“Seperti itu ya Pak Prasetyo?" tanya Adi.
Prasetyo mengiakan.
"Lalu bagaimana kondisi teman saya itu sehari-hari selama dalam perawatan di rumah sakit ini?” tanya Adi ingin tahu.
“Ya, tidak jauh berbeda dengan yang Mas saksikan tadi,” kata Prasetyo terus terang.
“Banyak saat di mana mas Bima bisa berkomunikasi dengan baik dan lancar kok, Mas. Ya, seperti pada mas Adi tadi. Hm.., awalnya, maksud saya. Makanya kami berusaha semaximal mungkin untuk mengusahakan penyembuhannya. Kami paham bahwa Mas Bima itu perlu teman bicara, tapi kan dia nggak mungkin bicara pada sembarang orang. Dia masih agak tertutup, bila dikorek keterangan oleh psikiater yang menanganinya. Padahal, semakin lama dia menyimpan sendiri semua rasa takut dan kegelisahannya, itu justru memperburuk keadaannya. Tadi itu..., melihat antusiasnya dia menyambut kedatangan Mas Adi, terus terang saya sempat berharap dia dapat sedikit berbagi beban,” lanjut Prasetyo.
Adi manggut-manggut mendengar keterangan Prasetyo.
‘ Seandainya,’ batin Adi sedih.
Pada saat yang sama, Prasetyo yang berdiri di depannya, mengalihkan tatapan ke arah seorang Ibu yang sedang berjalan, tak jauh dari mereka.
“Nah, itu ibu Sheila, Mas Adi. Mas Adi pasti mengenal beliau juga kan? Kelihatannya beliau baru bicara dengan salah satu petugas. Saya tinggal dulu ya Mas, mau mengurus hal lain,” Prasetyopun pamit.
“Silakan, Pak Prasetyo. Iya, saya kenal dengan beliau. Terima kasih banyak atas informasinya tadi,” kata Adi, melepas kepergian Prasetyo.
Prasetyo mengangguk dan berlalu, sementara Tante Sheila terlihat berjalan ke arah Adi. Kemurungan mewarnai wajah perempuan setengah baya itu. Begitu nyata, bak mendung tebal yang menggayut di langit saat akan turun hujan lebat. Seketika rasa bersalah menyesaki benak Adi.
'Sahabat macam apa, yang tidak berada di sisi sahabatnya, ketika sang sahabat berjuang sendirian dalam keadaan terburuknya, tak peduli apa pun yang pernah terjadi di antara mereka? Apa aku masih layak disebut sahabat?' 'Sesal Adi dalam hati.
**
Rasanya Adi hampir tak sanggup menemui Tante Sheila. Di mata Adi, gurat kesedihan yang terbayang di wajah wanita itu, telah berpadu dengan kesedihan mendalam, keputus asaan yang bercampur dengan kepasrahan lantaran kondisi memaksanya untuk memilih pasrah.
“Tante Sheila, apa kabar? Saya Adi, tante, barangkali tante lupa wajah saya,” Adipun bergegas mendahului menghampiri Tante Sheila lantas menyalami wanita paruh baya itu dengan santun.
Wajah wanita itu sedikit cerah, seolah tidak menyangka Adi benar-benar mau datang menengok putranya. Adi pun berpikir, jangan-jangan tadi itu tante Sheila sudah pusing berat atau sedang berjalan sembari melamun, sehingga tidak melihatnya dari jauh.
“Nak Adi, terima kasih banyak, Nak Adi mau datang kemari. Enggaklah, Tante nggak lupa. Wajah kamu sama persis seperti dulu,” kata tante Sheila pelan.
“Maafkan saya Tante, saya baru sempat datang. Jujur, saya sedih sekali, melihat kondisi Bima tadi. Mulanya, kami berdua sempat berkomunikasi dengan baik beberapa saat. Tapi… sesudah itu…,” Adi menggantung kalimatnya. Dia takut menyakiti perasaan ibu dari sahabatnya, jika harus mengatakan yang sejujurnya.
Tante Sheila hanya tersenyum pahit mendengar penuturan Adi.
“Tante tahu, pasti dia mendadak nggak stabil lagi di tengah-tengah percakapan. Tante sekeluarga..., sudah sering ingin menyerah, sebetulnya, dengan perkembangan ini. Rasanya sudah tidak tega melihat Bima dalam keadaan seperti itu,” gumam tante Sheila.
Pandangan wanita itu lantas menerawang, seperti orang yang benar-benar telah lelah berjuang tanpa hasil, dan kehabisan energi lalu memilih memasrahkan segalanya kepada semesta. Entahkah pasrah, ataukah mendekati kata menyerah.
“Tante..,” suara Adi tersendat, mendapati mata tante Sheila mulai berkaca-kaca. Tidak tersisa ketegaran di wajah itu.
“Nak Adi..,” kata tante Sheila lirih.
“Ya, Tante,” Adi menyahut dengan berat hati. Lidahnya terasa kelu, saat hendak bertanya awal mula Bima dimasukkan ke rumah sakit ini.
“Saya.. saya enggak kepikir sama sekali, Bima bisa sampai dirawat di sini,” Adi menunduk kala mengucapkan kalimat yang sebetulnya ditujukan kepada ibu dari sahabatnya ini.
Tante Sheila menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Lalu dengan terbata-bata, Tante Sheila bercerita bahwa awal dari semua ‘keruwetan’ ini ditandai dengan seringnya Bima berteriak ketakutan di tengah malam, sehingga membangunkan seisi rumah. Menurut Tante Sheila, Bima juga sering terbengong sendirian.
“Kadang Bima terlihat begitu murung, sementara pada saat-saat lainnya justru dia terlihat ketakutan sekali. Dia terlihat gelisah, tidak tenang dan amat tertekan. Bukan satu dua kali Bima mengatakan ada tulisan-tulisan dengan darah di tembok kamarnya. Seringkali dia bilang, ada bisikan-bisikan ancaman di telinganya, hal yang tak dapat dibuktikan olehnya lantaran tidak dialami oleh orang lain,” ucap Tante Sheila sambil menundukkan wajah.
Diam-diam, Adi memuji ketegaran wanita di depannya. Adi tahu, apa yang disampaikan tante Sheila barusan itu, sejatinya sarat emosi. Mana ada seorang ibu yang sanggup berkisah tentang penderitaan anaknya dengan setenang itu, kalau tidak mempunyai hati yang begitu besar?
Mau tak mau, Adi terkenang pada sosok ibunya di desa. Ibu yang membanting tulang untuk memastikan dirinya dan adiknya tetap bersekolah. Ibu yang lebih rela menderita sakit, ketimbang melihat anaknya yang sakit.
‘Maaf Tante, karena saya terlampau lama mengambil keputusan untuk kemari. Maaf saya sudah mengecewakan hati Tante,’ batin Adi penuh rasa sesal.
“Ancaman? Ancaman apa saja, Tante?” tanya Adi, terkejut.
Tatapan tante Sheila mendadak menerawang jauh, seakan tengah mengingat-ingat kejadian yang telah lampau.
“Banyak, Nak Adi. Bima nggak selalu bisa menyebutkannya,” kata Tante Sheila lantas terdiam sambil menundukkan wajahnya.
Adi berpikir, gestur Tante Sheila itu adalah penyampaian rasa keberatan untuk menceritakan lebih jauh, karenanya dia memilih menahan diri dan tak bertanya lebih dulu. Nyatanya, perkiraannya meleset. Tante Sheila justru mulai berkisah.
“Pernah, atas saran seorang psikiater, kami memberikan Bima sebuah buku. Dia dianjurkan untuk menuliskan segala pengalaman buruk yang dialaminya, perasaannya, apa pun yang ingin ditulisnya. Bima memang tampak amat terhibur bila rumah kami sedang ramai dan para keponakannya datang. Tetapi agak membahayakan, bila ditinggalkan sendirian di rumah. Pengakuan Bima yang ditulis di buku, dia mendapat bisikan gaib, supaya melangkah ke balkon, meloncat dan sebagainya. Kata Bima, ada kalanya dia berjuang untuk fokus, melawan keras keinginan itu. Apa daya, ini masih menurut Bima, sosok tak kasat mata itu gusar dan mengambil alih apa yang diperintahkannya kepada Bima. Sosok itu yang mendorongnya, menariknya, dan sebagainya. Bukan lagi meminjam raganya Bima. Saat ditanya siapa sosok itu, Bima hanya mengatakan seorang perempuan,” kisah Tante Sheila sambil memandangi lantai keramik. Air mata mulai jatuh membasahi pipinya, dan segera diusapnya dengan punggung tangan.
Adi terkesiap mendengarnya.
“Maaf Tante, sekiranya masih terlalu berat, tak usah diceritakan kelanjutannya,” timpal Adi.
Tante Sheila menggeleng lemah.
“Nggak apa, Nak Adi. Jadi, sebetulnya kami sekeluarga sedih melihat perkembangannya. Bima bukannya membaik dirawat di sini,” cetus Tante Sheila.
Tak urung, Adi terusik.
“Maaf, kalau saya lancang. Memangnaya perkembangannya bagaimana?” tanya Adi hati-hati.
Tante Sheila mengangkat wajahnya.
Hati Adi sungguh sedih melihat mata Tante Sheila yang memerah.
“Ini dilema, Nak Adi, kalau dia enggak dirawat di rumah sakit khusus begini, keadaannya bisa parah, tetapi dirawat pun..., yach..., seperti yang Nak Adi lihat sendiri...,” kata Tante Sheila lirih.
Adi bingung harus berkomentar macam apa. Ia hanya diam saja.
“Tante malah melihat, dia semakin tertekan selama dalam perawatan. Dia nggak mau makan, susah tidur, obat dibuang-buangin sama dia. Tiga minggu lalu, dia kena demam tinggi. Kami panik luar biasa. Terus terang saja, bukan sekadar berusaha menyembuhkan dia secara medis, tante sampai kepikir yang non medis juga,” lanjut Tante Sheila.
Adi tercengang mendengarnya.
“Maksud Tante bagaimana?” tanya Adi, sulit untuk menyembunyikan keheranannya.
*^ Lucy Liestiyo ^*