Adi sampai terpancing untuk memejamkan mata, meresapi peristiwa yang baru menimpanya, membandingkan sikap Zizi yang berubah teramat cepat. Perasaannya gelisah seketika. Tidak karuan.
Dalam diamnya, Adi bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi dalam hubungannya dengan Zizi belakangan ini.
Seakan melakukan introspeksi, adi menghitung-hitung sendiri dalam diamnya, Dia hendak memastikan, sejak kapankah, keanehan itu berlangsung. Adakah sejak menengok Bima, sahabatnya, ataukah seusai menyekar ke makam Reifan serta Robby, sekian hari setelah itu. Pikiran Adi melayang-layang pada momen tersebut, mengingat-ingat kembali, apakah ada sesuatu yang terjadi, ketika mereka berada di kompleks pemakaman tersebut.
‘Kita nggak ngucapin kata-kata yang nggak pantas, apalagi berpikir atau berbuat yang nggak pantas kan, di sana? Atau jangan-jangan… nginjak sesuatu secara nggak sengaja? Enggaklah, orang kita tuh, kesana sewaktu masih terang benderang begitu, masih siang, sengaja sebelum tengah hari biar nggak kepanasan. Semua-mua juga kelihatan. Banyak kok, orang di sekitar kita yang juga kebetulan nyekar ke makam kerabat mereka. Hei gila! Apa-apaan sih ini! ‘ tanya Adi dalam diam.
“Nah, sudah beres. Kita jalan sekarang ya Di. Aku yang nyetir. Nih, kamu betulin seat belt-nya,” ucapan Zizi kemudian mengusik Adi.
Hampir Adi terlonjak mendengar perkataan Zizi, bersama rasa takut yang mencekamnya. Dia tak ingin mengambil resiko lagi. Dia tak siap apabila kemungkinan terburuk, yakni Zizi menabrakkan mobil, sungguh-sungguh terjadi.
“Zi, sebentar, deh. Kamu tolong pesanin taksi on line saja. Mobil biar ditinggal di parkiran sini. Besok pagi biar diambil sama orang kantor,” cegah Adi.
“Lho, kenapa?” tanya Zizi bingung. Ada protes yang tersirat di mata Zizi.
Sudah barang tentu, Adi sendiri tidak kalah bingung. Dia tak habis pikir, bisa-bisanya Zizi lupa, telah mendorongnya beberapa menit sebelumnya.
Namun, sisa kemarahan Adi berangsur terusir ketika menatap wajah Zizi dari samping. Detik ini lah dia tersadar, bukan Zizi yang kini di sampingnyalah, yang tadi mendorongnya. Zizi yang di sampingnya sekarang, jelas Zizi yang dikenalnya selama ini. Ya, Zizi-nya tercinta. Zizi yang manis, Zizi yang lembut hati.
Mendadak, sebuah pemikiran hinggap di kepala Adi, pasti ada sesuatu yang sering mengganggu Zizi, dan mungkin saja Zizi tak menyadarinya. Pemikiran demikian itu, membuatnya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang diperbuat Zizi padanya beberapa saat lalu.
“Aku nggak mau kamu capek, Sayang. Ya?” pinta Adi.
“Enggaklah Di, Cuma nyetir, kok,” bantah Zizi.
“Enggak, enggak usah nyetir, Zi. Lagi pula, aku kan, perlu nyender ke pundak kamu, selama dalam perjalanan ke rumah sakit nanti. Kamu nggak mau keadaanku makin parah, kan, Sayang?” bujuk Adi sok lebay akhirnya, seiring pandangan mesranya pada Zizi.
Zizi menoleh dan tersenyum tipis. Hatinya tergelitik. Dibalasnya tatap mesra sang kekasih.
Lalu kata gadis itu, “Nggak pernah nyangka, mantan asdos-ku, mahasiswa semester tujuh yang kalem dan hobby banget cuekin para mahasiswi semester satu-nya yang berebut mendapatkan perhatian dia itu, ternyata pintar banget ngerayu. Entah belajar sama siapa. Dasar.”
“Selain dari Ferdi, juga dari buku Zi. Memangnya kamu lupa julukanku dulu adalah si kutu buku?” ingin benar Adi menjawab seperti ini, tetapi dia merasa waktunya tidak tepat. Otaknya sudah lelah saat ini, enggan bergurau.
Adi tersenyum dengan matanya, ketika melihat Zizi menuruti permintaannya, membuka aplikasi taxy on line di perangkat telepon genggamnya.
'Syukurlah,’ batin Adi sembari menarik napas lega sepelan mungkin, demi menghindari kemungkinan timbulnya salah paham yang sama sekali tidak penting.
- Akhir Dari Kilas Balik -
**
Cling! Nyaring bunyi sendok yang beradu dengan lantai keramik seiring cipratan air kopi yang panas ke tangan Adi, memutus lamunan panjangnya.
Adi terkaget.
“Huft! Ada-ada saja! Pakai acara jatuh segala!” keluh Adi sambil meniupi tangannya dan memungut sendok yang jatuh di lantai keramik, lantas menaruhnya di tempat cuci piring.
Setelah mengambil sendok bersih, Adi bergegas membawa secangkir kopi instan yang telah diaduk sempurna itu menuju ke ruang makan.
Di atas meja makan, laptop yang biasa digunakan untuk mendukung pekerjaannya, seolah menantinya. Diletakkannya cangkir kopinya tidak jauh dari sana.
Dari segenap ruangan di rumah kontrakannya ini, ruang makan memang merupakan ruang favorit adi untuk bekerja, disebabkan dua hal. Pertama, oleh karena ukuran mejanya jauh lebih besar dibandingkan dengan meja kerja yang berada di kamarnya. Kedua, terdorong kebiasaannya sejak lama, yaitu ngemil makanan kecil sambil bekerja di belakang laptopnya. Makanya, jelas saja ruang makan adalah pilihan sempurna. Adi paling benci kalau remah-remah makanan kecil berantakan di dalam kamarnya, sekalipun dirinya sendiri yang menyebabkannya.
Biarpun masih didera oleh rasa kantuk yang membuat kepalanya terasa pening, Adi membuka laptopnya dan menekan tombol power.
Sembari menunggu laptop menyala dan siap dioperasikan, Adi menyesap kopi di cangkirnya perlahan. Masih teramat panas, sehingga diletakkannya kembali ke atas meja.
Adi ingat, belakangan ini performa kerjanya tengah disorot oleh pihak management. Karenanya, jika benar dugaannya, bahwa lawan yang dihadapinya kini adalah sesuatu yang tak kelihatan, pilihannya tentu saja selekasnya membereskan pekerjaannya.
Baru setelah urusan pekerjaan tertangani, Adi pikir dia dapat mengajukan cuti, dan mencari solusi dari masalah yang dihadapinya.
Adi mendengus.
“Jangan sampai gue kehilangan pekerjaan ini,” gumam Adi dengan mata terpejam.
Memikirkan kemungkinan dirinya terancam kehilangan pekerjaan, sungguh membuat Adi takut bukan kepalang. Bukan, bukan sekadar takut gengsinya terkoyak lantaran karirnya terbilang cukup kinclong dan lekas menanjak di perusahaan yang sekarang. Bukan pula lantaran rasa gentar untuk berjibaku mencari kembali pekerjaan serupa di perusahaan lain dengan resiko harus down grade posisi. Sama sekali bukan itu.
Adi justru tidak sanggup ketika membayangkan apa yang akan terjadi kepada Ibu dan adik kesayangannya di saat dirinya tidak lagi berpenghasilan rutin. Benar sebagai sosok yang cukup disiplin mengelola keuangan pribadi maupun keuangan perusahaan di mana dirinya bekerja, dapat dikatakan bahwa Adi masih mempunyai cukup banyak tabungan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Ya, bahkan seandainya dia terpaksa harus menganggur hingga beberapa tahun sementara menemukan pekerjaan yang cocok. Tetapi dia bukanlah pribadi yang suka bertaruh dengan hal-hal yang sulit diukur akan berlangsung berapa lama. Pantang pula baginya untuk kehilangan pekerjaan secara tidak hormat.
Ini membuatnya sungguh tertekan. Oleh sebab itu, Adi bertekad, dia harus melawan dan mengalahkan semua gangguan yang menyerangnya ini, sebelum segalanya menjadi terlambat.
Baru satu detik laptop-nya usai loading, keadaan menggelap seketika. Lampu di ruang makan mati, demikian pula di ruangan lainnya. Jengkel campur heran, Adi menatap ke ara dinding. Anehnya, lampu darurat di ruang makan tidak otomatis menyala, sebagaiman seharusnya.
Adi menggaruk-garuk kepalanya, bingung dengan apa yang menimpanya ini.
“Uh, ada-ada saja,” geram Adi seraya bangkit dari tempat duduk.
Adipun tersandung-sandung, ketika mencari keberadaan senter yang biasanya diletakkannya dekat lemari buffet.
Begitu dia menemukan senter tersebut, Adi melangkah terus ke depan, membuka pintu dan langsung mengecek saklar.
Ia mendapati bahwa saklar listrik dalam keadaan ‘on’. Maka Adipun melayangkan pandang ke sekitarnya. Dilihatnya, keadaan di sekelilingnya terang benderang. Lampu jalanan menyala, demikian pula lampu rumah tetangga-tetangga di sekitar rumahnya.
Decak kesal Adi tak terhindarkan lagi.
"Apa lagi ini?" gerutu Adi.
*^ Lucy Liestiyo ^*