Adi terjaga dari tidurnya. Kegelisahan yang sangat menggayuti perasaannya.
Diterangkannya nyala lampu baca di atas nakas yang berada tepat di sisi tempat tidurnya.
Dengan mengandalkan mata yang masih mengantuk, Adi melirik jam dinding di salah satu sisi kamarnya. Waktu menunjukkan, belum genap pukul tiga pagi saat ini. Kepalanya berdenyut kencang. Dan anehnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh Adi, meski pendingin ruangan telah di-set nya pada angka 20. Adi memijit kepalanya perlahan sembari mengingat-ingat apa yang mengganggu tidurnya.
Masih mimpi yang sama. Mimpi buruk yang membuat kualitas tidurnya jauh dari kata bagus dan teratur. Dalam mimpi itu, sesosok bayangan hitam mengejar, bermaksud mencelakai dirinya. Bayangan yang enggan menunjukkan dengan jelas wujudnya secara utuh.
“Arrrgh!” Adi mengerang kesal.
“Huh! Apa sih? Apa benar yang dibilang sama Bima? Gila, kalau begini terus, bisa gawat. Bisa berpengaruh ke pekerjaan gue. Bahkan, hubungan sama Zizi mungkin bisa berantakan,” keluh sendirian, sembari mengurut-urut keningnya.
Iya, entah kenapa, semenjak pulang dari nyekar ke makam Robby serta Reifan, Adi merasakan perubahan sikap Zizi. Gadis tersayang itu seakan menjadi pribadi yang berbeda, pribadi yang asing dan sulit dipahami.
‘Boro-boro nyaman, gue malahan merasa was-was, pas ngelihat matanya. Uh, kenapa kadang gue ngerasa itu bukan matanya Zizi? Tapi kenapa, di saat yang sama, Zizi malah sering tersinggung, bilang bahwa gue menghindari dia terus? Dia juga menuduh gue sekarang sedang tertarik sama Cewek lain, dan nggak sayang sama dia lagi?’ keluh Adi, bermonolog tanpa suara.
Adi meraih gelas berisi air mineral di atas nakas dan meneguknya, berharap denyut di kepalanya segera menghilang. Sekejap saja, isi gelas itu telah berpindah melewati kerongkongannya, terus menuju lambungnya.
“Nggak bisa begini terus! Gue harus minta tolong seseorang. Tapi siapa? Ryn? Bukannya Zizi pernah bilang, Ryn punya kemampuan macam itu? Tapi, bisakah dia dipercaya? Dan, gimana caranya menghubungi dia, tanpa setahu Zizi, sedangkan dia nongol sekali doang, sewaktu menemani Zizi sementara gue nengok Bima kapan hari,” gumam Adi dalam kegundahannya.
Adi terdorong berpikir keras. Keinginannya melanjutkan tidur terkalahkan sikap antisipasinya. Dia tak mau mengalami mimpi buruk lagi. Dia ogah mimpi buruk itu bersambung bila matanya terpejam. Alhasil, terpaksa dilawannya kantuk yang masih menggayut di kepalanya. Juga mata yang terasa pedih serta ingin dipejamkan kembali. Apa boleh buat, demi membuat dirinya tetap terjaga, Adi tahu dia benar-benar membutuhkan kafein sekarang.
Berpikir demikian, sebelah tangan Adi terus memijat kepalanya. Setelah merasa usingnya agak mereda, Adi beringsut dari tempat tidurnya.
‘Untung biarpun gue nggak suka kopi, gue tetap punya stock di dapur. Jaga-jaga kalau adik gue datang atau petugas keamanan lewat depan rumah,’ pikir Adi.
Selagi beranjak menuju ke dapur, Adi teringat peristiwa tiga hari lalu...
- Kilas Balik -
“Tante, bagaimana kabar Bima? Maaf, saya belum bisa menengok Bima lagi untuk sementara waktu. Sedang ada situasi mendesak di kantor,” ketik Adi ponselnya. Kemudian dia mengirimkan pesan teks tersebut, setelah terpaksa menolak panggilan telepon dari Tante Sheila. Dia benar-benar tak sanggup kalau harus berbicara langsung dan menyatakan penolakannya melalui telepon.
“Bro, kita berdua dipanggil pak Yuda. Itu telepon di meja, kok nggak diangkat-angkat dari tadi? Mati? Kabelnya digigit tikus?” tahu-tahu Ferdi sudah berada sejauh setengah meter dari meja kerja Adi.
Tentu saja Adi terkejut, sekaligus terusik.
“Fer, boleh, kan, kalau mau masuk ruangan orang tuh, ketuk pintu dulu?” ketus Adi.
Dia merasa terganggu bukan main, mendapati Ferdi telah berdiri tegak di hadapannya.
Menilai reaksi Adi berlebihan, Ferdi tergelitik dan mengernyitkan dahinya. Mimik mukanya terlihat menyiratkan kalimat tanya, “Heyy! Is is really you, Adi Surachman? Or someone else, actually?”
“Ada apa?” tanya Adi seakan lupa maksuda dan tujuan Ferdi ke ruangannya.
Ferdi mengangkat alisnya.
“Wah, nih orang sudah mulai ketularan Wenda, anak buahnya! Gue tuh, sudah ngetuk dari tadi, telepon berkali-kali juga nggak dijawab. Buruan ah, pak Yuda nunggu kita di ruang rapat kecil,” sahut Ferdi kalem.
Mendengarnya, Adi mengeluh dalam hati. Dia sudah dapat menerka, mereka berdua pasti bakal kena tegur. Kali ini mungkin tak sekadar teguran lisan lagi, melainkan berpeluang mengarah pada sebuah surat peringatan tertulis.
“Pasti urusan pelanggan-pelanggan barunya Flora yang kebetulan dekat sama pak Yuda nih! Mereka sendiri, atau lewat Flora, pasti ngadu, minta perlakuan khusus. Sementara, awal bulan ini saja ada dua pelanggan lama-nya Flora yang masuk kategori kredit macet. Yang satu malah seenak udelnya bikin surat pernyataan bangkrut, pula, dan minta pemutihan. Segampang itu? Memangnya perusahaan moyangnya, apa?” Adi mendengus dan menyambar laptopnya, menjajari ayunan kaki Ferdi.
Ferdi menatapnya sekilas, lalu menelan ludah yang terasa pahit.
“Sudahlah, Di. Kita jelasin lagi deh, situasinya, Di. Mau ngomong apa, kan, cuma ada dua pasal tentang bos. Pasal pertama, bos selalu benar, pasal kedua, kalau bos salah, kembali ke pasal pertama. By the way, gue perhatiin, lo emang rada gampang cranky gitu, lho, belakangan ini,” ujar Ferdi serius sambil mencermati wajah Adi.
“Apa sih!” sahut Adi enggan. Laki-laki mana yang suka ditatap sesama jenis dengan tatapan macam itu, coba? Ya kecuali kalau.... titik-titik.
Ferdi masih bersabar.
“Di, elo tuh kenapa sih?" tanya Ferdi.
"Nggak kenapa-napa," sahut Adi jemu.
Ferdi menggeleng.
"Nggak mungkin nggak kenapa-napa, Di," kata Ferdi.
Adi mengangkat bahu dan berkata, "Terserah."
Ferdi memperlihatkan tatapan prihatin kepada rekan kerjanya itu.
"Serius, Di. Pembawaan elo itu ngaruh lho, ke suasana kerja. Elo kurang tidur, atau kurang piknik, kali? Saran gue, coba deh, akhir pekan ini, lo cari waktu untuk refreshing. Kalau perlu, elo matiin ponsel deh, biar nggak terganggu apapun. Soalnya, kalau kurang kasih sayang, rasanya kok, enggak mungkin. Pacar lo kelihatannya setia dan bucin garis keras begitu, ke elo,” lanjut Ferdi. Ditepuknya bahu Adi, menunjukkan kepeduliannya yang besar.
Adi mengernyitkan keningnya, memalingkan wajah pada Ferdi yang berjalan di sebelahnya.
“Masa sih?” Adi terpancing jua untuk balik bertanya. Kali ini, nada suaranya cukup bersahabat.
Ferdi berdecak.
“Iya lah! Satu kantor juga ngeh. Adi yang dikenal tenang dan cool itu, sekarang suka sembarangan kalau ngomelin anak buah. Kadang suka di depan umum, bukannya dipanggil ke ruangan lo atau minimal digiring ke ruang rapat kecil. Lo juga tegaan gitu deh, kata mereka. Nggak mikir dulu kalau marahin orang. Mendadak ketus, kata mereka. Dih, masa lo nggak berasa sih? Suara lo itu, sering kedengaran sampai luar, tahu! Kenapa sih bisa lepas kendali begitu? Urusan Cewek? Nggak disetujui sama orang tua pacar elo? Sampai begitu ngaruhnya?” tanya Ferdi lagi.
“Ngawur! Enggak banget, deh!” potong Adi enggan.
“Terus, masalah apa? Sampai bisa bikin seorang Adi bisa hilang konsentrasi, terus nabrak separator jalan dua minggu lalu? Heh, gue jadi curig deh. Jangan-jangan, ada yang error di kepala lo gara-gara benturan sama setir, jadinya makin sering marah-marah. Coba deh, di-scan ulang ini kepala. Gue serius,” kata Ferdi sambil menunjuk ke arah kepala Adi. Tersirat perhatian besar seorang kolega kerja dalam kalimatnya.
Adi mengedikkan bahu dengan enggan.
“Apa sih! Makin ngawur tuh omongan. Sudah, cepatan yuk! Biar cepat ngebahasnya, cepat juga buat mencari solusinya,” elak Adi, setengah mendorong tubuh Ferdi mendekat ke pintu ruang meeting kecil.
- Akhir Dari Kilas Balik -
*^ Lucy Liestiyo ^*