Itu adalah peristiwa yang terjadi tiga hari silam. Minggu-minggu sebelumnya, ada saja hal yang ganjil yang dialami oleh Adi. Tanpa sebab yang dapat diperkirakan oleh Adi, perangai Zizi berubah. Gadis itu menjadi mudah ngambeg dan sengaja mencari gara-gara dengannya. Jangankan disebabkan kesalahan nyata seperti Adi lupa menjemputnya, sekadar terlambat datang ke tempat janjian mereka saja, Zizi bisa langsung mengumbar rasa curiga, memberondong sang kekasih dengan banyak tuduhan dan prasangaka buruk. Pendeknya, apapun yang dibicarakan atau dilakukan Adi, selalu salah di mata Zizi.
Apa yang terjadi di kafe hanyalah sebuah contoh kecil saja. Saat itu Zizi bilang, dia sudah terlampau lama menunggu kedatangan Adi dan dilanda rasa jenuh. Tidak heran, begitu Adi datang dan mendekat, tanpa ba bi bu lagi, gadis itu menyiramkan minuman di gelasnya ke kemeja Adi. Seolah belum cukup meluapkan kemarahannya, Zizi menendang kursi di dekatnya sampai beradu dengan lutut Adi.
Adi sungguh terkejut luar biasa. Sulit dipercayainya apa yang dilakukan Zizi padanya. Betapa dia hendak menyangkal, semarah apapun, seorang Zizi yang manja, girly dan terkadang kekanakkan biarpun amat perhatian padanya, takkan mampu melakukan hal sekasar itu.
Adi tak habis pikir, bagaimana mungkin Zizi mendadak berubah sikap, siapa pula yang menularinya? Anehnya, semakin Adi membujuk gadisnya, hati Zizi bukannya lumer seperti biasanya, malah tambah kalap.
Ada satu lagi kejadian janggal yang susah dilupakan Adi, yakni saat dia berniat memberi kejutan, sengaja menjemput Zizi ke kantor walau belum janjian dengan Zizi. Sialnya, saat melihat Adi di lobi, Zizi bukannya girang malahan marah besar.
Setibanya di dapur, Adi mengingat-ingat rincian kejadian tersebut.
- Kilas Balik -
“Di, tumben kemari? Kok nggak bilang ke aku? Atau… jangan-jangan kamu mau jemput Cewek lain di gedung ini, ya? Iya,kan?” semprot Zizi saat itu.
Adi tidak menyahut.
Cowok itu memamerkan senyum paten-nya dan menggamit lengan Zizi dengan mesra.
Di luar dugaan, Zizi mengibaskan tangannya dengan kasar, kemudian menatapnya tajam.
Adi sempat bergidik melihat tatapan Zizi yang dirasanya jauh dari wajar.
“Zi, kenapa sih?” bisik Adi sepelan mungkin, mengabaikan tatap mata beberapa orang lain yang lalu lalang di sekitar mereka.
“Jangan bilang, kamu kemari buat jemput Ryn!” sentak Zizi. Penuh kecemburuan dan kemarahan.
Adi mengernyitkan kening, nyaris tertawa mendengarnya. Lalu tanyanya pelan, “Ryn? Urusannya apa?”
Zizi melengos.
“Yang bisa jawab ya kamu sama Ryn. Nggak usah pura-pura begitu. Aku tahu, pasti ada yang kalian sembunyikan dariku,” sentak Zizi.
Adi menggelengkan kepalanya.
“Zi... ayo dong, jangan childish. Nggak enak, dilihatin orang-orang,” bisik Adi persuasif di telinga Zizi.
Bukannya mereda, kemarahan Zizi justru kian tersulut.
“Ngomong yang jujur! Kenapa Ryn nggak mau pulang sama-sama kita sepulang dari nengok Bima, waktu itu? Kenapa dia menghindariku terus, nolak diajak ketemuan? Malah, orang kantornya bilang dia lagi ke luar kota. Pasti kalian berdua sering ketemuan di belakangku, kan?” tuduh Zizi berapi-api.
Kini Adi tersenyum geli.
Dia sudah siap melancarkan bujukan demi meredakan situasi tak terduga itu melalui sahutan pelan, “Sayang, kamu itu sebenarnya lagi kecewa sama sahabatmu itu, karena merasa kurang diperhatiin? Kenapa jadi marahnya ke aku, yang nggak tahu apa-apa? Ya kalaupun kamu merasa Ryn mengabaikan kamu, kan, ada aku. Masa sih, aku kurang perhatiin kamu?”
Alih-alih tersentuh oleh perkataan Adi, Zizi malah mendorong Adi dengan keras hingga terjatuh, terguling di tangga lobi. Tenaganya demikian besar sehingga Adi tak dapat menahan. Nyaris Adi terlanggar sebuah sepeda motor yang melintas dekat tangga lobi, jika saja pengemudinya tak mahir menghindar seraya menyumpah-nyumpah dengan ganas.
“He! Mau mati ya? Cari tempat lain! Jangan di area kantor!” maki pengemudi sepeda motor yang tampak terburu-buru meninggalkannya.
Seorang karyawati yang melihat langsung menjerit, sementara dua orang petugas keamanan yang berada di pos jaga, bergegas berlari ke arah Adi.
Melihat ‘kehebohan’ yang terjadi di sekitarnya, Zizi tersentak seketika. Seperti seseorang yang baru terbangun dari sebuah tidur panjang saja.
Terburu-buru, gadis itu menuruni anak tangga lobi, menghambur menolong Adi.
“Di, Sayang, kenapa? Ayo kubantu. Ada yang luka nggak?” tanya Zizi dengan panik, membuat dua petugas keamanan menatap dengan bingung ke arahnya. Pasalnya, walau tidak melihat secara jelas, mereka mendengar ada pertengkaran antara laki-laki dan perempuan, tidak jauh dari mereka.
“Pak, tolong dibantu ke mobil Pak,” pinta Zizi dengan cemas.
Kedua petugas ke manan yang ada di depannya segera merespons permintaan Zizi.
“Iya, tolong Pak, itu, yang warna biru metalik,” tambah Adi sembari mengusap-usap lutut dan lengannya bergantian.
Adi meringis, menahan rasa nyeri yang bersarang di sana. Walau belum melihat, Adi memastikan ada memar di bagian itu dan tentu saja dia khawatir. Sejenak, Adi mengerling pada Zizi yang berkeras turut memapahnya.
Dilihatnya, wajah Zizi didominasi kecemasan. Sorot mata gadis itu teramat tulus, tak ubahnya yang dimiliki Zizi selama ini. Namun, sama sekali bukan ekspresi penyesalan. Pusing kepala Adi dibuatnya.
‘Aneh. Dia amnesia atau gimana sih? Dia yang nyaris bikin gue celaka, terus tanya gue kenapa?’ pikir Adi, memerangi rasa jengkel yang menggodanya.
“Ya ampun, bibir kamu berdarah, Sayang. Kamu duduk sini dulu. Pasti perih, kan? Biar aku ambil kotak obat dulu, aku bersihkan,” kata Zizi setelah membantu Adi duduk di jok samping pengemudi. Dengan satu gerakan gesit, gadis itu lekas berlalu, mencari keberadaan kotak obat di mobil Adi, yang telah teramat familiar dengannya.
Adi tertegun beberapa menit lamanya. Kemudian dia menoleh pada petugas keamanan yang menolongnya tadi.
Adi memergoki tatapan penuh selidik di mata kedua petugas keamanan itu.
“Terima kasih, Pak. Semua baik-baik saja. Biasa, pertengkaran orang yang lagi pacaran. Dia benar-benar nggak sengaja, tadi itu,” ucap Adi setenang mungkin, agar petugas keamanan yang berada di dekatnya segera meninggalkan mereka. Pantang baginya menyeret-nyeret ‘orang luar’ dalam perselisihannya dengan Zizi, area pribadi yang tak ingin diumbarnya. Padahal dalam hatinya, masih terlintas ngeri membayangkan kejadian tadi.
‘Itu tipis sekali. Nyaris badan gue beradu sama sepeda motor tadi,’ pikir Adi kemudian. “Aman, ya, Mas? Yakin bisa saya tinggal?” tanya salah satu dari petugas itu. Matanya mengawasi dengan saksama, seperti hendak memastikan.
Adi mengangguki petugas keamanan itu.
“Aman. Maaf, sudah merepotkan,” ucap Adi pula, seraya mengacungkan jempolnya.
Petugas keamanan itu mengangguk dan meninggalkan mereka. Tapi Adi dapat melihat, setibanya di pos jaganya, sang petugas tampak tetap mengamati perkembangan yang terjadi di mobil. Tatapan salah satu petugas keamanan itu sempat bersirobok dengan pandangan matanya. Kemudian, mereka berdua saling mengangguk secara bersamaan.
Sementara itu, Zizi yang telah menemukan kotak obat, segera membersihkan luka di sudut bibir dan dagu Adi dengan telaten dan hati-hati.
“Di, kok bisa begini sih? Gimana sih? Kamu kurang hati-hati ya? Aku antar kamu ke rumah sakit dulu ya, biar diperiksa secara lebih menyeluruh. Aku takut, jangan-jangan, ada luka yang serius. Kelihatannya jatuhnya lumayan tadi. Aku sampai kaget,” ucap Zizi sedih, walau terkesan mengomeli ‘kecerobohan’ yang dilakukan oleh Adi.
Tangan halus Zizi amat cekatan membubuhkan anti septic ke sudut bibir dan dagu Adi, meniupinya dengan lembut dan konstan demi mengurangi rasa perih yang ditimbulkan obat anti septic tersebut.
^* Lucy Liestiyo *^