Apa yang terjadi di dalam ruangan perawatan Bima sungguh menegangkan.
Sekitar tujuh menit yang lalu, seorang petugas medis terpaksa memberikan suntikan penenang pada sahabat lama Adi tersebut. Pasalnya, usai menyerang Adi, Bima yang segera diamankan oleh dua orang perawat, terus saja meronta sehingga berpotensi membahayakan dirinya sendiri juga. Seperti orang kalap, Bima memukul dan menendang dinding, kemudian membentur-benturkan pula kepalanya, membuat Adi dan petugas medik yang menyeruak masuk terpaksa bahu-membahu meringkusnya.
Hati Adi miris melihat keadaan Bima. Lecet pada tangan dan kaki Bima telah diobati, begitu pula luka memar di pelipisnya.
Ingin rasanya Adi mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak tega dia melihat Bima sahabatnya, hanya sanggup terkulai lemah, dan dibaringkan di pembaringan. Perih hati Adi memandang fisik Bima yang tampak menderita. Badannya yang jauh lebih kurus ketimbang terakhir kali mereka bertemu, bulatan hitam di bawah kelopak matanya yang cekung.
Adi menatap langit-langit kamar perawatan Bima, berharap apa yang dilihatnya salah. Ia berharap apa yang dilihatnya tidak nyata.
“Bima..., kenapa jadi begini Bim?” gumam Adi sedih. Ada perih yang mengamuk di dadanya.
Adi tercenung kala merefleksikan kembali percakapannya dengan Bima. Terbayang oleh Adi, sorot mata Bima yang diliputi ketakutan sekaligus kemarahan selama bicara padanya tadi.
Tadi itu, begitu melihat kedatangan Adi, Bima rupanya langsung mengenalinya. Bima pun mengatakan ingin ditinggal agar dapat bicara berdua dengan Adi. Para perawat keberatan. Mereka tidak mengijinkannya.
Setelah Adi memberi jaminan, dengan berat hati dua orang perawat yang semula berada di dalam kamar perawatan menutup pintu. Tetapi mereka tidak benar-benar pergi. Dua perawat laki-laki itu tetap bersiaga di balik pintu itu, memantau terus melalui jendela kaca.
Awalnya, pembicaraan didahului dengan pernyataan betapa Bima mengharap dapat bertemu Adi lebih awal. Adi selalu membelokkan pembicaraan agar tak menyentuh peristiwa kelabu saat liburan dulu. Kejadian yang berbuntut putusnya hubungan persahabatan mereka. Kemudian, Adi bertanya apa penyebab Bima depresi. Saat itu, Adi yakin Bima berkomunikasi dengan baik layaknya orang waras. Sama seperti yang senantiasa dikatakan Bima pada para perawat. Ya, Bima kerap berkeras mengatakan dirinya waras, tetapi ada sosok yang mengganggunya terus-menerus.
Adi memejamkan matanya, menyimpan keluh di dalam hatinya. Sulit benar dipercayainya urutan peristiwa yang terjadi barusan. Demikian singkat, dan penuh dinamika.
Entah mengapa dan semenjak menit ke berapa, mendadak pembicaraan memanas dan Bima menyerang Adi, mendorong sahabat lamanya itu hingga membentur tembok. Demikian kerasnya.
'Tadi itu, benarkah Bima yang melakukannya? Masa iya? Susah buat dinalar. Bagaimana mungkin sosok yang lebih kecil dari aku, bahkan sekarang berat badannya jauh menyusut dibandingkan dahulu. sosok yang lemah, tengah sakit, mempunyai tenaga sebesar itu untuk mendorong aku? 'Pikir Adi.
“Gue pulang dulu ya Bim. Semoga masalah elo cepat teratasi. Ini... ini membingungkan banget buat gue. Gue perlu waktu buat mencerna semua ini,” kata Adi seraya menyentuh lengan Bima sekilas. Hatinya mencelos. Lengan itu sudah seperti tulang dibungkus kulit saja saking kurusnya Bima. Adi menggelengkan kepala.
“Tangan ini, tangan kurus inikah yang sudah mendorong gue tadi? Bagaimana bisa?” tanya Adi pada dirinya sendiri. Begitu lirih, mirip sebuah bisikan, sampai perawat yang mengamatinya juga tak dapat mendengar secara jelas.
Adi teringat, hanya dua detik setelah dirinya dibenturkan ke tembok, ia mendapati sorot mata Bima berubah nyalang. Adi bergidik ngeri, menyadari itu bukanlah sekadar tatapan kemarahan, namun lebih mirip dendam kesumat. Membayangkannya kembali seraya melangkah keluar ruangan perawatan dibarengi seorang perawat yang menanyainya dengan serius apakah dia terluka, perasaan Adi justru kian kacau.
Adi sedikit meringis, melawan sisa rasa sakit akibat serangan Bima padanya, yang demikian tiba-tiba dan tak sempat dihindarinya. Ia mencoba untuk mengabaikan rasa sakit itu.
“Kemungkinan hanya memar sedikit, jadi tak perlu dianggap serius, Pak Prasetyo,” jawab Adi, setelah membaca bordiran nama pada seragam yang dikenakan salah satu perawat. Prasetyo namanya. Dan berdasarkan buku yang pernah dibacanya, juga sebagaimana dia elalu mengingatkan ke Zizi, bahwa suara paling indah bagi seseorang adalah ketika mendengar orang lain menyebutkan namanya, dipraktekkannya hal tersebut sekarang, untuk mencari informasi yang diperlukannya.
“Sungguh, Mas? Kalau ada keluhan, sebaiknya kami periksa saja. Kami tidak ingin membahayakan para pengunjug pasien. Keamanan dan kenyamanan pasien dan pengunjung selama di sini adalah tanggung jawab kami,” kata perawat bernama Prasetyo tersebut.
“Tidak, tidak ada masalah. Semenya baik-baik saja kok,” kata Adi pelan. Pikirannya berkecamuk. Apalah artinya rasa sakit yang dirasakan di badannya, dibandingkan rasa mirisnya melihat kondisi sahabat lamanya?
“Pak Prasetyo, maaf, Bima, kawan saya itu masuk kemari karena apa?” tanya Adi kemudian.
Perawat bernama Prasetyo itu tertegun sesaat. Dia senang, Adi menyapanya dengan akrab. Tetapi begitu terpikir keadaan Bima, dia menghela napas panjang, tak segera menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Ditelitinya wajah Adi, diingatnya kembali bagaimana di awal pertemuan tadi Bima tampak bersemangat melihat kedatangan Adi, berusaha menghambur memeluknya, bahkan nyaris menangis bahagia. Beberapa detik, Prasetyo menimbang-nimbang. Hingga akhirnya, sampai lah dia pada satu kesimpulan, dia boleh berbagi kisah pada Adi.
“Mas Bima masuk kemari disebabkan percobaan bunuh diri yang terus-menerus, Mas,” kata Prasetyo.
Adi bagai tersengat lebah mendengarnya. Mulutnya sampai ternganga.
“Hah? Percobaan bunuh diri? Mana mungkin? Bagaimana ceritanya, Pak?” tanya Adi.
Prasetyo diam barang dua detik, seolah sudah menduga Adi akan berkomentar macam itu.
“Dia pernah berusaha terjun dari balkon rumahnya, tetapi karena tersangkut, nyawanya terselamatkan. Pernah juga, dia menelan racun serangga tetapi kepergok oleh keluarganya dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung, masih tertolong. Lain kali, ada acara kumpul-kumpul di rumahnya, dia malah meninggalkan ruang keluarga, berjalan mendekati kolam renang dan menceburkan dirinya kesana. Kakaknya yang menyelamatkannya, mengatakan tatapan Mas Bima kosong. Kakaknya juga bilang, Mas Bima seperti sengaja ingin menenggelamkan dirinya, sampai-sampai tersedak. Ibunya cerita juga, Mas Bima jarang bisa tidur, karena sering mendapat mimpi buruk. Dikejar-kejar hendak dibunuh, katanya. Pernah suatu siang, dia tertidur di sofa saat sedang menonton acara televisi. Ibunya memergoki tangannya sendiri yang tengah mencekik lehernya dan segera membangunkannya. Mas Bima bilang, ada yang hendak membunuhnya. Sosok itu terus mengejarnya. Sebenarnya selama berada di sinipun, dia sering berhalusinasi, Mas,” terang Prasetyo secara rinci.
Adi tak membiarkan dirinya tertegun terlalu lama, mendengar penuturan Prasetyo, yang diam-diam dicocokkannya dengan kata-kata yang dilontarkan Bima padanya.
“Halusinasi, Pak Prasetyo? Seperti apa, maksudnya? Itu.., bukannya pengaruh obat penenang, Pak? Atau… maaf, lingkungan sekitar yang… maaf lagi… turut mempunyai peluang, berdampak pada kejiwaannya, mungkin? Kan sehari-hari, lingkungan tempat Bima berada juga berisi pasien yang...” selidik Adi hati-hati, dan sengaja menggantung kalimatnya. Dia merasa kurang beretika bila harus mengucapkan secara frontal bagaimana keadaan di sebuah rumah sakit gangguan mental.
‘Hei, bukannya malah ada yang mengatakan dengan sinis, bahwa penyakit jiwa itu bisa menular?’ tanya Adi dalam hati.
Merespons pertanyaan Adi, Prasetyo tersenyum arif. Seolah telah terlampau sering mendapatkan pertanyaan, tepatnya ‘tuduhan’ serupa. Tidak tersirat ketersinggungan pada wajahnya.
“Sebagian orang berpendapat, itu efek obat penenang dan suasana di sini. Maklum, ada yang bilang, gila itu bisa menular, diawali dengan meniru perilaku orang yang terganggu kejiwaannya, kemudian terbiasa dan keterusa,” kata Prasetyo seolah dapat membaca pikiran Adi.
“Saya nggak menyalahkan anggapan orang-orang di luar sana. Wajar jika mereka berpikir, setiap hari berada di tengah-tengah orang yang mengalami gangguan kejiwaan, bakal membentuk seseorang berperilaku serupa. Hm..., kalau anggapan tersebut benar adanya, lalu bagaimana dengan kami, yang hari ke hari berdekatan dan berinteraksi dengan para pasien di sini?” sambung Prasetyo yang tampak sengaja menekan kalimat terakhirnya dan berusaha tersenyum sumir.
“Oh, maaf, Pak Prasetyo, saya nggak bermaksud menghakimi sejauh itu,” ucap Adi sungguh-sungguh.
Prasetyo tersenyum lagi lantas berkata, “Ah, tak mengapa. Saya tahu, Mas Adi nggak bermaksud demikian.”
Adi balas tersenyum.
Prasetyo melanjutkan keterangannya.
“Dan lagi, sebetulnya sejak datang ke sini sampai sekarang, Mas Bima ditempatkan di ruangan khusus, kok, sesuai dengan permintaan pihak keluarganya. Mereka percaya, dia bisa segera disembuhkan. Itu sebabnya, mereka sama seperti Mas, takut lingkungan sekitar sini memperparah keadaannya. Kami juga maklum dan dapat memenuhi permintaan mereka,” tutur Prasetyo.
^* Lucy Liestiyo *^