyaan sepupu Angga itu.
“Nek ibuku takon, kandani aku ngeterke Andari sek,” pesannya diangguki sang sepupu.
Keduanya lalu naik motor matik hitam 155cc itu dan meninggalkan acara sebelum waktunya.
“Kenapa berhenti, Mas?”
Angga menoleh ke belakang lalu berkata, “Kamu mau celaka lagi?”
“Maksudnya?”
“Pegangan!”
Tadinya, Andari yang duduk menyamping itu terpaksa memegangi behel jok motor paling belakang sebagai pegangan.
“Mau terlambat bertemu?”
Ucapan pria itu sarat gemas dan tak sabar menunggu karena Andari tak kunjung memindahkan pegangannya.
“Tapi–“
Tanpa pikir panjang Angga menarik kedua tangan Andari dan melingkarkannya di pinggang.
Andari terhenyak. Posisi tubuh sampingnya jadi menempel ke punggung Angga. Membuat jantungnya jadi tak karuan berdetak.
Sambil mengatur napas dan meredakan jantungnya yang semakin tak karuan karena Angga juga mengemudikan motornya dengan cara ngebut, Andari melirih dalam hati. Semoga ia tidak terlambat menemui orang yang menunggunya itu.
Tapi, begitu mereka sampai di kafe yang dituju, rupanya orang tadi sudah pergi sebelum Andar tiba.
Gadis itu berusaha menghubunginya namun tidak di angkat-angkat.
“Duh, kok nggak diangkat, sih?!”
Angga yang melihatnya hanya bisa diam tanpa berniat menenangkan gadis yang terlihat resah itu sama sekali.
“Halo!”
“ …. “
Angga ikut berdiri dari motor saat Andari menatapnya dengan binar senang.
“Mbak, saya udah di kafe. Mbaknya di mana?” lanjutnya.
“ …. “
“Lho, jadi–“
“ …. “
“Tapi, Mbak. Saya sudah–“
“ …. “
Binar mata gadis itu berubah lesu. Angga tentu saja penasaran dengan apa yang dibicarakan keduanya di telepon.
“Mbak sekarang di mana? Biar saya susul ke travelnya aja kalau gitu.”
“ …. “
“Saya mohon, Mbak. Saya–“
“ …. “
Klik ….
Andari terduduk lesu, berjongkok sambil memeluk kedua lutut dan menenggelamkan wajahnya di sana.
Perlahan, bahu gadis itu bergetar. Tanda kalau ia menangis hingga terdengar isakaannya.
Angga tak bisa berbuat apa-apa sampai pelayan kafe menghampiri dan menanyakan apa yang sedang terjadi di antara mereka.
Pria itu akhirnya mengajak Andari duduk di dalam dan memesan minuman untuk mereka berdua.
Menunggu Andari selesai menangis, barulah pria itu mulai berkata, “Minum dulu!”
Andari mengambil gelas berisi milk shake rasa cokelat dengan cream float di atasnya.
“Tadi bicara apa?”
“Dia nggak bisa ketemu karena travelnya mau berangkat. Dia bilang dia salah liat jam keberangkatan makanya salah ngajak janjian.”
“Ya sudah.”
Andari menatap pria itu dengan kening berkerut dalam.
“Ya sudah?”
“Ya mau bagaimana lagi. Kamu nggak bisa nyuruh dia batalkan perjalanannya demi kamu.”
Andari tahu perkataan Angga benar adanya. Namun setidaknya ia ingin mendengarkan perkataan yang lebih membuatnya nyaman. Bukan perkataan yang seolah-olah mengejeknya.
“Kapan dia pulang?” imbuh pria itu.
“Katanya dua hari lagi.”
“Mau ikut saya ke Solo dulu?”
“Ke Solo?”
Angga mengangguk. “Saya ada pekerjaan di sana. Kalau mau ikut pulangnya kita bisa ke sini lagi. Dari pada bolak balik kan?”
“Terus Ibu?”
“Ibu nanti pulang bareng Pakde saya.”
Andari mendengkus kesal. “Kenapa nggak bilang dari tadi? Tahu gitu kan aku nggak perlu nangis. Mana diliatin orang banyak.”
Andari berdecak kesal, merungut lalu menghabiskan minumannya dalam sekaligus.
‘Salahku di mana?’ batin Angga mendesah dalam hati sambil memperhatikan gadis yang masih merungut kesal namun menggemaskan itu di depannya.
Bersambung ....