Her Savior 1 - Anak Haram

1381 Kata
Andari baru saja turun dari kamarnya di lantai dua rumah yang berada di sebuah komplek perumahan premium di daerah Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat. Gadis itu bangun dari tidurnya karena merasa kehausan. Air minum dalam gelas yang dibawanya sebelum tidur pun sudah habis di atas nakas. Tenggorokannya terasa kering sekali karena cuaca sedang panas malam itu. Andari bahkan tidur tanpa selimut saking gerahnya sebab ia juga tidak suka memasang AC di kamar. Jam masih menunjuk angka setengah sebelas malam ketika langkah kaki cantik itu menuruni tangga rumahnya satu persatu.  Lamat-lamat Andari mendengar suara pertengkaran dari dalam kamar orangtua yang lampunya masih menyala. “Pokoknya kamu harus bilang sama Andari semuanya, Dila. Titik!” suara laki-laki yang selama ini dipanggil Andari dengan sebutan Ayah itu terdengar. “Kamu nggak kasihan sama Andari Mas? Kalau sampai Pras dan keluarganya membatalkan pernikahan ini, Andari yang akan menanggung malu dan hancur,” balas suara sang Bunda terdengar berikutnya. Andari mengerutkan kening sambil berjalan mengendap. Mencoba mendengarkan lebih seksama apa yang sedang dibicarakan kedua orangtuanya selarut ini sambil berteriak satu sama lain. Telinganya ia tempelkan di daun pintu sambil memegangi gelas yang tadinya akan diisi air minum. “Kalau kamu takut dia menderita, harusnya kamu pikir ulang saat memutuskan untuk selingkuh dengan klien kamu itu dulu,” salak sang Ayah. ‘Selingkuh? Maksudnya Bunda selingkuh? Dengan siapa? Kapan?’ lirih Andari dalam hatinya. Rentetat pertanyaan itu terlontar seperti peluru yang keluar begitu saja dari senapan laras panjang di kepala Andari. “Oke aku salah. Tapi apa harus kamu melakukan ini sama Andari? Kamu juga selingkuhin aku lebih dulu. Dan kamu bikin aku keguguran anak kita,” sengit sang Bunda. Terdengar mulai terisak. ‘Ini maksudnya apa sih? Selingkuh? Jadi mereka sama-sama pernah berselingkuh dan saling membalas? Bahkan sampai Bunda keguguran?’ Lagi-lagi rentetan pertanyaan itu melintas di kepalanya. Jeda sesaat tak ada yang bicara karena baik Ardila sang Bunda dan Juga Damar sang Ayah sedang sibuk meruntuki dirinya sendiri. “Oke, aku minta maaf. Tapi ini aku lakukan justru karena aku ingin Andari bahagia dengan pernikahannya.” “Dari dulu. Dari awal sebelum Pras melamar seharusnya kamu lakukan itu, Mas. Bukan sekarang. Saat semua persiapan sudah matang. Tinggal dua bulan lagi.” “Tapi undangan belum disebar, Dila. Kalaupun Pras menolak, kita bisa carikan pasangan yang lebih baik untuk Andari.” “Siapa yang mau menerima dengan statusnya nanti? Siapa?” sentak Ardila semakin tak tahan. “Ada. Pasti Ada. Aku yakin Pras akan tetap mencintai Andari dan menerimanya. Dan aku juga akan tetap menyayangi Andari, menjadi Ayah untuknya sampai aku mati. Tapi Andari harus tetap tau siapa Ayah kandungnya. Ini penting, karena ini menyangkut–” Cetar…. Seperti ada kilatan di langit yang menerobos ke dalam rumahnya. Andari mematung dengan jantung berdentam-dentam liar, berusaha terus mendengarkan kedua orangtuanya bicara. “Jangan! Aku mohon jangan hancurkan mimpi Andari, Mas. Mereka akan menikah sebentar lagi.” Suara sang Bunda terdengar memelas di antara isak tangisnya. “Tapi Andari tidak mungkin kunikahkan dengan membawa nasabku, Dila. Pernikahan mereka tidak akan sah. Dan jatuhnya jadi zina. Sudah cukup kita yang melakukan hal terkutuk itu. Jangan biarkan Andari jatuh ke lubang yang sama seperti kita, Dila. Mas mohon.” Prakkkk… Gelas yang dipegang Andari jatuh. Pecah di bawah kakinya. Tubuh gadis itu gemetaran di tempat, tepat di depan pintu kamar kedua orangtunya. Sementara di dalam kamar sana, setelah mendengar suara gelas jatuh itu Ardila dan Damar sama-sama terkaget lalu bergegas membuka pintu. Ardila langsung menangkup mulut dengan kedua telapak tangannya saat pintu terbuka. Sementara Damar berusaha tenang menghadapi anak yang sudah dua puluh empat tahun ini ia besarkan dengan ikhlas dan penuh kasih sayang tanpa membedakannya dengan sang adik yang memang anak kandungnya. “Sayang,” panggilnya sambil mencoba meraih tangan Andari namun ditepis gadis itu. Kedua bola mata Andari sudah memerah panas. Bulir-bulir bening sudah menumpuk di pelupuk mata Andari. Dan dalam sekali kedipan berikutnya, air mata itu jatuh menganak sungai di pipi Andari. “Jadi Andari bukan anak Ayah?” lirihnya bergetar. Menusuk hati Damar hingga pria yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu tercekat dengan kata-kata yang baru akan melintas di tenggorokannya. “Nak, Ayah–“ “Jawab Bunda!” Pandangan Andari kali ini mengarah pada sang Bunda. Wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Ardila hanya bisa menangis. Kakinya terpaku. Ingin merengkuh namun seperti disemen. Hanya bisa menatap nanar putri kesayangan yang selama ini selalu patuh, manis dan membanggakan dalam segala hal yang dilakukannya. Bahkan saat Pras yang juga temannya sejak kecil sama-sama mendapatkan beasiswa S2-nya ke Inggris, melamar Andari agar mereka bisa melanjutkan study bersama sambil menjalani pernikahan di sana, rasa haru dan bangga di hati Ardila semakin memuncak. Gadis manis yang selalu suka memendekkan rambutnya sebatas bahu saja itu kini terlihat seperti orang linglung di hadapannya. Dan semua itu karena pertengkarannya dan sang suami malam ini. “Maafkan Bunda, Sayang. Maafkan Bunda.” Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir Ardila. Hatinya seperti dihantam sesuatu yang sangat keras hingga hanya sakit tanpa darah yang dirasakan wanita berusia menjelang setengah abad itu. Seketika Andari merasa hampa. Tubuh itu berbalik lalu berjalan melintasi pecahan gelas yang menusuk kakinya hingga berdarah. Tak dihiraukan. Nyatanya, luka di hati Andari yang tak bisa mengeluakan darah itu lebih terasa sakit dan perih dibanding luka di kakinya. Andari terus berjalan hingga akhirnya Damar meraih tubuh sang putri. Membopongnya kemudian mendudukkan Andari di kursi ruang keluarga. “P3K Dila. Cepat!” teriaknya panik. Di rumah ini hanya ada mereka karena sang adik sedang naik gunung dan kemping dengan teman-teman kuliahnya. Damar pun mencoba membersihkan pecahan beling yang menusuk kaki putrinya itu. Andari bergeming meski air matanya luruh membanjiri wajah ayunya di sana, tapi bukan karena nyeri di kaki yang ia tangisi, melainkan kenyataan pahit yang baru saja diketahuinya. Sesekali kakinya begetar saat Damar mencabut pecahan beling yang menusuk telapaknya. Kemudian membersihkan lukanya dengan antiseptik hingga darahnya terhenti. Barulah luka itu ia olesi dengan salep dan ditutup dengan perban. “Jadi Andari bukan anak Ayah?” lirihnya dengan tatapan kosong. Damar terdiam. Tak kuasa mengiyakan meski sejak tadi ia sendiri yang bersikukuh meminta sang istri memberitahukan Andari tentang status gadis yang bukan anak kandungnya itu. “Kamu anak Ayah. Selamanya anak Ayah,” sahutnya dengan tatapan nanar pada Andari. “Jadi benar kalau aku ini anak haram dari hasil perselingkuhan Bunda?” sahutnya tak nyambung. Gerakan tangan Damar terhenti membereskan kotak P3K setelah mendengar ucapan Andari itu. Pun dengan Ardila yang langsung memeluk putrinya dengan erat. “Maafkan Bunda. Maafkan Bunda, Sayang.” Malam itu. Andari harus menerima kenyataan yang selama dua puluh empat tahun hidupnya ditutup rapih oleh kedua orangtuanya. Kenyataan bahwa ia bukan anak kandung pria yang selama ini ia panggil dengan sebutan Ayah. Gadis itu naik lagi ke kamarnya dengan digendong sang Ayah. Ardila dan Damar sama-sama menahan perih yang teramat kala melihat betapa hancurnya hati gadis mereka yang tergambar di raut dan netranya. “Istirahat ya? Andari harus tahu, Ayah akan selalu jadi Ayah Andari sampai kapapun.” Damar membelai surai gadis itu dan mendaratkan kecupan di keningnya sebelum Ardila juga melakukan hal yang sama dan mereka keluar dari kamar itu. Andari membeku. Pikirannya kosong. Hatinya kian hampa. Membuat Andari benar-benar tak bisa tidur sampai pukul dua dini hari. Gadis itu pun memutuskan menghubungi Pras, sang kekasih sekaligus calon suaminya. Pras memang selalu menyalakan ponsel dan membuat dering khusus sehingga kapanpun Andari menelponnya, pria itu pasti akan mengangkatnya meski Andari harus menunggu hingga mengulang beberapa kali panggilan. “Iya, Dear? Kenapa? Kamu kangen?” seraknya di seberang telpon sana. “Pras maafin Andari.” Gadis itu terisak. “Hey! Kamu kenapa, Dear?” “Pras, kamu beneran sayang sama Andari kan?” “Dear, kamu kenapa tanya gitu? Kita kan akan menikah sebentar lagi.” “Tapi ada yang harus kamu tau, Pras.” “Apa, Dear. Katakan! Nggak usah ragu.” Andari menggigit kuku. Wajahnya cemas. Perasaannya seketika gamang apakah harus mengatakan hal itu atau tidak. Takut reaksi Pras akan sama sepertinya. “Dear? Baby? Kamu kenapa Sayang? Apa aku ke sana aja sekarang?” “Pras?” “Ya, Dear?” “Aku anak haram.” Bersambung …  *** Halo, selamat datang di n****+ ketigaku. Kalau ada typo/tulisan yg salah/cerita yg nggak nyambung, sila komen dengan jelas di babnya. Biar bisa kuperbaiki. Terima kasih. Happy reading ^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN