Her Savior 2 - Runtuh

1867 Kata
“Aku anak haram, Pras. Ayah Damar bukan Ayah kandungku.” Hening. Tak ada suara di antara Andari dan Pras kecuali isak kecil dari tangis tertahan yang berusaha Andari kungkung agar tak pecah. Pras jelas terdengar syok. Pria di seberang sambungan telepon itu nampaknya bingung harus menanggapi bagaimana ucapan Andari yang membuatnya terjaga penuh detik ini. “Pras? Kamu masih mau nerima Andari kan?” Pras terdengar gelagapan di seberang telpon sana. “Ah … iya, Dear. Sory, aku cuma kaget. Kamu tahu hal ini bagaimana dan dari siapa?” “Tadi pas aku turun mau ambil minum, Ayah dan Bunda kedengeran lagi bertengkar. Aku nguping dan akhirnya tahu,” terangnya dengan suara sengau. “Kamu yakin mereka bicara gitu? Atau mereka cuma lagi salah paham dan emosi aja mungkin, Dear. Karena bertengkar.” Pras berusaha meyakinkan dirinya kalau apa yang di dengarnya mungkin saja adalah sebuah kebohongan. “Mereka mengakuinya, Pras.” Hening dan jeda menyelusup lagi di antara keduanya. “Kenapa? Kamu nggak bisa terima aku setelah tau asal usulku?” “No! Nggak sama sekali. Bukan itu maksudku, Dear. Perasaanku nggak berubah. Sekarang, kamu tenangin diri dulu. Jangan nangis terus ya? Kita ketemu nanti di kampus. Kamu istirahat. Pasti belum tidur dari tadi kan?” tebaknya tepat. Andari sedikit terhibur dengan kata-kata sang kekasih. Namun, tetap saja, ada seuatu yang membuat hatinya merana. “Dear? Istirahat ya? Aku janji kita akan selesaikan masalah ini bareng-bareng. Hm?” bujuknya lagi dengan lembut. “Maaf udah ganggu kamu, Pras.” “It’s okay Dear. I love you. Istirahat ya?” “Andari juga sayang, Pras. Makasih.” “You’re welcome My Dear.” Klik …. Sambungan telpon itu terputus. Entah pukul berapa karena Andari baru bangun jam sepuluh paginya kemudian. Beberapa telpon dan notifikasi pesan masuk dari Pras. Salah satunya menuliskan, [Dear, aku akan coba bicara sama keluargaku] Seketika jantung Andari berdegub kencang. Ia mendadak cemas memikirkan bagaimana reaksi calon mertuanya nanti. Meski Ayah Andari dan Ayah Pras juga berteman baik, tapi kenyataan itu bisa jadi menimbulkan polemik dalam hubungan kedua keluarga mereka nantinya. Andari mencoba bangun, menjalani harinya meski dengan tak baik-baik saja. Bagaimanapun ia harus mengurus beasiswanya ke Inggris nanti. Hari berlalu …. Andari terus bersikap dingin jika bertemu dengan kedua orangtuanya. Tidak ada obrolan hangat di meja makan meski sang adik selalu mengeluarkan celetukan yang membuat tawa mereka harusnya mencelos seperti biasa. “Ayah antar ya, Andari?” buka Damar akhirnya. Andari menggeleng. Hari ini memang akhir pekan. Karena itu, Bunda dan Ayah-nya ada di rumah. “Aku diantar Kala aja Ayah.” Kala, sang adik pun mengangguk lantas menghabiskan minum sebelum keduanya berpamitan. Pagi itu, Andari memilih menemui Pras yang sudah berhari-hari ini tak memberinya kabar.  Padahal pria itu sudah berjanji akan segera menghubunginya setelah menceritakan perihal masalah keluarga yang Andari alami pada orangtuanya. “Pras?” Langkah Pras terhenti. Tubuhnya berbalik kikuk dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan. Pria itu tak menyangka kalau Andari akan mencarinya di kampus. Memang, setiap akhir pekan Pras akan datang ke kampus untuk membantu Dosen memeriksa tugas mahasiswa tingkat satu. “Andari?” Andari mengernyit. Tak biasanya Pras memanggilnya dengan nama asli. Mereka sudah bersama sejak SMA. Hubungan keduanya terjalin bertahun-tahun meski menjadi sepasang kekasih baru dilalui dua tahun terakhir ini. Dan panggilan itu kini terasa asing. Pras yang selalu jenaka, hangat sekaligus posesif kini terlihat kikuk saat keduanya duduk di meja kantin kampus yang cukup lengang. Mereka memilih meja dan bangku yang agak jauh dari orang-orang agar pembicaraan keduanya tak terlalu diperhatikan sekitar. “Kamu kenapa nggak kabarin aku beberapa hari ini?” “Em ... itu, Dear ... aku sibuk banget,” kilahnya. Andari tersenyum kecut. Berusaha memaklumi. Namun, nada dan jawaban Pras jelas menunjukkan kalau pria itu sedang menghindar. Wajah Andari menunduk sayu, tangannya mengaduk-aduk sedotan di dalam gelas jus yang ia pesan. “Pras udah cerita sama Ibu dan Bapak soal Andari?” lirihnya bertanya. Pras menelan ludah. “S-sudah. Maafkan aku, Dear.” Andari mendongak mengangkat kepalanya dan menatap Pras dengan seraut rumit. “Orangtua kamu–“ Pras langsung meraih jemari Andari dan menggenggamnya erat sambil menggelengkan kepala. “Kamu tahu kan kalau keluargaku punya darah keturuan ningrat. Mereka sangat mempertimbangkan bibit bebet dan bobot seseorang. Tapi aku udah berusaha jelaskan kalau ini bukan salah kamu. Aku minta waktu, Dear. Aku janji, aku akan–“ Andari melepas genggaman Pras di jemarinya sambil tersenyum rapuh. “Dear?” lirih Pras sadar kalau Andari akan sesakit ini mendengar penjelasannya. “Seperti dugaanku. Orangtua kamu pasti berubah pikiran ya?” selanya lesu. “Dear?” Andari berusaha memaksakan senyum yang tampak jadi aneh di wajah ayunya itu. Sepertinya, firasat Andari tentang Pras yang tak ada kabar adalah pertanda kalau hubungan mereka akan berakhir. “Kalau orangtua kamu maunya gitu, aku juga nggak bisa maksa, Pras. Kayaknya nggak ada yang bisa kita bicarakan lagi sekarang. Nanti aku coba bilang sama Ayah dan Bunda soal kita. Aku pulang dulu kalau gitu.” Andari bangun dari duduk dan berjalan meninggalkan Pras yang terpaku bersama tatapan orang-orang yang mengenal mereka. Sesaat Pras tidak tahu harus mengejar gadis itu atau tidak. Namun, detik berikutnya Pras terhenyak sendiri. Ia seharunya tak berikap sepengecut ini. Apalagi hubungan mereka sudah jauh akan melangkah ke pernikahan. Walau nanti sulit untuk memperjuangakan, mengingat keluarga Pras adalah keluarga terpandang yang sangat disegani, seharusnya ia tidak boleh jadi pria yang pengecut dan meninggalkan Andari yang sedang terpuruk seperti sekarang ini. Batinnya bergejolak. Pras berlari mengejar Andari yang belum pergi terlalu jauh. “Pras?” Pras menarik lengan Andari dan membawa tubuh yang lebih kecil darinya itu ke dalam pelukan. “Kita perjuangkan sama-sama ya. Dear? Aku mohon!” Tangis Andari pecah di pelukan Pras. Mereka tak peduli orang-orang menatap aneh dan tentu saja penuh tanda tanya mengingat hubungan keduanya yang terkenal di kampus. Pras lalu mengantar Andari ke rumah. Bertemu dengan kedua orangtua Andari yang akhirnya mengajak mereka duduk bersama. “Maaf kalau Pras harus bilang seperti ini sama Bunda dan Ayah. Tapi Pras–“ “Kamu nggak bisa begini, Pras. Orangtua kamu nggak bisa bersikap seperti itu sama Andari. Bunda yang salah, bukan Andari. Jadi tolong jangan batalkan pernikahan ini. Bunda akan berikan apapun yang orangtua kamu mau asal Andari dan kamu–“ “Bunda, cukup! Bunda nggak berhak memaksa Pras dan keluarganya,” tukas Andari lalu menatap Pras yang bungkam. “Pras, sebaiknya kamu pulang.” Pras mendongak, menatap bingung pada Andari. “Dear?” “Andari!” sentak Ardila. “Bunda jangan pernah bentak Andari!”  Ardila tak percaya putrinya yang manis itu sanggup membentaknya balik.  “Bunda harusnya sadar, semua ini Bunda yang buat. Dan Andari yang harus nanggungnya sekarang.” “Andari, jangan bicara seperti itu dengan Bunda kamu, Nak,” bujuk Damar lembut. Andari juga ingin melampiaskannya pada Damar. Namun, mendengar tutur lembut juga apa yang Damar katakan malam itu, Andari menekan egonya yang sedang terluka dan bergejolak. Hatinya seperti disekat dinding yang tinggi dan tebal. Andari seolah berjarak dan tak sanggup menatap Damar. Entahlah, rasanya mereka menjadi asing meski Damar tak merubah sikapnya sama sekali pada dirinya. “Pras, kamu pulang saja. Andari akan menerima apapun keputusan Ibu dan Bapak kalau memang ingin membatalkan pernikahan ini. Tapi tolong sampaikan maaf aku, mungkin Ayah dan Bunda nggak bisa ganti uang yang sudah kalian keluarkan untuk merancang acara pernikahan ini.” Pesta dan hajatan yang digadang akan berlangsung mewah itu tentu saja harus dibayar mahal. Dan kedua belah pihak sama-sama mengucurkan dana yang tak sedikit untuk berlangsungnya acara penting itu nanti. “Nak?” “Dear, please!” Damar dan Pras berseru kompak sementara Ardila yang masih syok dengan sikap sang putri yang berubah tajam hanya bisa terduduk dengan seraut kosong. “Nanti aku coba tanya Wedding Organizer-nya, mungkin uang yang dikembalikan bisa lebih banyak. Toh, pestanya masih dua bulan lagi.” “Dear?” Pras menghampiri dan meraih tangan gadis yang dicintainya itu. Namun Andari menepisnya pelan. “Andari capek. Andari mau ke atas dulu. Maaf.” “Dear?” “Pras?” Damar menahan bahu pria itu. Ardila sendiri langsung menangis. “Biarkan Andari menenangkan diri dulu ya?” “Tapi, Yah–” “Ini sangat berat bagi Andari. Menikah tidak diwalikan Ayah kandung saja terkadang membuat seorang gadis merasa sedih, apalagi Ayah yang memang tidak berhak mewalikan Andari dan membawa nasabnya kepada Ayah. Ayah mohon!” Pras mendesah sendu sambil mengangguk. “Pras akan coba bicara lagi sama Ibu dan Bapak, Yah.” “Terima kasih. Ayah juga akan coba bicara dengan Bapak kamu nanti di kantor.” Pras mengangguk. Pamit pada keduanya dan tinggal lah Damar serta Ardila yang kembali termenung dengan penyesalannya. “Maafkan aku, Dila.” Tangis wanita semakin menyesakkan. Damar membawanya ke dalam pelukan. Meski begitu banyak salah dan khilaf yang sama-sama mereka lakukan di masa lalu, Damar masih sangat mencintai Ardila. Ia ingin menua bersama Ardila dan melihat kedua anak mereka bahagia dengan kehidupannya masing-masing. “Apa yang harus kita lakukan, Mas? Aku nggak sanggup liat Andari begitu terluka sementara aku lah penyebabnya.” “Kita. Ini juga salahku Dila. Sekarang kita biarkan Andari menangkan diri dulu.” Dan sudah seminggu berlalu, Pras tak kunjung menghubungi Andari. Gadis itu juga tampak kacau. Hanya turun untuk makan dan minum lalu mengurung dirinya lagi di kamar. Tidak mandi dan beraktifitas. Damar dan Ardila semakin cemas. Pembicaraan Damar dan ayah Pras pun tak membuahkan hasil. Pria yang juga kawannya semasa kuliah itu tak berdaya menghadapi keluarga sang istri yang memang sangat dominan. “Maafkan Aku, Damar. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk anak-anak kita.” Kalimat itu terngiang terus. Damar merasa kecewa. Dan kekecewaan itu semakin bertambah ketika ia akhirnya tahu kalau Ibunya Pras benar-benar membatalkan pernikahan ini lantas menjodohkan Damar dengan gadis lain dalam waktu yang begitu cepat. Andari yang mengetahui hal itu pun akhirnya ambruk. Tak kuasa menahan beban yang semakin meruntuhkan dirinya.  Gadis itu terpaksa dibawa ke rumah sakit karena terserang penyakit tipes dan asam lambung. Andari terlalu stres. “Aku mohon Ya Allah. Jangan biarkan putriku hancur. Jika kesedihan itu bisa kugantikan, aku akan membayarnya dengan apapun. Bahkan nyawaku sendiri,” lirihnya dalam doa, di dalam kamar ruang perawatan kelas satu di salah satu Rumah Sakit swasta di Bandung. Andari yang mendengar ketulusan pria itu serasa diiris sembilu. Air matanya mengalir deras tanpa bisa ditahan sama sekali, seperti air terjun. “Ayah?” Damar menoleh tepat setelah mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang baru saja selesai ia tengadahkan ke langit. Buru-buru pria itu melipat sejadah dan menghampiri sang putri yang terbaring lemah dengan posisi setengah duduk di atas tempat tidurnya. Dengan selang infus yang selalu menancap tiga hari ini, Andari tampak lemah namun berusaha tersenyum tegar padanya kini. Senyum yang Damar rindukan beberapa waktu ini. “Andari butuh apa?” “Andari pengen dipeluk Ayah.” Mata Damar memedas. Andari-nya kembali. Pria itu memeluk hangat tubuh rapuh yang masih terasa demam. “Andari harus tahu, Andari tetap anak Ayah. Dan Ayah akan selalu menyayangi Andari sampai Ayah mati.” “Maafin Andari udah mengabaikan Ayah dan Bunda.” “Ayah maafkan. Tapi Andari harus sembuh. Janji sama Ayah nggak akan seperti ini lagi. Menyiksa diri.” Andari hanya bisa mengangguk lemah. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN