Her Savior 12 - Cocok

2315 Kata
“Okay kalau begitu. Kita bicarakan besok klausal dan kesepakatan lainnya bersama pengacara saya agar bisa langsung kita sahkan di notaris.” Angga mengangguk lalu bangun dari duduk dan menjabat tangan seorang pria yang akan menjadi rekan bisnisnya ke depan itu. “Saya duluan kalau gitu, Mas Angga. Sampai bertemu besok lagi.” “Monggo. Terima kasih untuk kesempatan kerja samanya.” Pria itu menempuk-nepuk bahu Angga sambil berkata, “Saya juga senang bekerja sama dengan anak muda yang memiliki visi mengagumkan seperti Mas Angga ini. Saya duluan kalau begitu. Mari!” Angga mengangguk sopan pada pria yang usianya lebih tua dari dirinya itu sebelum duduk kembali membereskan berkas dan mematikan laptopnya. Pria itu melihat jam di pergelangan tangan lalu memeriksa ponselnya yang sejak tadi dialihkan ke mode senyap. Terlihat sudah ada puluhan notififikasi bar pesan dan panggilan yang Angga yakini dari anak gadisnya. “Ayah ke mana aja sih?” rungut Galuh usai menjawab salam sang Ayah. “Ayah loh sedang meeting.” “Maaf. Kak Andari mana? Tadi dia chat aku tanya makanan yang khas di Solo dan enak apa.” “Tongseng. Soto,” celutuk pria itu sambil membereskan mejanya. “Ayah! Galuh serius.” “Memang Ayah bercanda?!” Galuh terdengar berdecak di seberang telepon sana. “Kak Andari-nya mana?” “Di hotel.” “Lha Ayah di mana ini?” “Ayah tadi bilang apa?” “Meetingnya nggak di hotel?” “Hm.” “Terus Ayah nggak ngajak Kak Andari?” “Hm?” Angga terus bergumam menjawab pertanyaan sang putri sambil memasukkan berkas-berkasnya ke dalam tas dengan menggunakan kedua tangan. Sementara ponsel yang melekat di telinganya dijepit dengan bahu. “Terus Kak Andari di hotel sendirian?” Gadis itu terus mengoceh dengan nada kesal. “Memang mau ditemani siapa? Petugas hotel?” “AYAH!” Angga menjauhkan ponselnya dari telinga. “Jangan teriak, Nak.” “Habisnya Ayah kan janji mau jagain Kak Andari. Mana udah jam delapan. Kak Andari pasti belum makan. Ayah kok jahat sih? Kalau Kak Andari sakit gimana?” omelnya terdengar cemas. Angga termenung sejenak. “Ayah sudah bilang kalau mau makan pesan ke hotel. Nanti Ayah yang bayar tagihannya.” “Lha itu buktinya Kak Andari chat aku gitu. Berarti belum makan Ayah.” Apa yang dikatakan putrinya seketika membuat Angga tak enak hati. Kalau benar gadis itu belum makan, Andari pasti sedang kelaparan saat ini. Ah, tapi kan gadis itu sudah besar. Masa tidak bisa cari makan sendiri? Batin Angga. Apalagi jaman sudah begitu modern dan serba mudah. Tinggal menggunakan ponsel pintar saja apapun bisa didapatkan dengan mudah. Apalagi hanya soal makanan. Atau dompetnya hilang? Tertinggal? Bisa jadi. Pikir pria itu. “Ayah!” “Iya, Nduk. Ada apa?” “Kok ada apa sih? Pulang cepetan. Beliin Kak Andari makan. Kalau sampe Kak Andari sakit kan kasian nanti ndak bisa nyari ayahnya, Yah.” “Iya. Iya. Ini Ayah mau pulang.” “Beli makanan yang banyak dan enak,” pesan gadis itu sebelum mengakhiri percakapan dengan sang Ayah. Angga pun bergegas keluar dari restoran dan masuk ke dalam mobilnya. Melaju ke arah jalanan besar kemudian belok ke lokasi angkringan malam yang menjual aneka makanan di malam hari. Pria itu lantas memilih dua menu makanan umum yang pastinya disukai kebanyakan orang. Angga membeli sate buntal beserta lontongnya juga Tahok atau kembang tahu yang berbentuk seperti puding dengan rasanya yang seperti kedelai. Ditambah kuah jahe dan kayu manis yang membuatnya terasa pedas manis, jajanan ini memang cocok dinikmati saat malam hari seperti sekarang ini. Pikirnya. Pria itu juga membeli camilan tempe mendoan dan juga kopi dari sebuah kedai kopi di dekat hotel tempatnya menginap. “Assalamualaikum!” Andari ketiduran di sofa saat Angga pulang dan masuk ke dalam kamar yang mereka tempati. Pria itu lantas meletakkan barang bawaannya di sofa yang ditempati Andari. Merasa ada pergerakan yang aneh, Andari pun seketika membuka matanya lebar sebelum mendesah lega. “Kamu kira siapa memangnya?” “Maling.” “Malingnya sekeren saya?” Andari terkekeh. “Kata Galuh Ayahnya kan spesialis maling. Tapi malingnya hati orang.” “Kamu kebanyakan nonton sinetron.” Andari menggeleng sambil melirik bungkusan yang Angga bawa dan di taruh di meja. “Aku nggak suka nonton tv. Paling baca novel.” “Sama saja.” “Mas belum makan?” tanyanya alih-alih. “Sudah. Itu buat kamu.” Andari tersenyum lebar. Ia memang lapar dan belum sempat membeli makanan. Padahal sudah hampir jam sembilan malam. “Wangi banget satenya.” “Kamu belum makan sama sekali?” “Tadi sih pesen zoupa soup ke restoran. Bingung soalnya mau makan apa. Aku pengen jajan di kaki lima gitu mumpung lagi di kota orang. Kulineran. Tapi takut Mas pulang aku nggak ada nggak bisa masuk.” “Kenapa tidak kirim pesan? Kunci kan bisa dititip di resepsionis.” Andari nyengir kuda. “Takut ganggu.” “Saya mandi dulu. Kamu habiskan saja kalau mau.” “Makasih Ayahnya Galuh.” Langkah Angga terhenti. Tubuhnya berbalik menatap Andari. Sementara yang ditatap sibuk membuka bungkusan makanan dan minumannya. Ada getar aneh setelah mendengar Andari memanggilnya dengan paggilan seperti itu. Pria itu pun berbalik lagi dan berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kepalanya geleng-geleng begitu melihat gadis itu tertidur lagi setelah menghabiskan makan malamnya dan menyisakan beberapa untuknya usai mandi. Dengan cepat Angga pun membereskan semua bungkus makanan yang sudah terususn rapih dalam satu wadah dan tinggal membuangnya saja. “Mas Angga udah selesai mandinya?” “Kamu nggak gosok gigi dulu?” Andari meregangkan tubuhnya sebelum bangun dan berlalu ke kamar mandi. Angga sendiri menonton tv sambil menikmati sisa kudapan yang disisihkan Andari dan menunggu gadis itu selesai dengan kegiatannya. Gadis itu cukup lama sibuk di dalam kamarnya. Angga sendiri penasaran dengan apa yang dilakukan gadis yang tak kunjung keluar lagi dari kamarnya itu. Padahal Lampu kamarnya juga masih menyala. Karenanya Angga pun memberanikan diri menghampiri pintu kamar dan menempelkan telinganya di daun pintu. Kening pria itu berkerut-kerut karena tak bisa mendengar apapun dari dalam sana. “Kedap suara?” lirihnya hendak mengentuk namun pintu lebih dulu terbuka cepat dan berakhir membuat Angga jadi menjitak kening Andari. “Aduh!” Pria itu menjenggit mundur. Kurang reflek saat pintu terbuka. “Maaf!” “Mas Angga ngapain di depan pintu? Jitak aku lagi,” rungutnya. “Tidak sengaja. Kamu lama sekali. Saya kira ketiduran lagi.” “Aku habis skincare-an dulu. Ada apa?” Angga menggeleng. “Saya kira kamu lupa matikan lampu.” “Oh, aku belum mau tidur. Mas Angga mau pake selimut?” “Tidak perlu.” Pria itu berlalu dan duduk lagi di sofa. Andari sendiri memilih ke pantry untuk mengambil minum dan membawanya ke kamar. Tak lama Angga lantas mematikan televisi dan lampu ruang tengah juga menurunkan suhu AC. Pria itu berbaring sambil memeluk satu bantal sofa lantas memejamkan mata saat pintu kamar yang ditempati Andari juga terbuka. “Mas?” Angga bangun dan menoleh pada gadis itu. “Tidur barengan aja.” Kening pria itu berkerut sempurna. “Jangan salah paham. Kasurnya juga gede. Takutnya Mas sakit badan. Terus masuk angin. Nanti aku yang nggak enak sama Ibu dan Galuh. Besok masih ada kerjaan kan?” “Saya laki-laki.” “Emangnya kenapa kalau laki-laki? Kecuali Mas syetan atau jin.” Angga tersenyum tipis. Alih-alih tersinggung, pria itu lanjut berkata, “Tidak usah cemas.” “Aku juga nggak bisa tidur.” Angga mendesah pelan. Sebetulnya tidak masalah kalau mereka tidur satu kasur. Pria itu bangun lalu mengikuti Andari ke kamar. Sengaja tak menutup pintu kamar yang mereka tempati berdua kini. Entah apa maksudnya. Padahal mereka sedang ada di kamar hotel. Siapa pula yang akan melihat dan mencurigai mereka yang sedang ada di dalam kamar ini. Namun, itu memang hanya kebiasaan saja yang sering Angga lakukan jika ada teman wanitanya yang datang ke rumah saat tidak ada orang sama sekali agar tak menimbulkan fitnah. Tapi sejatinya hal itu menjadi sia-sia ketika dilakukan di dalam kamar hotel yang memang privat. “Pintunya tidak saya tutup. Nggak masalah kan?” Andari mengangguk lalu masuk lebih dulu ke dalam selimut. Sementara Angga mematikan lampu utama. Pria itu ikut berbaring di sisi ranjang yang lain dengan posisi satu telapak tangan di bawah kepalanya. Jeda keheningan menyelimuti mereka berdua. Hanya hembusan napas masing-masing yang terdengar kemudian. “Tidurlah. Besok saya akan ajak kamu ke suatu tempat setelah pertemuan dengan rekan bisnis saya.” “Mas?” Angga berguman. Tatapan mereka sama-sama tertuju pada langit-langit kamar yang temaram. “Kalau aku tanya sesuatu tentang Mas dan Galuh apa aku lancang?” Angga menoleh ke arah gadis di sampingnya itu. “Rencana pernikahanku gagal karena calon mertuaku tidak terima dengan asal usulku yang nggak jelas. Terutama soal nasabku.” Angga masih menatap gadis itu dengan pandangan rumit. “Kata Ayah, kalau nanti aku dinikahkan nasabku akan menyandang nama Bunda setelah kata binti.” “Memangnya kenapa?” Andari menoleh ke samping dan netra mereka seketika bertemu. “Setiap anak yang lahir dari rahim wanita manapun keadaannya tetap suci. Dia tidak berhak menanggung sedikipun kesalahan orangtuanya.” “Tapi–“ “Ijab qabul itu hanya prosesi. Yang harus kamu yakini adalah komitmen. Kalau di awal saja laki-laki itu tidak mau memperjuangkan kamu, untuk apa kamu membuang waktu untuk memperjuangkan laki-laki tidak berguna seperti itu?” tegas dan lugasnya dengan yakin. Posisi mereka kini sama-sama miring dan saling berhadapan. Saling terdiam dan menyelami netra masing-masing. Lanjut Angga, “Kebahagiaan itu tidak ditentukan oleh apa kata orang. Kamu yang memilihnya. Dan kamu bisa memilih untuk bahagia dengan cara kamu atau terlihat bahagia hanya untuk menyenangkan orang lain.” Tak terasa air mata Andari jatuh di pipinya. Angga tertegun melihat gadis yang bahunya semakin bergetar itu. Rasanya ingin merengkuh Andari dan menenangkannya. Namun, logikanya melarang mengingat mereka bukan siapa-siapa. Alih-alih menenangkan, Angga hanya terdiam menatap gadis yang kemudian berbalik memunggunginya karena malu. Pria itu bahkan tak tidur sampai benar-benar memastikan Andari berhenti menangis dan akhirnya tertidur. Ada ganjalan yang kini menghampiri hatinya. Seolah menghimpit dan membuatnya sesak. Teringat akan Galuh yang sejak bayi juga tak mengenal ibu kandungnya. Dalam diam, Angga berdoa semoga Andari bisa segera menyelesaikan urusannya yang tertunda. Lalu …. Keesokan paginya, Angga bangun lebih subuh dan mandi sebelum membangunkan Andari. Mereka keluar hotel pagi sekali. Mencari masjid yang dekat lalu jalan pagi sambil mencari sarapan. Setelah berjalan-jalan cukup jauh dan hari lebih terang, mereka akhirnya sampai di sebuah angkringan pagi di mana banyak penjual makanan kaki lima yang berdagang. “Kamu mau apa?” “Itu apa?” Andari menunjuk apa yang dilihatnya. “Itu pecel ndeso. Nasinya pakai nasi merah sama kerupuk karak.” “Pedes ya?” “Bisa tidak pedas.” “Mas suka pedes nggak?” Angga menggeleng. “Aku mau ketupat bumbu itu aja kalau gitu.” Angga tersenyum. “Namanya Cabuk Rambak.” “Ketupat bumbu kan? Sama aja.” Angga tersenyum. “Coba saja. Rasa berbeda.” Angga lalu memesan satu Pecel Ndeso dan Cabuk Rambak untuk Andari. Mereka duduk di bangku plastik yang menyebar di dekat angkringan tersebut. “Em, kok beda ya?” “Sambalnya pakai biji wijen.” “Em, pantes.” “Enak?” Andari mengangguk. “Mau coba punya saya?” “Nggak papa?” Angga langsung menyuapkan satu sendok pecel miliknya ke mulut Andari tanpa pikir panjang. “Enak?” “Enak.” Gadis itu terlihat riang. “Mau pesan?” “Nggak ah. Nanti kekenyangan. Aku masih pengen coba yang lain,” ungkapnya diangguki pria itu. Untunglah porsi Cabuk Rambak yang andari pesan tidak terlalu besar. Membuat ruang di dalam perutnya masih bisa menampung makanan lain. Keduanya lanjut jalan-jalan lagi di sekitar jalan Manahan itu lalu menemukan penjual Bubur Lemu dan Lenjongan. Bubur Lemu ini adalah bubur nasih biasa yang dimasak dengan santan seperti pada umumnya sehingga memiliki cita rasa gurih. Hanya saja isian pelengkap dari bubur ini memang agak berbeda dengan bubur pada umumnya. Sebagai isiannya terdiri dari sambal goreng dengan bahan utama siam, tahu cina, kacang tolo, dan kerupuk kulit yang direbus hingga lembek. Sementara Lenjongan adalah jajanan pasar yang berisi makanan seperti tiwul, ketan hitam, ketan putih, gethuk, sawut, cenil, dan klepot yang diberi taburan kelapa dan siraman gula merah cair di atasnya. “Mas?” Andari menarik kaos Angga seperti bocah yang sedang merajuk. Sementara pria itu hanya menatap datar. “Pesennya seporsi-seporsi aja, ya?” “Maksudanya? Makannya dibagi dua?” Andari mengangguk. “Tapi saya sudah kenyang.” “Kenapa? Takut perutnya beranak?” Angga mendengkus tipis. Lalu teringat pesan sang anak padanya. “Ya sudah. Kamu mau apa?” “Bubur sama makanan yang manis itu,” sahutnya tersenyum riang seperti anak anjing yang sedang di usia lucu-lucunya. Keduanya pun duduk di bangku usai memesan makanan yang Andari mau. Angga juga memintakan sendok tambahan untuk memudahkan Andari makan semangkuk dan sepincuk berdua dengannya. “Mas sering ke sini?” “Tidak terlalu sering.” “Tapi kayaknya tahu banget daerah sini.” “Solo dan Yogya masih dekat. Bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor. Bandung dengan kota terdekatnya juga begitu kan?” Andari mengangguk sambil mengunyah makannya. “Mas sama Mbaknya dari Bandung?” tanya Simbah salah satu penjual makanan yang mereka beli, ikut nimbrung karena mendengar percakapan keduanya. “Bukan.” “Bukan.” Simbah terkekeh mendengar jawaban kompak keduanya. Andari langsung membuka mulut lebih dulu dan berkata, “Maksudnya bukan karena dia dari Yogya. Kalau saya iya dari Bandung,” terangnya. Simbah mengangguk dan lanjut bertanya, “Sampun rabi?” “Nembean, Mbah,” jawab Angga santai. Andari yang tak mengerti sedang dikerjai ikut mengangguk sambil tersenyum saja. “Cocok. Sing siji ayu sing siji ganteng. Tak dungake enggal entuk momongan.” “Eh?” Andari memekik. Bersambung …. *** Note : Sampun=Sudah, Rabi=Menikah, Nembean=Baru Aku udah lama nggak ke Solo. Terakhir tahun 2016. Kalau penggambaran tempatnya kurang ngena, ya bayangin aja yang mungkin kalian tahu tentang Solo, okay? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN