“Simbah pergi dulu ya. Ati-ati nang omah. Mbak Yul wes tak peseni kon ngancani kowe nek sore karo turu.”
Sumarni berpesan pada sang cucu sebelum keberangkatan mereka pagi ini.
“Iya. Mbah juga hati-hati.”
Sumarni masuk ke dalam mobil diikuti Andari yang lebih dulu tersenyum lalu mengusap bahu gadis itu sebagai salam perpisahan.
Sementara itu, Angga yang sejak tadi menatap putrinya langsung merentangkan tangannya lebar-lebar.
Galuh pun berhambur memeluk sang Ayah, merungut di pelukan pria yang tak henti memberinya kecupan sayang di atas puncak kepala dan mengusapi punggung bahunya itu.
“Maafin Galuh.”
“Ayah juga minta maaf.”
Galuh semakin mengeratkan pelukan. Berpisah dalam keadaan seperti ini memang tak menyenangkan.
Namun Galuh ingat perkataan Andari semalam. Karenanya gadis itu memilih berdamai dan mengakhiri perseteruannya dengan sang Ayah.
“Hati-hati di rumah, ya? Kalau ada apa-apa langsung telepon Ayah.”
“Iya. Ayah jagain Kak Andari, ya. Takutnya kaki Kak Andari masih sakit,” balasnya berpesan.
“Hm.”
“Kok hm aja, to?” Gadis itu mendongak sambil terus memasang wajah merungut.
“Iya. Opo maneh?”
“Pokoknya Ayah kudu bantuin Kak Andari cari ayahnya.”
“Iya. Udah?”
“Ajakin jalan-jalan juga. Mumpung di Semarang.”
“Terus?”
“Kalau Kak Andari capek bantuin pijit kakinya. Gendong juga nggak papa.”
“Hm.”
Beonya kali ini terdengar setengah menggeram gemas. Membuat Galuh terkekeh senang.
“Beli oleh-oleh jangan lupa.”
“Apalagi?”
“Pulang bawa calon Bunda baru buat aku.”
Angga berdecak sambil mencubit hidung gadisnya yang malah tertawa senang itu.
Lalu sekali lagi Angga mengecup kening gadis itu sebelum benar-benar duduk di depan kemudi dan melajukan mobilnya.
Galuh melambaikan tangan ke arah mobil yang mulai meninggalkan halaman rumah mereka itu hingga menghilang dari pandangannya.
“Semoga Kak Andari nggak ketemu ayah kandungnya dulu. Biar bisa pedekatean terus karo Ayah,” kikiknya merengis senang sekaligus merasa berdosa karena malah mendoakan yang tidak baik.
Sementara itu ….
Perjalanan dengan kecepatan rata-rata di dalam tol itu akhirnya membawa Andari tiba di tujuan mereka sekitar tiga jam lebih kemudian.
Andari diperkenalkan pada keluarga adik Sumarni sebagai kawan Angga lalu diajak ke sebuah kamar yang akan ditempatinya tidur bersama Sumarni nanti.
“Nak Andari ndak papa tidur sama Ibu?”
“Nggak papa, Bu. Andari malah minta maaf jadi merepotkan Ibu sama Ayahnya Galuh,” tuturnya.
“Ndak repot kok. Namanya juga bantu.” Sumarni berjalan ke arah kipas angin dan lanjut berkata,
“Rumahnya lagi rame memang. Kalau Nak Andari mau menginap di hotel monggo. Ndak papa.”
“Nggak kok, Bu. Di sini juga nyaman. Cuma memang lebih panas aja ya dibanding Yogya,” kekehnya kemudian.
Sumarni mengangguk mengiyakan lalu menyalakan kipas angin di dalam kamar itu.
“Kalau gerah, mandi saja. Biar lebih segaran. Kamar mandinya di belakang dapur.”
Andari mengangguk lalu membawa perlatan mandinya dan membersihkan diri sebelum berganti pakaian dan membantu Sumarni serta keluarganya yang lain di dapur.
“Wes ndak usah Mbak, Yu. Mending istirahat ae. Rapopo tak masak karo liyane. Onok sing ngrewangi iki,” ungkap wanita yang konon adik dari Sumarni dan terlihat seumuran dengan wanita itu.
Ia juga menatap Andari dan lanjut berkata,
“Wes Mbaknya juga ndak usah repot. Kan tamu di sini. Moso tamu kok malah direpoti,” guraunya mencairkan suasana.
“Nggak papa, Bude. Andari biasa masak kok.”
“Iya. Tapi jangan. Wes sana ke depan saja. Duduk-duduk ngobrol sambil makan rambutan. Mumpung ada yang lagi panen,” terangnya.
Andari dan Sumarni pun pergi dari dapur dan disambut beberapa kerabat yang menyambangi rumah.
Kebiasaan di kampung jika ada sanak saudara dan kerabat yang datang, pasti akan berduyun-duyun bersilaturahmi.
Suasana pun mendadak semakin ramai begitu Andari juga ikut diperkenalkan pada orang-orang itu.
Tak satu dua yang nyeletuk dan mengira kalau Andari adalah calon istri Angga.
Melihat ketidaknyamanan Andari karena pertanyaan kerabat-kerabatnya itu, Sumarni pun meminta Andari menyusul Angga ke depan saja.
Namun, di depan pun rupanya banyak muda mudi yang masih sepupu dan kerabat jauh Angga.
Andari sedikit kikuk saat berkenalan lalu bertanya ke mana Angga yang ternyata sedang naik pohon rambutan dan membantu pemanen.
Tak ayal Andari pun jadi bahan candaan dan godaan sepupu dan kerabat Angga yang penasaran apa hubungan sebenarnya ia dan sepupu laki-laki mereka yang sudah memilik anak dewasa itu.
Angga yang melihat hal itu memilih turun lebih cepat dan meminta satu saudaranya untuk menggantikan.
Pria itu juga mengusir dengan setengah memaksa sepupunya yang dekat-dekat Andari untuk menjauh.
“Wong pengen kenalan loh, Mas.”
“Wes ngerti jenenge kan?” Pertanyaan Angga diangguki semuanya. “Ya wes kenal to berarti,” imbuhnya santai dibalas decakan kompak juga.
“Mas Angga ki. Ora bakal tak rebut kok. Tenang ae,” celetuk lainnya ditimpali kekehan juga.
Angga hanya melempar rambutan yang dipegangnya ke arah sang sepupu yang nyeletuk barusan.
“Duduk sini!” ajaknya membawa Andari lesahan di lantai.
Menurut. Angga juga mengambil beberapa rambutan yang ditumpuk di atas tampah dan dinikmati bersama.
Pria itu meletakkan beberapa rambutan yang dibawanya di lantai, di antara batas mereka duduk.
“Buahnya memang hijau. Tapi dalamnya manis,” ucapnya datar.
“Iya. Makasih.”
Andari mengambil satu lalu menepuk-nepuk buahnya lebih dulu untuk memastikan tak ada semut yang mengerubunginya.
Gadis itu lantas menggigit kulit luarnya hingga terbelah sebelum mengeluarkan isinya. Angga yang melihat hal itu mengernyitkan kening.
“Kenapa digigit. Kotor.”
“Nggak papa. Aku kalau makan rambutan memang gini kok,” terangnya.
Angga lalu meminta seorang sepupunya mengambilkan piring ke dalam rumah.
Pria itu juga mengambil beberapa buah rambutan lagi lalu mengupasinya satu-satu. Meletakkan isinya di atas piring kemudian menyodorkannya pada Andari.
“Makasih.”
Andari tersentuh sambil menyunggingkan senyum manis.
Gadis itu jadi ingat kalau Damar juga sering melakukan hal serupa kalau mereka sedang makan rambutan.
“Setelah ini rencananya bagaimana?” buka Angga sambil menikmati rambutan yang tadi dikupasnya.
Pandangnnya masih memperhatikan orang-orang yang terus memanen buah rambutan sementara sepupu dan kerabatnya asik mengobrol hal lain.
Halaman rumah dari Bulik-nya itu memang luas. Ada empat pohon rambutan yang memang sedang berbuah lebat.
Hasil panen biasanya akan dibagikan pada kerabat juga tetangga sebelum sisanya dijual pada pengepul.
“Aku sudah kabari orang yang kenal sama anaknya. Nanti dikabari kalau bisa janjian ketemu.”
Angga mengangguk paham. “Kamu mau beli oleh-oleh?”
Andari menoleh. “Untuk orang rumah di Bandung?”
Angga mengangguk tanpa menoleh ke arah perempuan itu meski tangannya sibuk mengambil rambutan yang sama di piring.
“Aku nggak tahu kapan pulang. Nanti kelamaan malah basi di jalan.”
“Maksud saya, beli terus kamu kirim saja. Bisa pakai jasa kuris oneday service kan?”
“Ah … iya, ya.” Andari baru ingat. “Boleh kalau gitu. Ayah sama Kala suka lumpia soalnya. Mumpung di sini. Kapan mau cari oleh-olehnya?”
“Mau nanti sore? Sekalian jalan-jalan barengan yang lain.”
“Boleh.”
Andari mengangguk riang dan memberikan senyum termanis yang tak pernah Angga lihat selama perempuan itu selalu berada di dekatnya.
Lalu ….
Sorenya, mereka pun pamit. Berkendara dengan satu mobil Angga saja ditemani dua orang sepupu pria itu.
Andari duduk di tengah bersama seorang gadis muda yang masih duduk di bangku SMA. Namanya Asti.
Sementara Angga duduk dengan Kakak laki-laki Asti yang usianya hampir sama dengan Andari.
Asti mengajak Andari ngobrol selama perjalanan ke kota Semarang. Menanyakan apa pekerjaan dan kegiatan Andari sehari-hari hingga mereka tiba di tujuan.
Tak berbeda jauh dengan Galuh, Asti juga memiliki sifat periang dan supel. Membuat Andari nyaman berada di dekat gadis itu.
Angga langsung membawa Andari dan Asti pergi mencari oleh-oleh sementara Guntur, Kakak Asti memilih berjalan-jalan di sekitar kota lama untuk mencari objek fotografi.
Angga mengajak Andari ke tempat oleh-oleh yang menjual lumpia cukup terkenal di sana.
“Rame banget, Mas.”
“Kalau nggak kuat berdiri, duduk saja. Biar saya yang antri.”
Andari menggeleng sungkan. “Nggak papa. Aku baik-baik aja kok.”
Pria itu mengangguk dan fokus dengan gawainya sementara Andari dan Asti juga mencari obrolan secara acak sampai akhirnya mereka pun tiba di antrian.
“Mau beli berapa?” tanya Angga.
“Tiga porsi aja, Mas. Buat orang rumah aja paling sama Asisten Rumah Tangga.”
“Sepuluh porsi besek, Ci.”
“Eh?” Andari dan Asti memekik kompak.
“Akeh men loh, Mas. Buat siapa aja toh?”
“Besok kan seserahan. Acaranya pasti lama. Buat camilan di mobil sama nunggu acara makan.”
“Wah, bener-bener,” seru Asti sambil mengangkat dua jempol.
Angga juga membeli oleh-oleh makanan kering lainnya yang bisa tahan lebih lama.
“Jadi besok itu acara seserahan, ya?” Andari berbisik pada Asti.
“Lho, Kak Andari ndak dikasih tahu, po?”
Andari menggeleng. “Kak Andari nggak tahu.”
“Iya. Besok itu seserahan. Tapi kita dari keluarga laki-laki. Yang tadi lho orangnya yang pas kita mau pergi baru datang sama rombongan lain pake baju batik hijau salaman sama Mas Angga,” terangnya.
Andari manggut-manggut saja. Perempuan itu tampak berpikir sejenak.
“Mikirin apa, Kak?” tanya Asti membuyarkan lamunannya.
“Itu, Kak Andari nggak punya baju buat ikut acara besok.”
“Oh.” Asti lantas memindai tubuh Andari dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas.
“Kayaknya badan Kak Andari sama deh sama badannya Mbak Sekar.”
“Mbak Sekar itu siapa?”
“Masih sepupu. Tadi ndak ada sih. Dia kerja di travel. Biasanya pulang malem kalau mau akhir pekan gini. Apalagi besok pasti cuti karena mau ikut seserahan.”
Andari ber’oh saja. Lanjut Asti, “Nanti kita ke rumahnya saja. Mbak Sekar pasti punya baju yang agak resmi gitu buat ke hajatan. Soalnya kalau kami udah pake seragaman.”
Andari mengangguk saja. Toh niatnya ke sini bukan untuk yang lain. Apalagi saat pergi ke Yogya ia juga tak mempersiapkan pakaian yang formal untuk dibawa karena memang tidak ada rencana untuk melakukan atau mengunjungi acara formal.
“Sudah yuk!”
Angga memberikan dua keresek belanjaan pada Asti.
“Sini biar aku bantu, Asti.”
“Jangan!”
“Leh, kenopo to, Mas?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Asti, Angga justru berkata begini pada Andari,
“Kamu kan baru sembuh kakinya. Jangan bawa barang dulu.”
“Owalah. Kak Andari kenapa memangnya?”
“Ke–“
“Terkilir. Sudah yuk!” sela Angga lalu meminta keduanya berjalan lebih dulu.
Mereka lantas mencari masjid setelah memasukkan belanjaan ke dalam mobil.
Baru setelah itu mereka mengunjungi Pecinan. Tempat makan yang terkenal dengan kuliner dan biasanya hanya bukan di akhir pekan. Jumat, sabtu dan Minggu.
Beruntung sekali karena Andari ada di Semarang hari jumat ini hingga minggu nanti.
Sambil menikmati kuliner yang mereka inginkan, Guntur pun memberi ide jalan-jalan sebentar untuk menikmati suasana malam kota Semarang.
“Mulih ae, Mas. Aku meh ngeterke Mbak Andari ke tempate Mbak Sekar.”
“Buat apa?” Angga menyela lebih dulu.
“Lha, Mas Angga nih gimana sih. Ngajak ke sini tapi nggak kasih tahu kalau besok itu acara seserahan.”
Angga sebetulnya lupa sekaligus tidak tahu apakah harus mengatakannya atau tidak pada Andari.
“Terus masalahnya apa?”
“Ya Kak Andari ndak bawa baju resmi loh, Bapake Galuh. Kita kan besok seragaman,” desis Asti.
Andari melirik Angga. Tatapan keduanya pun bertegur sapa.
“Kita beli baju saja di mall.”
“Nggak usah, Mas.”
“Saya yang belikan.”
Asti dan Guntur saling mengerling melihat interaksi keduanya.
“Nah, bener kui. Luwih apik. Ora kepenak mesti nek nganggo klambine wong, Mbak,” seru Guntur.
“Yowes. Mangane ndang dientekno. Mall e keburu tutup ngko,” pungkas Asti.
Andari agak canggung namun mau bagaimana lagi. Ia juga sungkan semisal tidak ikut dalam acara keluarga Sumarni.
Meski tujuannya memang bukan untuk ikut seserahan, tapi Andari setidaknya harus menghormati Sumarni dan Angga yang sudah membantunya selama beberapa hari ini.
Sementara menunggu kabar dari orang yang mau diajak bertemu itupun belum ada kepastian yang jelas.
Walhasil, mau tidak mau Andari terpaksa manut. Ia tidak ingin nantinya malah mempermalukan keluarga Sumarni.
“Itu loh lagi diskon, Kak.”
Unjuk Asti lalu menarik Andari masuk ke dalam sebuah butik di mall itu.
“Ini kemahalan,” ucap Andari.
Meski ia sendiri memiliki uang cukup untuk membeli kebaya itu, namun Angga membayarkannya lebih dulu.
“Ndak papa, Mbak. Mas Angga sugih kok. Ndak bakal bangkrut cuma beliin Mbak Andari kebaya tujuh ratus ribu tok,” terang Guntur.
“Iya,” timpak Asti.
“Ini juga lagi diskon couple-an, Mas, Mbak. Nambah tiga ratus saja nanti bisa dapet kemeja buat cowoknya,” terang sang pelayan.
“Bungkus, Mbak!” seru Asti.
“Eh, jangan! Mas Angga kan seragaman sama kalian.”
“Ndak papa kok, Mbak. Ndak masalah,” sahut Guntur.
“Iya. Ndak papa kok, Kak,” timpal Asti meyakinkan.
Andari semakin sungkan menatap Angga.
“Nggak usah aja, Mas. Nanti kebayanya biar Andari saja yang bayar.”
“Ukurannya bisa saya coba?” Pria itu tak menggubris ucapan Andari.
Angga memilih mengikuti pelayan butik untuk mencoba kemeja batik yang satu warna dan corak dengan tumpal yang dibeli Andari.
“Ndak usah sungkan, Mbak. Bagus toh biar samaan jadi ndak nyeleneh sendiri,” canda Guntur.
Andari pun mengalah. Bahkan ketika Asti mengajaknya masuk ke dalam sebuah toko sepatu.
“Ini bagus deh, Kak. Cocok sama kebayanya. Ukuran kakinya nomer berapa?”
Andari menoleh ke arah Angga yang terlihat acuh dan berbincang dengan Guntur di dekat rak sepatu pria.
“Kak?”
“Eh, iya?”
“Ukuran kakinya berapa?”
“Tiga sembilan, Asti.”
“Nomer tiga sembilan, Mbak,” ulang gadis itu pada sang pelayan toko.
Andari lantas duduk di sebuah sofa kecil dengan cermin yang menempel di bawah sisian sofa.
Asti sendiri malah sibuk mencari clutch untuk melengkapi penampilan Andari.
“Ini sepatunya, Mbak.”
“Haknya berapa senti itu?”
Suara baritone seksi milik Angga membuat Andari dan sang pelayan toko menatap ke arah sumber suara.
“Kamu habis terkilir. Jangan pakai hak tinggi. Nanti pegal atau malah jatuh luka lagi,” nasehatnya terdengar cemas.
“Ini cuma tiga senti kok, Mas.” Pelayan toko itu bantu menjawab.
Namun tiba-tiba saja Angga mengambil dus sepatu itu dan berjongkok dengan satu lutut menyentuh lantai di depan Andari.
“Mas jangan!”
Terlambat. Angga sudah lebih dulu berhasil memakaikan sepatu itu di kaki Andari lalu mendongak dan berkata,
“Terima kasih.”
Andari tertegun. Bukan saja karena pria itu tiba-tiba mengucapkan terima kasih untuk hal yang Andari tak tahu apa sebabnya.
Namun, senyum hangat nan manis yang baru kali ini Andari lihat membuat napas perempuan itu mendadak seperti berhenti.
“Untuk apa?“ gugupnya.
“Terima kasih. Karena kamu sudah membujuk Galuh semalam.”
Andari makin tertegun karena tak menyangka kalau Angga tahu pembicaraannya semalam dengan Galuh.
Tatapan keduanya masih saling mengunci. Andari dengan posisi duduknya sementara Angga yang berjongkok dengan satu lulut menempel di lantai dan menatap balik Andari sambil tersenyum itu tak luput dari bidikan Asti dan Guntur.
“Ndang foto. Mumpung ra sadar wonge.”
“Iyo. Iki wes,” sahut Asti lalu mengirimkannya pada Galuh disertai tulisan,
Asti : [Misi berhasil]
Galuh : [Uapikkk!]
Galuh : [Jos tenan fotone]
Asti : [Aku gitu loh!] diikuti emoticon smile menggunakan kaca mata.
Galuh yang baru saja pulang dari tempat kerjanya itu langsung bersorak riang melihat apa yang dikirimkan bulik kecilnya itu di pesan w******p.
“Kenopo to, Nduk? Mulih kuwi mbok salam. Malah jerit-jerit,” ucap tetangga yang menyambut dan akan menemaninya di rumah malam ini.
“Aku bakal entuk Bunda karo adek baru, Bulik. Yuhuyyyy!” serunya lalu masuk ke dalam rumah.
Bersambung ....