“Tahu nggak, dia bikin gue merana, ditinggal sama Dita dua setengah bulan lalu! Tapi itu nggak cukup buat dia. Sampai sekarang, dia masih terus ngejar-ngejar gue! Dia mau cekik gue sampai mati! Mau dorong gue dari balkon! Dia mau benamin gue ke kolam renang! Tapi gue selalu berhasil lolos dari dia! Atau mungkin, dia sengaja mengulur waktu, sengaja biarin gue lolos dari maut. Dia sengaja nakut-nakutin dulu, main-main sama ajal gue! Barangkali, dia mau gue mati sendiri lantaran ketakutan! Sesudah gue mati, dia pasti ngejar lo juga! Jangan lo pikir bahwa lo bukan sasaran. Makanya tolong gue Di! Tolong gue!” kini yang terdengar adalah ratapan pilu laki-laki tersebut.
Kali ini Zizi dan Ryn tersentak bersamaan. Mereka berduapun sontak saling berpandangan. Sepasang alis Zizi terangkat.
“Dari tadi itu pasti Adi sudah ketemu Bima. Tapi kenapa dialognya serba membingungkan? Apa yang terjadi di dalam sana sebetulnya? Apa kita perlu masuk juga?” tanya Zizi beruntun ketika mendengar suara bujukan Adi yang demikian keras, mengimbangi teriakan-teriakan ketakutan bercampur keputusasaan dari Bima. Begitu dinamis, sekali waktu suara Bima terdengar sedih, memohon, bernada putus asa dan menyesal. Tapi pada kesempatan lainnya, terdapat kegeraman yang terlontar dari mulutnya. Ada kalanya berupa makian dan cercaan kepada Adi.
“Gara-gara lo! Harusnya, lo hindarkan semuanya!” teriak Bima diiringi suara ‘Bruk’ yang keras.
Kontan Zizi mengernyitkan dahinya. Alangkah khawatirnya dia. Dia yakin, suara gedabruk barusan itu tak lain suara tubuh yang beradu dengan benda keras. Dan dia takut, terjadi sesuatu pada Adi-nya tercinta.
“Bima! Tenang Bim! Jangan begini! Ngomong yang rinci dong, bukan sepotong-sepotong! Jangan bikin gue nebak-nebak nggak jelas begini!” terdengar suara menahan rasa sakit sekaligus kemarahan. Ucapan yang sepertinya lepas kendali.
Mendengar dan mencoba membayangkan apa yang kira-kira terjadi di dalam sana, hati Zizi makin kebat-kebit jadinya. Perasaannya kian campur aduk. Penasaran, cemas, marah, takut, berbaur perasaan asing lainnya. Apalagi saat dilihatnya Ryn justru terlihat tidak terpengaruh gerakannya yang sudah bangkit dari duduk, membereskan tablet dan tasnya.
Zizi yang gemas karena Ryn tidak kunjung menanggapinya, langsung memutuskan mau masuk saja duluan, menyusul Adi. Akan tetapi, gerakannya surut kala memergoki Ryn menggelengkan kepala amat kuat, bagaikan sedang menghalau pengganggu yang bandel.
“Ryn? Lo lihat apa, hah? Lo dapat penglihatan apa?” Zizi menggoyang-goyangkan lengan Ryn sekeras mungkin.
Ryn masih bungkam.
Mengamati raut muka Zizi yang tampak dipenuhi tanda tanya dan terkesan menanti sebuah jawaban penting. Wajah Ryn yang sempat tegang, mendadak berubah minim ekspresi ketika bertanya, “Nanya apaan sih, Zi! Sejak kapan, lo percaya yang model begitu ada?”
Ucapan Ryn sama sekali tak bernada tinggi ataupun mengesankan menyudutkan Zizi. Tetapi, Zizi sungguh tak enak hati mendengarnya. Bak sebuah jangkar, kalimat Ryn tersebut mengingatkannya pada sederet percakapan Ryn dengannya dan teman-temannya semasa kuliah dulu.
Zizi jadi teringat, dulu, Ryn kerap berpesan pada seseorang atau lebih dari kawan kuliahnya, agar tidak melakukan sesuatu hal, sayangnya Ryn tidak pernah menyebutkan apa alasannya. Dan ketika kemudian ada seseorang atau bahkan beberapa orang celaka lantaran tak mengindahkan peringatan Ryn sebelumnya, terlihat Ryn didera sesal mendalam. Tak jarang, teman-temannya mendengar Ryn bergumam sendiri, “Gue sudah bilang. Gue sudah berusaha memperingati kalian. Tapi kalian nggak peduli.”
“Ryn...,” ucap Zizi lemah. Namun Ryn masih tidak mempedulikannya. Entah apa yang sedang menjadi perhatian Ryn saat ini.
Maka tanpa dikehendakinya, terbayang kembali oleh Zizi, beberapa peristiwa buruk yang menimpa beberapa rekan kuliah mereka. Sejumlah peristiwa tak terelakkan, sebab meremehkan usaha Ryn untuk mencegah mereka.
Zizi ingat, di kala yang terjadi adalah kecelakaan fatal yang membuat orang terluka bahkan nyaris merenggut nyawa seseorang, mereka lantas menyalahkan Ryn dan mempertanyakan, mengapa Ryn kurang keras melarang mereka dan juga tidak menyebutkan apa yang akan terjadi jika mereka tak mendengarkannya. Sebaliknya, sewaktu yang terjadi hanyalah hal remeh, dengan ringan mereka akan berkata, “Itu cuma kebetulan. Wajar kalau pintu kehempas angin, pasti membentur badan orang yang melaluinya lalu bikin jidat benjol, atau jalanan berlumpur diinjak ya bikin kepeleset. Bukan karena ada apa-apanya di situ.”
Masih segar dalam ingatan Zizi masa-masa itu. Setali tiga uang dengan teman lainnya, dia termasuk orang yang selalu mengaitkan segala peristiwa pada pemikiran logis. Bagi seorang Zizi, segala yang terjadi di dunia ini, selalu terdapat alasan logisnya, ada landasan masuk akal dalam penjelasannya.
‘Iya lah. Sampai sekarang juga pendapat gue nggak berubah. Misalnya saja, ada bendungan jebol, ya mungkin disebabkan tekanan debit air berlebih dan sebagai akibatnya turapnya juga nggak sanggup menahan tekanan air itu. Terus, dalam kasus seseorang terpeleset ke kawah, bisa jadi karena kurang hati-hati dan kurang berkonsentrasi. Lalu kalau ada kejadian, let say mendadak pesawat terbang diketahui hilang secara misterius, barangkali berita hoaks demi menyimpan fakta sesungguhnya. Siapa yang tahu kalau sebenarnya itu pesawat ditembak rudal musuh sampai hancur berkeping-keping? Atau masuk ke laut yang kedalamannya sampai ribuan kilometer dan enggak bisa terdeteksi lagi keberadaannya? Bisa, kan? Begitu pula, kalau ada orang-orang bercerita tentang badan mobil mendadak terhenti pertengahan rel kereta, mungkin saja disebabkan kerusakan mesin atau bensinnya habis. Ya kan?’ Zizi berdialog dengan dirinya sendiri dalam diam, terkenang betapa dirinya dan kawan-kawannya sepaham mengenai hal-hal tersebut. Mereka semua yakin, musibah atau apa pun yang terjadi, tidak ada kaitannya sama sekali dengan pantangan-pantangan, umpatan kasar, perbuatan tak beretika ataupun pelanggaran tradisi lokal.
“Benar, kita harus selalu menjaga ucapan, perbuatan, sampai menghormati tradisi lokal yang berlaku. Bila kita melanggar, yang marah, tersinggung dan mempermasalahkan itu, yang hidup, yang bernapas. Mereka, yang menghukum kita. Bukan yang halus-halus dan yang nggak kelihatan. Itu saja. Mereka hidup di alamnya. Kitapun demikian. Nggak bersinggungan satu sama lain. Elo-elo gue-gue, lah,” tegas Zizi selalu, saat kuliah dulu.
Detik ini, seiring terngiangnya kembali perkatan-perkaatannya di masa lalu, perasaan bersalah menyelinap di benak Zizi. Semuanya muncul, tepat bersamaan sebuah firasat janggal yang amat sulit diterjemahkannya. Bagai berada di titik balik, mendadak Zizi tersadar, dia butuh bantuan Ryn. Maka, tak dilepasnya pegangannya pada tangan Ryn.
“Ryn, bukannya begitu. Gue tuh… aduh, gimana ya?” Zizi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, seperti kesulitan merangkai kata.
Bagaimana dia tidak gemas, kalau Ryn tidak mengomentarinya?
Zizi jadi salah tingkah.
“Ryn,” panggil Zizi pelan.
“Gini loh, Gue cuma… nggak ingin memenuhi kepala ini dengan hal-hal seperti itu. Itu … sangat di luar nalar. Pendeknya, otak gue ini nggak nyampai, buat mikir sampai ke sana. Makanya gue nggak mau ribet. Sesederhana itu,” jelas Zizi hati-hati.
Ryn hanya berdeham. Tapi bagi Zizi, itu sudah cukupmenghiburnya. Artinya, Ryn menyimak segala yang diucapkannya, toh?
“Ryn, sekarang ini, ada yang urgent. Temani gue masuk, ya, Ryn? Jujur, gue takut banget, kalau harus masuk sendiri. Nggak tahu kenapa, mendadak rasanya merinding banget nih. Hawanya aneh, asing, anyep,” pinta Zizi serius.
Ryn tidak menjawab. Namun Zizi pantang menyerah. Dibujuknya lagi dan lagi temannya itu. Sayang, hasilnya sia-sia sebagaimana tadi. Ryn tetap teguh, bertahan di tempat semula.
Zizi berjengit. Rasanya kesal juga membujuk orang berkali-kali tanpa hasil.
“Hh, terserah saja deh,” akhirnya, Zizi hanya dapat menggerutu lirih. Menanti dari detik ke detik, kembalinya Adi, sungguh membuat hatinya terasa demikian risau. Walau dia khawatir dan ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana, namun nyalinya belum sebesar itu untuk masuk ke dalam gedung yang menebarkan aura mencekam itu seorang diri.
*^ Lucy Liestiyo ^*