‘Dinda jangan marah-marah
Takut nanti lekas tua
Kanda orangnya setia
Takkan pernah mendua’
Instrumen gitar yang dipegang seorang musisi muda mulai mengalung seiring lirik yang menjadi intro lagu kesekian yang menemani pengunjung di salah satu akringan di alun-alun kidul malam ini.
Andari dan Galuh baru selesai membeli jajanan dan mencari tempat duduk untuk mengobrol.
Ya, mereka hanya berdua. Galuh minta diturunkan di alun-alun kidul bersama Andari sementara sang Ayah mengantar seorang teman wanitanya yang tadi sempat menyapa, mengetuk jendela mobil Angga saat pria itu menunggu Galuh datang bersama Andari.
Wajah Galuh yang semula ditekuk kini semakin ditekuk begitu tahu kalau Andari akan ke Semarang bersama Ayah dan Neneknya.
“Aku nggak bisa bolos kuliah. Kenapa nggak weekend aja sih perginya? Biar aku bisa ikut kalian,” rungutnya merajuk.
“Kamu bukannya dinas seharian di stasiun kalau weekend kan?”
“Iya, tapi aku mau ikut. Aku kan mau bantu Kak Andari cari Ayah Kakak.”
Andari mengusap bahu gadis yang wajahnya masih terlihat seperti anak SMP itu.
“Makasih ya, Galuh. Kak Andari udah seneng banget bisa ketemu kamu. Kak Andari nggak tahu kalau seandainya hari itu kamu nggak nolong kakak.”
Andari menatap sendu wajah gadis yang kini merasa bersalah karena jadi membuat Andari sedih.
“Kak Andari semangat, ya?! Galuh bakal doain Kak Andari cepet ketemu Ayah Kak Andari.”
Galuh sempat mencuri dengar percakapan Ayahnya dan Andari malam itu.
Meski tidak banyak bertanya, Galuh tahu yang dibutuhkan Andari saat ini adalah dukungan.
Alih-alih mencampuri urusan Andari, Galuh sebetulnya sebal karena jadi kehilangan kesempatan untuk mendekatkan Ayahnya dengan Andari.
Tapi, jika dipikir-pikir lagi, momen mereka ke Semarang nanti bisa jadi momen bagus untuk Andari dan Angga bisa berduaan dan menjadi lebih dekat.
Galuh pun memasang senyum penuh semangat seolah hal itu ditunjukkan untuk memberi dukungan pada Andari.
Nyatanya, senyum terselubung itu adalah senyum bahagia karena membayangkan ayahnya akan sering pergi berduaan dengan wanita yang ia harap bisa menjadi kekasih ayahnya itu.
“Tapi Kak Andari nanti kabarin Galuh yak?”
“Iya. Kak Andari nanti kabari. Lagian cuma dua hari aja kok.”
“Tetep aja. Ya?”
“Iya.”
“Nah, gitu.”
Galuh langsung memeluk Andari dari samping. Seperti bocah yang sedang merajuk pada ibunya. Andari terkekeh, merasa seperti punya adik perempuan.
“Makan yuk, Kak!”
“Kita nggak nunggu Ayah kamu dulu?”
Wajah Galuh kembali ditekuk. “Biarin aja. Ayah udah gede.”
“Kamu kenapa ketus gitu sama Ayah kamu?”
“Tau ah! Sebel aku. Ayah belain nganter temen ceweknya yang ganjen itu.”
Andari terkekeh. “Kok ganjen?”
“Masa Kak Andari nggak bisa lihat sih cewek tadi itu ngarep banget sama Ayah.”
“Kenapa memangnya? Ayah kamu single kan?”
“Tetep aja aku nggak suka.”
“Apanya yang kamu nggak suka?”
Galuh mengendikkan bahu. “Auranya nggak cocok deket Ayah aku yang kalem dan penyayang.”
Andari terkekeh. “Ada-ada aja kamu nih. Kayak peramal pake aura segala.”
“Beneran kok. Auranya bikin orang nggak suka. Genit. Keliatan mau sama Ayahku aja.”
"Kan pacarannya sama ayah kamu.”
“Tapi Ayah kan punya aku.”
“Yang kamu nggak suka dari tante yang tadi apa? Karena nggak bisa ngambil hati kamu?"
Galuh menggelengkan kepala sambil membatin, 'Jelaslah. Beda sama Kak Andari.'
“Terus kenapa kamu bisa nggak suka?” desak Andari tampa sadar.
“Pokoknya aku nggak suka aja, Kak Andari.”
Gadis itu mendadak kesal dan melahap makanannya dengan cepat.
“Iya. Tapi harus ada alasannya. Masa tiba-tiba nggak suka.”
“Aku nggak suka aja. Dandanannya kayak tante-tante. Lipsticknya itu loh. Kayak lipstick pelakor.”
Andari terbahak. “Emang lipstick pelakor tuh kayak gimana sih?”
“Ya kayak tadi. Warnanya nantangin.”
Andari masih tertawa mendengar penjelasan Galuh yang menurutnya aneh.
“Tapi menurut Kak Andari mereka cocok kok. Perempuan yang tadi cantik. Ya kalau dandanannya dewasa, kan wajar. Seumuran Ayah kamu juga kan?”
“Lebih tua Kak Andari?”
“Masa?”
“Iya. Dia janda.”
“Jadi kamu nggak suka karena dia janda? Janda juga yang penting kan orangnya baik. Jangan menilai orang seperti itu. Nggak baik. Apalagi sesama perempuan. Nanti dikira merendahkan. Jadi janda itu kan banyak alasannya," terang Andari.
"Tadi dia juga ramah kok sama Kak Andari," pungkas gadis itu.
Galuh berdecak. Kenapa Andari malah memuji perempuan yang bisa saja jadi rivalnya itu. Batin Galuh meruntuk.
“Ndak … ndak … ndak! Ndak cocok. Dia juga keliatan kok nggak suka aku.”
“Mungkin kamunya yang kurang friendly aja sama dia. Coba deh deketin. Kan tak kenal maka tak sayang.”
Haduh. Rasanya ingin berteriak dan mengatakan pada Andari kalau sejujurnya Galuh lebih suka gadis itu yang jadi pacar ayahnya.
“Cocokan sama Kak Andari.”
“Eh? Gimana?”
Galuh berdeham. “Maksudku, ayah tuh kan awet muda. Masih cocok kok kalau nyari cewek yang umurnya lebih muda. Ya seumuran Kak Andari.”
Gadis itu mengangguk saja. Tak menangkap aneh maksud terselubung dari ucapan Galuh.
“Oh, pantes kamu jodohin Ayah kamu sama temen-temen kamu ya? Biar nanti Ibu tiri kamu seumuran kamu. Jadi bisa diajak hang out. Gitu?”
Galuh menjentikkan jari di depan Andari sambil tersenyum senang. “Kak Andari tahu banget mau aku.”
Andari terkekeh. “Tapi perasaan itu nggak bisa dipaksakan. Kalau Ayah kamu nggak suka terus terpaksa cuma buat nyenengin kamu, memang kamu nggak kasihan sama Ayah kamu?”
“Nggak. Biar aja. Ayah juga suka gitu sama aku.”
Andari terkekeh lagi. “Kamu nih, kalau marah keterusan. Jangan gitu ah! Nanti Ayah kamu beneran punya pacar terus lebih fokus sama pacaranya, kamu cemburu lagi. Kehilangan.”
“Nggak tuh! Biar aja. Aku juga bisa pacaran nanti jadinya. Asal cocok aja sama aku.”
Kali ini Andari tergelak. Galuh sendiri hanya meringis menggemaskan sambil melirih dalam hati,
‘Dan asal pacarnya Kak Andari juga. Aku nggak papa banget.’
Kedua gadis itu melanjutkan obrolan mereka yang lain sambil menikmati jajanan yang mereka beli.
Angga baru datang ketika Andari dan Galuh sudah menghabiskan separuh jajanan dan minuman mereka.
Namun, langkah pria itu terhenti lebih dulu saat dua orang pria mendekati Andari dan Galuh.
Andari terlihat tidak nyaman meski kedua pemuda itu hanya seperti ingin berkenalan saja.
“Maaf, Mas. Mbak ini udah punya calon suami.”
Pppfffttthhh ....
Andari terkejut sampai memuncratkan minuman yang belum sempat ditenggaknya.
"Maaf." Andari melirih sungkan. Galuh hanya mengulum bibir menahan tawanya.
“Oh, gitu. Kalau kamu siapanya?”
“Aku? Aku anaknya calon suami Mbak ini.”
Dua pria yang mengajak mereka berkenalan itu seketika melempar tatapan bingung sebelum akhirnya terbahak.
“Kamu pasti ngarang, ya?”
“Ngapain? Ndak eh! Aku ndak bohong kok.”
Galuh lantas mendongak, tatapannya bertemu dengan tatapan Angga yang masih terdiam di posisinya.
Seketika senyum mengembang di wajah Galuh karena orang yang dibicarkannya datang juga.
“Nah, itu Ayah udah dateng.” Andari menoleh ke arah yang ditunjuk Galuh. “Ayah! Sini!” imbuhnya berseru sambil melambaikan tangan.
Pria itu mendekat dengan langkah tegap dan menawan beberapa pandangan wanita yang mejanya dilintasi.
Dua pria yang semula mengajak keduanya ngobrol pun ikut menoleh saat Angga tiba di meja kedua gadis itu.
“Nah, ini Ayah aku. Ini pacarnya Ayah aku.” Galuh menunjuk keduanya bergantian dengan endikkan dagu.
Wajah Andari seketika memerah tomat. Gadis itu langsung mengambil sisa minuman dan menenggaknya dengan cepat. Meredakan hawa panas yang seketika menguasainya.
Sayangnya, hawa malah terasa semakin panas. Padahal angkringan yang mereka datangi tempat duduknya terbuka.
Andari mengibas-ngibas wajahnya guna mendinginkan hawa yang membuat wajahnya serasa memanas.
“Kita pulang sekarang, Sayang?”
Andari menoleh mendongak pada Angga yang tepat berada di sampingnya.
Sial.
Meski tahu kalau kata ‘Sayang’ itu disematkan untuk Galuh, tetap saja Andari merasakan debaran yang aneh. Apalagi ketika tatapan Angga berganti padanya.
“Bunda masih mau jalan-jalan nggak?” goda Galuh membuat kedua bola mata Andari membeliak.
Astaga.
Apalagi ini? Batin Andari mengeluh sejadi-jadinya.
Namun, Galuh dengan santainya mengamit lengan Andari dan bermanja-manja sambil mengulang kata yang serupa.
“Bunda kok diem aja sih ditanya tuh?”
“Kita pulang sekarang saja, Sayang. Ayah juga lelah.”
Andari hanya bisa mengelus d**a. Kenapa Ayah dan anak kelakuannya malah sama-sama absurd.
“Duluan ya, Mas-Mas.”
Galuh berpamitan pada kedua pria yang sejak tadi sudah menyerah begitu mendengan panggilan sayang Angga yang sebetulnya ditujukan untuk sang Anak.
Tapi Andari lagi-lagi dibuat tercengung ketika Galuh kembali ketus pada ayahnya.
“Kak Andari aja duduk di depan. Temenin Ayah. Aku lagi males. Pengen sendiri aja.”
“Tapi–“
“Tapi–“ Andari dan Angga berseru kompak.
“Hah!”
“Hah!”
Tanpa disadari, lagi-lagi keduanya mendesah pelan secara bersamaan.
Angga masuk dan duduk di depan kemudi lebih dulu lalu disusul Andari yang mau tak mau ikut masuk.
Padahal Angga merasa senang karena Galuh tidak marah lagi dengannya. Tapi kenapa sekarang gadis itu ketus lagi.
Sungguh Angga tak suka bersiteru dengan putri satu-satunya itu hanya karena hal sepele.
Ya, tentu saja bagi Angga dalah hal sepele saat seorang kawan memintanya mengantarkan ke rumah. Terlebih dia seorang wanita.
Angga tak enak menolaknya apalagi teman yang meminta pertolongannya itu adalah seseorang yang cukup banyak berjasa di hidupnya dulu.
Dan Andari kini harus terjebak di antara perseteruan ayah dan anak yang sepertinya akan berlangsung terus-terusan sampai mereka tiba di rumah.
Galuh turun lebih dulu dan membanting pintu mobil dengan cukup keras. Sementara Angga dan Andari mengikutinya dari belakang beberapa saat kemudian.
Keduanya menyalami Sumarni yang baru pulang dari langgar bergantian.
Andari sendiri memilih masuk kamar dan menyiapkan pakaian untuk ganti sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dan begitu ia keluar dari arah dapur, Andari bisa mendengar Angga yang mengetuk pintu kamar putrinya sambil berseru tegas.
“Buka pintunya atau Ayah juga akan marah sama kamu lebih lama.”
Nada ancaman itu seolah membuat hati Andari terasa sedih. Damar, Ayah sambungnya saja tidak pernah seperti itu padanya.
Andari ingin sekali menegur Angga. Tapi siapalah dirinya. Apalagi di rumah ini ia juga hanya menumpang. Bisa-bisa Angga juga marah dan batal membantunya mencari sang Ayah kandung.
Andari pun memilih berlalu ke kamar setelah memastikan Angga masuk ke dalam kamar Galuh.
Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti ketika rasa penasaran mengalahkan logikanya.
Andari mendadak lupa diri dan menguping pembicaraan antara Ayah dan anak yang mulai terdengar meninggi itu.
“Ayah kan sudah bilang, Ayah nggak ada hubungan apa-apa sama Tante Inggit.”
“Tapi Ayah jelas nggak nolak permintaan Tante Inggit tadi. Padahal Ayah kan udah janji mau nemenin aku ngajak Kak Andari jalan-jalan malem,” salak Galuh terdengar.
“Nak, Ayah sama Tante Inggit itu berteman sejak kuliah. Bahkan Tante Inggit itu juga dulu merawat kamu saat masih kecil. Kenapa kamu–“
“Oh, jadi Ayah mau Tante Inggit jadi ibu baru aku? Gitu?”
“Galuh!”
“Ayah bentak Galuh? Karena Tante Inggit?”
“Bukan begitu. Kamu ini kenapa sih?”
Andari reflek ingin mendorong pintu. Namun kali ini logikanya menahan. Meski takut Galuh akan diperlakukan kasar, namun lagi-lagi Andari menyadari posisinya yang bukan siapa-siapa.
Tidak ada hak dirinya ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Apalagi Angga adalah Ayah Galuh. Jelas pria itu lebih berhak atas Galuh.
Andari mengepalkan kedua jemarinya kuat-kuat. Gadis itu pun memilih tetap di sana dan mendengarkan apa yang dibicarkan keduanya lagi.
“Ayah keluar sekarang. Galuh nggak mau liat Ayah.”
“Galuh?!”
“Pergi, Yah!”
Galuh terdengar menangis. Andari ingin sekali masuk tapi lagi-lagi ia hanya bisa mematung di posisinya. Tak sempat kabur ketika Angga keluar kamar dan memergokinya masih di sana.
Mereka bertatapan sejenak. Air muka Angga sungguh keruh, sampai-sampai Andari tak tahu harus melakukan apa.
Untunglah pria itu memilih pergi lebih dulu. Mengurai kekikukan di antara mereka. Dan tak bertanya tentang dirinya yang tertangkap basah menguping di dekat pintu kamar.
Andari mengusap dadanya yang terasa kalut. Menghela dan menghembuskan napas sesaat, gadis itu memilih masuk kamar dan menyelesaikan ritual setelah mandinya lalu tidur.
Hingga dua hari berlalu, perseteruan di antara Ayah dan anak itu masih saja berlangsung.
Meski tak bertanya secara langsung, Sumarni juga menyadari kalau anak dan cucunya itu sedang ada masalah.
Tok tok tok ….
Andari tersenyum lembut saat Galuh membukakan pintu kamar untuknya. Andari tahu kalau sang pemilik kamar masih bangun meski lampu kamarnya sudah redup.
“Kamu nangis?”
Galuh menggeleng. “Lagi nonton drama. Sedih ceritanya. Jadi kebawa perasaan gitu akunya.” Galuh berkilah.
Andari mengagguk saja meski ia yakin kalau gadis itu menangis karena masalah dengan ayahnya yang belum selesai.
“Kak Andari boleh minta tolong?”
“Kak Andari mau minta tolong apa?”
“Bikinin Kak Andari mie rebus kayak yang kamu bikinin buat ayah kamu boleh?”
“Kak Andari lapar?”
Andari menggelengkan kepala sambil mengendikkan bahu.
“Lho, yang bener yang mana to?”
“Kak Andari lapar, sih. Tapi kayaknya kalau ngabisin mie rebus sendirian Kak Andari bakal kekenyangan. Temenin Kak Andari makan, ya?”
Galuh mengusap sisa air mata dan ingusnya dengan bagian dalam pakaian yang ia tarik dari lehernya.
“Ya udah. Ayo!”
Keduanya berjalan ke dapur. Sumarni sendiri sudah beristirahat di kamarnya karena besok ia dan Angga serta Andari akan pergi ke Semarang.
“Kak Andari mau pake rawit nggak?” Galuh menoleh ke belakang. Di mana Andari duduk di meja makan.
“Jangan deh. Kak Andari nggak terlalu suka pedas.”
“Gitu ya?” Andari mengengguk. “Okey deh! Nanti aku pake rawit sendiri.”
Andari hanya tersenyum sambil terus memperhatikan punggung gadis yang sedang memasak mie untuknya itu.
Galuh menyajikan mie yang dibuatnya ke dalam dua mangkuk lalu meletakkanya di hadapan Andari dan dirinya yang duduk berseberangan.
“Kak Andari jadi rindu Ayah Kak Andari di rumah,” bukanya sambil menghirup aroma kuah mie panas bercampur kornet yang menyeruak ke dalam hidungnya.
Galuh yang sedang fokus mengaduk potongan rawit ke dalam mienya pun mendongak menatap perempuan di hadapannya itu.
Andari tersenyum manis. “Kak Andari punya dua Ayah,” lanjutnya.
Galuh benar-benar fokus menatap perempuan di hadapannya itu setelah meletakkan sendok makannya.
“Sebelum Kak Andari tahu kalau Ayah Kak Andari yang selama ini Kakak anggap ayah kandung Kakak itu ternyata bukan Ayah kandung Kak Andari.”
Seolah menceritakan hal itu adalah hal yang membahagiakan, Andari dengan wajah lembutnya mengatakan lagi kalau,
“Kak Andari juga dulu suka debat sama Ayah Kak Andari. Tapi pasti nggak lama.”
“Kenapa?”
“Suka nggak tega aja musuhinnya. Dibanding Bunda, Ayah tuh memang lebih posesif dan protektif sama Kak Andari daripada sama Kala.”
“Kala siapa?”
“Adik laki-laki kak Andari. Makanya Kak Andari maklum kalau Ayah kadang sering bersikap beda. Tapi ya nyebelin juga sih karena sikapnya yang berlebihan. Tapi lagi-lagi Kak Andari coba maklum. Karena mungkin Kak Andari anak perempuan."
Andari terkekeh sendiri. "Ya, walaupun nyebelin, Ayah tetep cinta pertama Kak Andari.”
“Sekarang gimana?”
“Gimana bagaimana maksudnya?”
“Cinta pertama Kak Andari masih Ayah yang sekarang? Setelah tahu kalau Ayah Kak Andari itu bukan Ayah kandung Kakak.”
Andari mengangguk yakin. “Terus kenapa Kak Andari masih pengen nyari Ayah kandung Kak Andari?” desak Galuh.
“Karena Kak Andari sudah sejauh ini. Kak Andari harus menyelesaikannya. Setidaknya sebelum semua tuntas, Kak Andari nggak pengen pulang bawa penyesalan.”
“Meskipun pada akhirnya apa yang Kak Andari lakukan sekarang ini juga akan membawa penyesalan?”
“Maybe.”
Galuh tertegun mendengar penuturan Andari. Kata penyesalan itu seperti merasuk ke dalam hatinya.
“Tapi setidaknya, Kak Andari pernah mencobanya."
Jeda sejenak menarik napas, Andari lanjut berkata,
"Tahu nggak apa yang akan biasanya banyak disesali kebanyakan orang dalam hidup mereka?”
Galuh menggeleng. “Ingin melakukan sesuatu tapi menyerah sebelum melakukannya. Dan akhirnya menyesal saat semuanya terlambat diulang.”
Bersambung ….