Her Savior 11 - Satu Kamar

2286 Kata
Usai mengantar Sumarni dan yang lainnya pulang ke Yogya, Angga pun pamit pada Buliknya untuk menuju Solo bersama Andari. Namun, sebelum itu Angga mengatakan pada Andari kalau mereka akan mengunjungi sebuah tempat terlebij dahulu pagi ini. “Memangnya kita mau pergi ke mana?” “Pakai sabuk pengaman kamu.” Angga mengacuhkan pertanyaan Andari. Pria itu masih bingung dengan sikapnya saat di kafe kemarin. Gadis itu bahkan tak perlu disuruh untuk perpegangan dengan melingkarkan lengannya di pinggang dan memeluk Angga saat mereka berkendara pulang dari kafe. Angga mendadak bertanya-tanya dengan kepribadian ganda yang mungkin dimiliki gadis itu. Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah dengan empat pohon rambutan yang bertumbuh rindang di sana. Andari pun tak bertanya lagi. Gadis itu mencoba mencari obrolan lain yang mungkin bisa menghangatkan suasana perjalan mereka yang belum jelas ke mana tujuannya. “Mas–“ “Kamu–“ Keduanya sama-sama menoleh ke samping. “Kamu duluan!“ “Mas aja.” “Kamu pernah ke Ambarawa?” Pria itu bertanya sambil tetap fokus mengemudi dan melihat ke depan. Andari menggeleng. “Ayah dulu pernah rencana mau ke sana. Tapi lupa apa alasan nggak jadinya.” “Acara keluarga?” “Bukan. Acara kantor.” “Lalu?” “Jadinya ke Anyer deh. Ke Pulau seribu.” “Ayah kamu bekerja di mana memangnya?” “Di pabrik mobil di Purwakarta. Dua kali dalam seminggu pulang ke Bandung.” “Pabrik mobil?” Andari menganggukinya. “Bagian?” “Teknisi Mekanik.” “Ibu?” “Bunda Konsultan Pajak.” “Kamu sendiri kuliah jurusan apa?” “Aku ambil Hubungan Internasioanal.” “Lalu S2-nya?” Obrolan pun mengalir begitu saja. Andari menceritakan banyak tentang keluarganya. Obrolan yang lebih terfokus pada Andari dan keluarganya itu tak terasa membawa mereka sampai di tempat tujuan. “Lho, ini kan Museum Kereta Api Ambarawa? Kita mau naik kereta?” Angga mengangguk sambil melepaskan seat bealt dan turun dari mobil. Pria itu langsung menekan kunci otomatis mobil begitu Andari selesai menutup pintu, diiringi kerlip lampu depan mobil yang terlihat. “Wah, naik lokomotif uap berarti dong?” Andari berseru senang sambil mengikuti ke mana pria itu berjalan. Angga menggeleng di depan loket pembelian tiket masuk museum. “Lokomotif uapnya hanya jalan kalau keretanya disewa penuh. Hari ini kita naik gerbong kereta yang sama tapi lokomotifnya pakai yang diesel.” “Kok gitu?” “Lokomotif uapnya sudah tua. Biaya perawatan dan operasionalnya cukup mahal. Jadi kalau dipakai kereta wisata regular, dari segi operasioanal bisa rugi.” “Emangnya ada berapa stasiun yang nanti kita lewati?” Angga lantas mengajak Andari melihat lihat sekitar museum sebelum naik kereta api setelah membeli tiketnya seharga Rp. 50. 000. “Jalur kereta wisata di sini dimulai dari Ambarawa – Tuntang – Jambu – Bedono. Kereta yang akan kita naiki nanti jalurnya hanya sampai Tuntang.” “Oh gitu. Mas dulu pernah naik yang pakai kereta uap?” “Pernah.” “Kapan?” Andari penasaran. Angga yang juga hanya menjawab pendek membuat Andari reflek melemparkan pertanyaan lanjutan lagi jadinya. “Pas reuni SMA.” Pria itu lalu mengajak Andari melihat lokomotif up yang biasa digunakan untuk kereta wisata di sana. “Kamu lihat?” Pria itu lantas menujuk roda gerigi yang ada di tengah di antaa rodan sisi lokomotif uap jaman dulu itu. Andari ikut berjongkok di depan lokomotif berwarna hitam dengan corong uap besar dan bernomor lokomotif B23 03 itu. “Roda geirigi itu nanti akan berjalan di rel khusus yang ada di tengah lintasan rel normalnya.” “Memang fungsinya untuk apa?” “Fungsinya untuk menahan laju kereta saat menanjak agar tidak turun lagi.” “Emang nggak bisa ngerem aja, ya?” polos gadis itu. Angga mendengkus diiringi tawa kecil. “Lokomotif uap kendalinya masih manual. Berbeda dengan diesel.” “Terus cara kerjanya gimana roda tengah bergeriginya itu?” “Dia akan berputar berdasarkan bentuk rel gerigi yang ada di tengah rel. Jadi setiap putarannya membantu menahan beban kereta yang baerat agar tidak mundur lagi,” jelasnya. Angga lantas mengangajaknya naik ke atas kereta yang akan bersiap berangkat dalam waktu belasan menit kemudian. “Perawatan dan biaya operasional kereta ini memang mahal. Untuk wisata regular begini saja jadwalnya hanya ada di akhir pekan,” jelas pria itu mengulang. Sudah mirip tour guide wisata di sana. Andari sedikit takjub dengan penjelasan pria itu. Kepalanya manggut-manggut menanggapi. Bukan saja karena penjelasan Angga yang secara detail memberinya wawasan baru, tapi baru kali ini Andari mendengar Angga bicara sesantai dan sebanyak itu padanya. Seolah tak ada jarak di antara mereka layaknya orang yang sudah mengenal lama. Andari sejujurnya agak aneh kenapa Angga tiba-tiba mengajaknya ke sini. Mengingat hubungan mereka yang tak cukup akrab. Gadis itu bahkan sadar perilakunya kemarin saat di kafe. Namun, alih-alih merasa sungkan, Andari memilih menutupi rasa malunya karena lancang mendumal dan memarahi pria itu di depan orang banyak dengan bersikap akrab. Rasanya ingin mengutuk dirinya saat itu juga. Mungkin orang-orang yang melihat mereka pasti mengira kalau dirinya dan Angga adalah pasangan yang sedang bertengkar. Pikir gadis itu. Kereta pun melaju dengan kecepatan rendah. Ditarik menggunakan lokomotif diesel berwarna kuning yang bentuknya mirip mobil bak terbuka menurut Andari. Di dalam gerbong kereta dengan lantai, tempat duduk dan dinding yang didominasi bahan kayu itu, Andari dan Angga duduk di pinggir jendela dengan posisi saling berhadapan. Diam-diam pria itu mengambil potret Andari lalu mengirimkannya pada Galuh disertai tulisan, Angga : [Lunas ya] Angga : [Ndak ada marah-marah lagi] Cah Ayuku : [Gitu dong] Cah Ayuku : [Nanti di Solo jangan lupa ajakin jalan-jalan lagi ya kalau Ayah udah selesai urusannya] Cah Ayuku : [Awas aja kalau nggak] Cah Ayuku : [Kususulin ke sana pake motor] ancam gadis itu. Angga : [Inggih Ndoro Putri] Emoticon tawa berderai air mata berjejer banyak sebagai balasan gadis itu pada sang Ayah. Cah Ayuku : [Makasih Ayah mau kabulin permintanku] Angga : [Ndak ada ngambek-ngambek lagi ya] Cah Ayuku : [Sayang Ayah] Angga : [Ayah juga sayang kamu, Nak] Pria itu tersenyum menatap layar ponsel yang masih memperlihatkan percakapan dengan putri tersayangnya itu. Angga yang memberitahu kalau dirinya akan ke Solo lebih dulu bersama Andari tak henti direcoki sang putri hingga semalaman. Walhasil pria itu mengalah setelah sang anak mengiriminya pesan dengan nada memaksa puluhan kali. Apalagi Galuh juga mengungkit-ungkit janjinya yang batal menemani jalan-jalan malam saat di alun-alun. Sejak kecil Angga sudah belajar menekankan pada sang putri bahwa janji adalah hal yang harus ditepati dengan benar. Sekalipun hal itu adalah hal sepele. Karenanya Angga selalu menekankan tanggung jawab dan konsekuensi akan setiap tindakan dan ucapan yang dibuat dengan memberikan contoh yang baik pada putri satu-satunya itu. Seperti membayar janji yang dingkarinya malam itu. Sebetulnnya Angga ingin mengajak Andari ke Lawang Sewu. Tapi Galuh yang merasa kalau tempat itu angker dan tak cocok dipakai sebagai tempat kencan pun langsung mengomel dan meminta Angga membawa Andari ke museum kereta Ambarawa saja. Alasannya agar Andari bisa refreshing melihat pemandangan yang sejuk selama perjalanan meski menurut Angga biasa saja. “Kamu mau difoto?” Andari menggeleng. Gadis itu memilih mengambil video pendek di beberapa lokasi yang cukup bagus sebelum menguggahnya ke media sosial. Angga memilih melemparkan pandangannya ke sisi jendela. Menapaki pemandangan jalur yang dilintasi kereta itu. Tiba-tiba di tengah Andari mengambil video, Galuh mengiriminya pesan. Memintanya untuk menerima permintaan pertemanan di salah satu media sosialnya. Andari lalu membuka salah satu media sosial miliknya dan menerima pertemanan dari akun dengan foto profil tiga ekor kucing milik Galuh. Andri kemudian mengunggah video yang sempat ia ambil sebelum kembali menikmati pemandangan sepanjang jalur rel yang dilintasi dalam diamnya. Gadis itu menumpukkan kedua lengannya di tas sisi jendela yang terbuka lalu menjatuhkan dagunya di atas lengan. Dengan posisi kepala yang agak keluar, Andari menikmati udara bebas yang menyapu wajahnya sambil memejamkan mata. Pemandangn indah itu menarik tangan Angga untuk mengabadikannya dengan ponsel dan mengirimkannya lagi pada sang anak. Di luar dugaan, Galuh yang seolah diberi ide brilliant lantas mengunggahnya ke i********: disertai kata-kata indah yang dimaksudkan untuk menyemangati Andari. “Senyum tak selalu menujukkan wajah kebahagian. Terkadang ada luka yang bersembunyi di antara ketabahan dan kesabaran.” Galuh menuliskannya sebagai caption. Andari yang mendapatkan notifikasi pesan unggahan pos dari Galuh langsung membukanya dan tersenyum lantas membalas dengan memberikan like dan komentar, “Kata-kata yang indah. Terima kasih, Galuh Sayang.” “Sama-sama, Bunda,” balas gadis itu disertai emoticon nyengir. Andari tak menganggap serius candaan panggilan yang diberikan Galuh sejak di angkringan alun-alun malam beberapa waktu lalu. Sementara itu, Angga yang juga memiliki i********:, mengikuti kegiatan sang anak di sana tapi tidak pernah berinteraksi atau membuat kegiatannya sendiri mendapatkan notifikasi pemberitahuan serupa. Pria itu hanya bisa mendesah dalam hati begitu melihat dan membaca apa yang diunggah sang putri di laman media sosialnya. ‘Kamu betul-betul ingin punya Bunda kah, Nak?’ batinnya melirih lalu menatap Andari yang masih di posisi sama. Tak sadar menatap begitu dalam, Andari yang merasa diperhatikan menoleh sesaat lalu memilih acuh dan menikmati momen wisatanya dengan kereta tua itu hingga kembali ke tujuan semula. Angga lantas mengajaknya makan siang lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan mereka menuju Solo. Sekitar satu jam kemudian, mobil pun tiba membawa keduanya di daerah Manahan, Surakarta. Angga memarkirkan mobilnya di sebuah hotel yang memang sudah dipesankan Galuh. Keduanya masuk dan langsung check in di hadapan resepsionis. “Ini key pass-nya, Pak.” Angga mengerutkan kening karena petugas resepsionis itu hanya memberinya satu kunci. “Satu kamar?” “Betul.” “Coba cek lagi. Saya pesannya dua kamar.” Resepsionis itu mengangguk menuruti ucapan Angga. “Sudah benar kok, Pak. Kamarnya dipesan atas nama Bapak Anggaesa Drana Putra dan Ibu Andari.” Angga lantas menelepon sang putri dan menanyakan kenapa hanya satu kamar yang dipesannya. “Waalaikumsalam. Kenapa pesannya –“ “ …. “ Andari yang melihat ada gelagat yang tak beres langsung bangun dari bangku tunggu dan menghampiri pria itu. Angga menoleh sambil terus bicara dengan sang putri di seberang telepon sana. “Kenapa tidak bilang? Tahu begitu kan Ayah bisa cari hotel lain.” “Kenapa, Mas? Ada masalah?” Angga mendesah pelan lalu menyalakan speaker ponselnya agar Andari bisa mendengarkan penjelesan Galuh. “Ayah pasang speker phone. Sekarang kamu jelaskan supaya Kak Andari nggak salah paham.” Galuh terdengar berdeham-deham seperti orang yang sedang membersihkan tenggorokannya yang kotor. “Ada apa Galuh.” “Kak Andari maaf, ya?! Aku cuma pesan satu kamar buat kalian.” “Eh?” Gadis itu memekik terkejut lalu menatap sang resepsionis yang ikut mendengarkan percakapan mereka. “Kenapa bisa begitu?” “Iya. Tadinya aku mau pesan dua kamar buat kalian. Tapi kemarin tuh si Sembrono teriak-teriak sampe naik pohon karena dikejar kucing jantan tetangga. Aku panik terus keluar rumah deh nyariin dulu sama nurunin.” Andari kebingungan mencerna penjelasan Galuh. “Maksudnya gimana? Apa hubungannya sama pesan kamar hotel?” “Iya. Aku tuh kan punya promo terus banyak poin aplikasi gitu, Kak. Makanya aku mau pake karena udah akhir tahun. Sayang kan kalau hangus. Tapi pas kutinggal itu ternyata loadingnya gagal. Jadi aja gagal pesan juga. Pas pesan lagi eh untuk kamar biasa habis,” terangnya lebih jelas. Andari mulai paham. “Terus kenapa kamu cuma pesan satu kamar? Kenapa nggak cari di hotel lain?” “Penuh, Kak. Ini kan natalan sama tahun baru. Hotel pada penuh. Dan kamar yang aku pesan itu kamar suit room kok tapi bayarnya cuma separo harga. Tanya aja sama simbak resepsionisnya kalau nggak percaya.” Andari menatap sang resepisonis wanita yang mengenakan jilbab, seragam dengan pakaian dinasnya itu dan mendapat anggukan serta senyum ramah. “Ya sudah kalau gitu.” Angga mematikan speaker lalu berbicara sepatah dua patah kata pada sang putri sebelum menutupnya. Menatap Andari yang tak bereaksi apapun, pria itu pun bertanya apakah, “Mau cari hotel lain?” Andari menggeleng. Kerut di kening Angga terlipat dengan cepat kemudian. “Suite room kan?” Angga mengangguk. "Ya sudah nggak papa." “Kamu nggak masalah satu kamar?” Andari menggeleng. “Aku bisa tidur di sofa nanti. Lagipula cari hotel atau penginapan akan makan waktu dan belum tentu dapat kalau waktunya seperti ini. Mas bukannya mau ketemu rekan bisnis kan?” Angga mengangguk. Andari juga sudah merasa lelah dan gerah. Gadis itu ingin segera mandi dan merebahkan tubuhnya meski di atas sofa. Angga pun tak mendebat keinginan gadis itu. Meski bukan muhrim, tapi tak terbersit sedikitpun niatan buruk pada gadis itu dalam benaknya. Keduanya pun masuk kamar dan meletakkan barang-barang mereka di sofa. “Kamu tidur di kasur. Biar saya yang tidur di sofa.” “Nggak papa. Aku malah pernah tidur di lantai waktu nginep di hotel di Bangkok.” “Lantai?” Andari mengangguk. “Tidak sakit badan atau masuk angin?” “Alhamdulillah nggak. Waktu itu extra bed-nya lupa dikasih. Alhasil tidur di lantai aja di karpet pakai selimut tambahan,” terangnya. “Kamu mandi duluan kalau begitu.” “Mas saja duluan. Mas kan mau pergi. Aku mandinya setelah Mas pergi juga nggak papa.” Angga mengangguk patuh dengan ucapan gadis itu. “Kalau mau pesan makanan telepon hotel saja. Nanti tagihannya saya yang bayar.” “Iya.” Pria itu pun menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya dan membawanya ke dalam kamar mandi. Sementara itu, Andari yang sebetulnya pura-pura tenang langsung menghembuskan napas kasar begitu pintu kamar mandi tertutup. Ini pertama kalinya ia satu kamar dengan seorang pria yang bukan keluarganya. Andari hanya tidak ingin merepotkan Angga. Dan lagi ia juga harus berhemat untuk kebutuhannya selama di Yogya. Karenanya Andari pun menahan segala perasaan dan egonya demi misi pencarian sang Ayah kandung yang masih jauh dari titik terang. “Tenang Andari. Tenang. Mas Angga orang baik kok,” lirihnya sambil mengatur napas guna meredakan debaran jantung yang mendadak dag dig dug ser begitu saja. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN