Her Savior 7 - Bantuan

2270 Kata
Sudah dua hari Andari menginap di rumah Angga. Malam ini, Andari tidak bisa tidur nyenyak. Hawa terasa lebih panas. Pun dengan pergelangan kakinya yang masih dibalur ramuan rempah yang berbau cukup menyengat. Memang awalnya Andari merasa kesakitan setelah dipijat dan dibalur ramuan, namun lama kelamaan kakinya yang membengkak mulai mengempes. Andari pun berjalan keluar kamar untuk mencari minum. Tenggorokannya terasa kering. Dengan bantuan kruk milik Sumarni yang dipinjamkan padanya, Andari berjalan perlahan ke arah dapur. Naas, karena bayangan dan sosok yang terlihat di antara remang lampu dapur dan ruang tengah yang gelap, Andari yang hampir memukul seseorang di hadapannya oleng karena tangkisan sosok tersebut. “Aahhh!” Gadis itu sudah pasrah bahwa ia akan terjatuh. Namun di luar dugaan sosok yang menangkis pukulannya tadi menarik dirinya lebih dulu. Bola matanya membeliak. Tak menyangka kalau ternyata sosok yang ia kira maling itu adalah Angga. Sumarni dan Galuh bergegas keluar kamar setelah mendengar teriakan Andari. Lampu ruang tengah seketika menyala. “Ada apa ini?” “Loh, Ayah sama Kak Andari lagi apa?” sambung Galuh. Satu tangan Angga memegangi lengan Andari dengan kuat sementara satunya reflek menahan punggung gadis itu. Galuh tentu saja bersorak senang dalam hati apalagi keduanya langsung terlihat salah tingkah memisahkan diri begitu kepergok. “Kamu baru pulang, Le?” “Iya, Bu. Tadi ngobrolnya agak lama. Nunggu temenku langsung pulang ke Bandung pakai kereta malam,” terangnya. Sumarni mengangguk paham. Anaknya memang pamit untuk menemui temannya setelah salat Isya. Angga yang baru pulang dan berniat bersih-bersih tak sengaja berpapasan dengan Andari saat akan ke kamarnya lebih dulu untuk mengambil handuk. “Nak Andari sendiri kenapa tadi jerit?” sambung Sumarni. “Itu, Bu. Kaget. Saya kira pencuri.” “Oh, Ayah sih emang tukang nyuri, Kak. Tapi sepsialis nyuri hatinya orang.” Galuh terkekeh. Sumarni geleng kepala sementara yang diledek masih memasang wajah datarnya. “Ya sudah. Ndak ada sisa makanan di meja. Kalau lapar, mau makan bikin mie saja. Ada sawi sama pakcoy di kulkas.” Angga mengangguk. Sumarni kembali ke kamar sementara Galuh yang hendak berbalik langsung ditahan ayahnya. “Kamu besok libur kulih kan? Temani Ayah.” “Tapi besok kan aku dinas pagi, Yah.” “Sebentar. Nanti Ayah antar.” “Kan ada kak Andari.” “Yang anak Ayah kan kamu.” “Ya maksudnya biar barengan. Kak Andari juga mau ke dapur kan?” Andari terhenyak. “Em, iya. Tapi Kak Andari cuma mau ambil minum aja.” “Lama juga nggak papa. Temenin Ayah juga–“ “Ayo!” Galuh berdecak. “Tapi ada imbalannya ya?!” “Sama ayah begitu?” “Iya deh. Iya. Ayah manja. Cari istri kenapa? Aku kan juga mau pacaran. Gimana mau punya pacar kalau Ayah ngintilin posesif gini terus?” “Kapan?” Andari sendiri jadi kikuk berada di antara perdebatan ayah dan anak itu. “Kapan? Suka pura-pura lupa. Mana panggil-panggil sayang lagi. Kan aku udah bilang kalau depan temen-temenku jangan panggil sayang. Dikiranya kan aku pacaran sama om-om.” “Gitu ya kamu sama Ayah, hm?” gemas Angga mencubit pipi sang anak. Senyum terbit di wajah Andari. Meski sering bersikap dingin dan datar, namun pada Galuh Angga terlihat begitu hangat dan sayang. Andari sungguh dibuat penasaran apa Galuh benar-benar anak pria itu. namun, melihat foto juga kemiripan wajah mereka, tidak akan ada yang bisa membantah kalau keduanya memang Ayah dan anak. Atau mungkin karena Ayah Angga meninggal, maka pria itu berperan seperti Ayah kandung gadis itu? Dan Galuh jadi terbiasa memanggilnya Ayah? Batin Andari sungguh dibuat penasaran. Tapi sebagai seorang tamu, sangat tidak pantas kalau dirinya mengorek tentang masalah pribadi keluarga orang lain. Gadis itu pun memilih kembali ke kamar setelah menenggak segelas air putihnya dan Galuh membawakan lagi segelas untuknya. Andari sempat mencium bau harum dari arah dapur saat pergi ke kamar mandi sebentar. Galuh sepertinya memasak mie dengan tambahan kornet. Membuat perut Andari mendadak jadi keroncongan. Tapi terlalu malu untuk mengatakan keinginannya. Mencoba tidur dan memejamkan mata, rupanya Andari lagi-lagi gagal saat suara terlevisi yang sedang menayangkan siaran bola terdengar dari luar kamar. Gadis itu mengintip dari celah pintu. Rupanya Angga sedang menonton pertandingan sepak bola. Angga yang merasa diperhatikan menoleh ke belakang. Membuat Andari segera menghindar dari celah pintu. Telapak tangan Andari menekan dadanya yang berdentam-dentam hebat. Seperti maling yang ketahuan mencuri. Sayangnya, Angga yang lebih dulu memergoki memilih bangun dari duduk dan mengetuk pintu kamar Andari. Tok tok tok …. Andari menjenggit. Gugup dan reflek menarik handel hingga pintu terbuka begitu saja. Rasanya ingin mengutuk diri. Kecerobohannya malah membuat suasana di antara mereka jadi canggung. Angga berdeham sambil berdiri dengan satu tangan berada di dalam saku celananya. “Kamu terganggu?” Andari menggeleng. “Masih sakit kakinya?” kepalanya menggeleng terus. Krubuk krubuk krubuk …. Sial sekali. Komplotan cacing di dalam perutnya malah memainkan paduan orkestra tengah malam begini. Andari sebetulnya tidak lapar. Namun entah kenapa, saat menghirup wangi kornet yang melewati indera penciumannya tadi seketika rasa lapar itu menyerangnya. “Kamu belum makan?” Andari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tadi udah makan kok. Tapi nggak tahu kenapa malah bunyi perutnya.” “Mau saya buatkan mie?” Tawaran mengejutkan itu justru membuat Andari terpaku dengan sosok di hadapannya. “Nggak usah, Mas.” “Kenapa? Takut gendut?” “Apa?” Andari mendengus sebal. “Aku nggak gitu, ya?! Aku lebih takut kelaparan daripada gendut tahu.” Senyum tipis di wajah Angga tak disadari Andari terbit secepat kilat. “Ayo! Saya buatkan mie. Saya tidak mau ada yang kelaparan di rumah saya kecuali saya.” Andari tertegun dengan ucapan pria itu. “Kenapa gitu?” Angga memilih berlalu. Membuat Andari diburu penasaran. Mau tak mau gadis itu pun mengikuti Angga ke dapur. Jam sudah menunjuk angka setengah satu malam saat Andari menatap pria yang fokus membuatkannya mie dengan memunggunginya. Andari tiba-tiba rindu ayahnya. Damar sering sekali membuatkan makanan dan menemaninya di waktu seperti ini saat gadis itu disibukkan dengan banyak tugas kuliahnya. Angga menjentikkan jari di depan wajah gadis itu setelah meletakkan mangkuk mie buatannya di hadapan Andari. “Kamu senang sekali melamun.” “Nggak. Cuma lagi kangen ayahku. Biasanya beliau yang sering membuatkan makanan dan menemani kalau aku laper tengah malam karena banyak tugas.” Angga mengerutkan keningnya. Tatapannya jelas memancarkan penuh tanya dan penasaran. Andari yang menyadari hal itu seketika tergugu sambil menatap Angga yang masih memasang tatapan selidik. “Tidak perlu kamu jelaskan kalau–“ “Saya anak haram.” Angga tertegun. Andari menyunggingkan senyum tipis. “Ibu saya berselingkuh dengan kliennya setelah menikah dengan pria yang saya panggil Ayah selama ini. Dan sekarang ini saya mau cari ayah kandung saya.” Jeda mendominasi keheningan di antara mereka. Tatapan Angga tak bisa diterjemahkan. Sementara Andari hanya bisa menunduk sendu sambil mengaduk mangkuk mienya. “Makanlah. Nanti mienya keburu membengkak.” Suasana canggung itu seketika berubah cair. Andari yang ingin terbahak karena mendengar ucapan pria di hadapannya itu hanya bisa mengulum bibir. “Maaf.” Pria itu menggaruk keningnya. Merasa garing dengan candaannya sendiri. “Makasih sudah dibuatkan mie. Saya makan dulu,” imbuh gadis itu. Angga mengangguk tapi tak bisa mengalihkan tatapannya dari Andari saat gadis itu mengangkat kedua tangan di depan wajah lalu menutup mata dan berdoa. Sekelebat bayangan itu muncul kembali dalam benaknya. Andari mirip dengan seseorang yang dikenangnya itu. Angga langsung mengeleng-gelengkan kepalanya seraya mengusir pikiran absurd itu. “Kenapa, Mas?” “Tidak apa. Habiskan.” Pria itu bangun lalu membuatkan teh untuk mereka berdua. Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya karena Andari fokus menghabiskan mie kornet sayur pakcoy yang dibuatkan Angga. “Aku boleh tanya sesuatu?” Angga mengangguk kecil sambil menatap gadis itu. Mengisyaratkan Andari boleh melanjutkan ucapannya. “Mas Angga umurnya berapa?” “Bulan depan tiga puluh enam.” Andari menghitung dalam hati. Kalau saat ini usia Galuh delapan belas tahun, artinya saat Galuh lahir Angga juga berusia delapan belas tahun. Lalu jika dikurangi lagi usia kehamilan, maka itu artinya Angga menikah di usia tujuh belas tahun. Andari makin penasaran. Namun, sampai di situ ia tak berani bertanya lagi sebab rasanya terlalu lancang. “Kamu masih perlu sesuatu?” Andari menggeleng cepat. “Makasih mienya.” Angga lantas mencucikan peratan makan yang mereka gunakan saat Andari masuk ke kamarnya lebih dulu. Dalam benak Andari masih banyak pertanyaan yang berlarian tentang Angga dan Galuh. Terutama karena selama di rumah ini, tak ada satupun yang membahas tentang ibu sekaligus istri dari anak dan ayah itu. “Nggak boleh gitu Andari. Nggak sopan. Kamu kan tamu. Jangan suka kepo deh,” lirihnya lalu memejamkan mata. Dan keesokan paginya, Andari yang lupa kalau Galuh sedang pergi bekerja sebagai announcer di Stasiun kereta api mencarinya ke dalam kamar. Sumarni juga sedang ke kebun belakang saat gadis itu mencari Galuh di kamarnya. “Ya ampun, aku lupa. Galuh kan kerja,” monolognya lalu hendak keluar kamar saat tatapannya terdistraksi pada sebuah dokumen dengan warna map berlogo di atas meja berlajar. Andari tahu dokumen itu adalah kartu keluarga. Gadis itu juga tahu kalau tindakannya masuk ke dalam kamar Galuh saat si empunya tidak ada adalah kelancangan. Dan kini, kelancangan itu malah ia teruskan dengan membuka map tersebut dan membaca isinya. “Sedang apa kamu di kamar Galuh?” Suara tegas itu membuat dokumen di tangan Andari jatuh ke atas lantai. “M-maaf. Tadi saya cari Galuh.” Andari gugup. “Galuh sedang kerja.” Angga menghampiri gadis itu lalu menunduk dan mengambil dokumen yang jatuh tadi. “I-iya. Saya lupa. Maaf.” Buru-buru Andari keluar dari kamarnya dengan tertatih-tatih sambil meruntuki diri. Angga pasti marah dan berpikir yang tidak-tidak padanya saat ini. Bahkan saat mereka makan siang bersama, pria itu juga terlihat menunjukkan ekspresi dinginnya lagi. Andari ingin minta maaf dan menjelaskan. Tapi gadis itu berpikir ulang. Sepertinya ia hanya harus minta maaf sekali lagi saja tanpa perlu menjelaskan apapun. “Iya.” “ …. “ “Iya. Anak Ayah bawel sekali.” Angga sepertinya sedang bertelepon dengan Galuh. “ …. “ “Iya. Kamu kasih tahu saja kalau sudah mau pulang. Nanti Ayah jemput.” “ …. “ “Waalaikumsalam.” Klik …. Angga tersenyum sambil berbalik dan terkejut mendapati Andari hanya di beberapa langkah darinya. Pria itu menyingkir ke pinggir dan melewati Andari seolah gadis itu tidak ada di sana. “Maaf. Saya nggak bermaksud lancang.” Langkah Angga terhenti. Namun tubuhnya masih memunggungi Andari. “Saya tahu saya salah masuk kamar Galuh tanpa permisi. Tadi itu sungguh saya cuma mau cari Galuh. Tapi terus saya–“ “Galuh minta saya mengajak kamu ke alun-alun kidul nanti sore.” Pria itu berbalik dan menatap Andari di matanya dengan sorot yang terlihat lebih hangat. “Apa kaki kamu sudah lebih baik?” Andari mengangguk cepat. “Kalau kamu mau tidur siang dulu, tidur saja. Nanti saya minta Ibu bangunkan sebelum Ashar,” pungkasnya lalu pergi setelah Andari mengangguk setuju. Andari belum merasa lega. Apalagi melihat sikap Angga yang seolah tak peduli dengan ucapannya tadi. Gadis itu kembali ke kamar dan tidur siang setelah menelepon temannya. Sudah tiga hari berlalu. Namun Andari tidak tahu harus berbuat apa. Seharunya ia ada di Semarang untuk mencari keberadaan Hartanto seperti yang dikatakan orang yang sempat bertemu dengan anak dari Hartanto dulu itu. Tapi kakinya yang masih cidera menjadi penghalang kondisi gadis itu beberapa hari ini. Andari pun memilih tidur siang setelah menyetel alarm di ponselnya. Gadis itu pamit pada Sumarni bersama Angga sorenya. Mereka sudah minta ijin akan pulang malam karena Galuh menagih janji pada Angga untuk mengajak Andari jalan-jalan di alun-alun kidul. Selama perjalanan menuju alun-alun kidul itu, senyap dan kekakuan kembali mendominasi suasana di antara mereka. “Saya.” “Saya.” Keduanya sama-sama menoleh. “Kamu dulu.” “Saya minta maaf soal tadi.” “Kenapa dibahas lagi?” “Karena Mas kayaknya belum maafin saya.” “Harus ya sejelas itu saya bilang kalau saya sudah memaafkan kamu?” Andari menganggukkan kepalanya cepat. “Baiklah. Saya sudah memaafkan kamu. Lega?” “Bener?” Angga dibuat mendesah berat. Menghadapi wanita memang membingungkan, batin pria itu. “Kamu sudah jelaskan tadi. Jadi apalagi?” Pria itu menoleh sekilas usai mengganti gigi mobil. “Jadi, apa kita bisa bicara yang lain?” “Iya. Boleh.” “Kamu sudah tahu keberadaan Ayah kandung kamu?” Andari menggeleng. “Petunjuknya nggak jelas. Tapi menurut orang terakhir yang aku hubungi beliau ada di Semarang.” Angga hanya menoleh sekilas. Lagi-lagi tanpa ekspresi. Namun telinganya jelas mendengar dengan baik setiap kata yang diucapkan gadis itu. “Saya bingung, apa harus ke sana atau nggak?” “Kamu yakin ayah kandung kamu ada di sana?” Andari menggeleng sendu. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Andari ingin sekali menemukan Ayah kandungnya. Hanya untuk membuktikan dan memberitahu keberadaannya. Tapi kalau jejaknya selalu buntu seperti sekarang ini, Andari jadi bingung. Akan banyak yang harus ia korbankan nantinya. Termasuk beasiswanya ke Inggris. “Mau saya bantu?” Mobil berhenti di dekat stasiun. “Mas serius?” Angga mengangguk. “Tapi apa Mas nggak sibuk?” “Ibu mau ketemu sama adiknya di Semarang. Tapi minggu depan. Kamu tidak masalah pulang lebih lama nantinya?” Andari tentu saja langsung menggeleng cepat. Ia masih punya waktu hingga dua minggu kedepan untuk mencari ayahnya. Dengan bantuan Angga, pencariannya tentu akan lebih mudah. Dan hal itu sungguh tak ingin Andari lewatkan. Gadis itu reflek meraih jemari Angga dan menggenggamnya erat sambil berulang kali mengucapakan terima kasih. Sadar dan reflek, Angga ikut tersenyum sambil mengusak kepala gadis itu dengan senang. Seketika waktu di antara mereka seperti berhenti berputar. Keduanya saling tatap dengan keterkejutan yang tak berbeda hingga suara ketukan di jendela membuyarkan momen mereka. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN