Lantas tak terelakkan lagi, kini bayangan wajah Bima Ariesatya yang umurnya lebih tua setahun dari dirinya, bermain-main di pelupuk mata Adi. Ya, Bima yang sesekali sok-sokan melucu dan membanyol demi menyembunyikan kesedihan yang ada di dalam hatinya.
- Kilas Balik -
Tidak jelas, apa alasan tepatnya, Bima yang lebih dulu mengenal dan akrab dengan Robby serta Reifan, justru lebih terbuka kepada Adi. Pada Adi, Bima tidak ragu bertutur tentang kegelisahan ataupun penyangkalan hati yang dialaminya.
Rupanya, di balik sikap Bima yang terkesan periang dan kadang cenderung kasar, mengendap rasa kurang percaya diri dan sering insecure. Banyak alasan yang dirasa Adi amat berlebihan untuk dikeluhkan oleh seorang Bima. Tengok saja yang berikut...
"Di, gue tuh keberatan nama. Sebagai orang yang demen baca dan berwawasan luas, lo tentunya tahu kan, sosok Bima dalam pewayangan kan berkharisma, berwibawa, gagah, kuat, plus segala segi positif lainnya?” Bima melempar sebuah kalimat retorik untuk memancing komentar Adi.
“So what?” tanya Adi ringan.
Bima mengembuskan napasnya. Cukup keras, hingga menyerupai sebuah dengusan kesal.
Adi menanti Bima bertutur.
“Gue sebenarnya tertekan menyandang nama Bima yang dikasih sama orang tua gue, Di. Pengennya sih, ganti nama aja,” keluh Bima dengan suara berat.
Berkata begitu, Bima menatap frustasi pada Adi. Sepertinya, Bima berkaca pada penampilan fisiknya saat mengutarakan kalimatnya barusan. Bima merasa wajahnya sama sekali tidak menarik, apalagi tinggi tubuhnya yang hanya 155 cm. Tinggi badan yang menurut Bima termasuk ‘minim’ untuk bersaing dengan kaum Cowok lainnya demi menarik perhatian lawan jenis. Itu baru penampilan fisik. Bima lalu menyebutkan pula, pencapaian kedua kakaknya dalam bidang akademik maupun pesatnya karir mereka dalam pekerjaan, turut menjadi beban berat baginya.
“Jomplang, istilahnya Di. Nama Bima tapi kok...,” Bima menggantung ucapannya dan menggeleng-gelengkan kepala.
Adi belum tergerak untuk menyahut. Dia dpat membaca, bahwa Bima belum selesai dengan keluh kesahnya.
Dan, benar saja...
“Asal tahu saja, Di, sewaktu kecil gue tuh sering banget sakit-sakitan. badan gue dibilang terkenalpaling ringkih di keluarga gue. Udah begitu, otak gue ini nggak secerdas yang gue harapkan. Kalau orang lain bisa menerima pelajaran sambil bersiul atau bersenandung, beda sama gue. Gue harus berkonsentrasi penuh, baru bisa mencerna pelajaran dengan baik. Terus, soal mendapatkan pekerjaan, orang lain begitu gampang melewati tes masuk dan wawancara dan bisa kerja kantoran. Nah, gue? Sampai sekarang pun, gue masih harus puas sama pekerjaan paruh waktu,” keluh Bima.
“Bim...,” sela Adi.
Bima menggeleng, mencegah Adi berbicara.
“Gue belum selesai Di. Terus, apa ada bedanya dengan waktu lulus kuliah nanti? Soal Cewek juga. Robby, Reifan dan lainnya, sudah nggak kehitung berapa kali pacaran dan putus. Sedangkan gue? Buat menarik perhatian Cewek saja, susaaaah banget. Sekalinya kecantol, Cewek itu kelihatan jelas memandang rendah sama gue. Lain waktu, sekalinya berhasil macarin Cewek, dan kegirangan setengah mati karena berpikir bahwa ‘kutuk’ atas diri gue mulai terpatahkan, eeeh... nyatanya gue kecele. ‘Kutuk’nya masih kuat. Bayangin, baru dua setengah bulan jadian sama gue, itu Cewek ngotot minta putus. Alasannya mengada-ada. Buntutnya gue tahu, dia cuma jadiin gue serep, cadangan, selagi nunggu pacarnya selesai kuliah di luar negeri. Dipikirnya gue tukang ojek gratis kali, yang selalu siap sedia nganterin dia ke mana-mana dia mau,” sambung Bima dengan rasa sebal yang tak tersembunyikan.
Cukup lama Bima terdiam setelahnya. Adi mengambil langkah serupa.
Sebuah sikutan keras di lengannya, menyadarkan Adi dari diamnya.
“Nah! Menurut elo gimana? Beneran, kan, gue ini keberatan nama?” tanya Bima, seolah meminta konfirmasi.
“Enggak lah Bim, jangan pernah berpikir seperti itu. Gue rasa setiap orang tua itu mempunyai doa tertentu saat menamai anak-anak mereka. Tentunya doa yang baik,” kata Adi bijak sembari menepuk bahu Bima.
Bima tak bereaksi. Sekilas, tampaknya dia menerima pendapat Adi. Tetapi toh, esok dan esoknya lagi, Bima masih mengulangi bahasan yang sama. Mengeluh, menyesali apa yang terjadi, dan merasa telah diperlakukan tidak adil baik oleh sesama maupun semesta.
Biasanya kalau sudah begitu, Adi hanya tersenyum tipis. Berbekal banyak buku bacaannya, Adi memilih membesarkan hati Bima melalui percakapan santai.
“Bim, nggak usah terlalu disesali, apa-apa yang telanjur terjadi. Kalau menurut gue sih, semua yang terjadi itu pasti ada hikmahnya, walaupun belum kita mengerti sekarang. Mungkin, gue juga sering diperlakukan seperti elo, tanpa gue sadari. Tapi ya sudahlah, mau diapain lagi. Apa yang masih bisa kita ubah, ya kita ubah. Yang nggak bisa, ya terima aja. Biar nggak capek, otak sama hatinya kita,” kata Adi, ringan. Bima tak tahu saja, Adi juga menujukanhal tersebut buat dirinya sendiri.
Bima berdeham dan menyahut, “Itu ungkapan klise sebenarnya Di. Tapi nggak tahu kenapa, karena elo yang ngomong ke gue, gue bisa terima.” Jelas, sebagaimana Robby dan Reifan, Bimapun mengakui, berteman dengan Adi membawa selaksa pengaruh positif.
“Gitu dong. Kita saling mengingatkan saja. Itu baru namanya teman,” timpal Adi.
Lantas, pandangan Adi menerawang.
Saat ini, Adi teringat keadaan dirinya sendiri. Kenyataan bahwa dirinya berasal dari keluarga sederhana, tak membuatnya lekas patah arang. Benar bahwa dia terkondisi harus berjuang keras terlebih dahulu demi mendapatkan segala yang diperlukan olehnya, apalagi yang sekadar diinginkannya. Benar pula bahwa dirinya harus kerap menahan perasaan dan mencegah emosinya agar tidak meluap, lantaran diberi predikat kutu buku, ‘terlalu lempeng’, ‘nggak asyik’, ‘cupu’, ‘kuper’ hingga sebutan yang lebih parah yaitu ‘jadul’ ataupun ‘munafik’’ oleh teman-teman sekolahnya. Malahan, julukan ‘cupu’ dan ‘kuper’itu masih sesekali menerpa indra pendengarannya sampai dia kuliah dan bekerja. Walau seingat Adi, dia telah banyak mengalami perubahan, jauh lebih terbuka ketimbang saat duduk di bangku SMU dulu.
Perkara Cewek, bukannya Adi tidak pernah tertarik pada mereka, atau mereka yang tak berharap mendapatkan perhatian darinya. Wajah Adi termasuk lumayan, dengan rambut pendek yang selalu disisir rapi bak anak sekolahan, mata kelam yang berlindung di balik kacamata minus, sampai warna bibir yang terang karena tidak tersentuh oleh nikotin. Deretan gigi kelincinya putih cemerlang disebabkan membatasi minum teh dan kopi. Satu dua jerawat, sesekali menghias pipinya. Fisiknyapun termasuk ideal, dengan tinggi 175cm dan berat 62kg. Daya ingatnya bagus, kecerdasan otaknya juga tak perlu diragukan, selain pengetahuannya yang tak dibatasinya pada materi kuliah semata. Adi juga update kok, perkembangan berita terkini, terutama yang berhubungan dengan ekonomi, politik dan apa saja yang mempunyai kaitan langsung dengan dunia usaha.
Penampilan Adi memang sederhana dan apa adanya. Ketika dirinya dipercaya menjadi asisten dosen, tak sedikit mahasiswi cantik yang ternag-terangan mencari perhatiannya. Entahkah lantaran ingin memanfaatkan kecerdasannya, ataukah sungguh tergoda pesona tampilan fisiknya.
Selama itu, Adi konsisten menjaga jarak. Dia memberikan batasan pribadi, meski tetap bersikap baik kepada mereka. Dan walaupun di kemudian hari Adi telah berpenghasilan cukup, prioritas utamanya tetaplah keluarganya. Ya, ibunya yang terkondisi menjadi orang tua tunggal setelah sang Ayah meninggal ketika dirinya masih mengenakan seragam sekolah putih biru, serta adik perempuannya.
Pengalaman pribadinya dikecewakan oleh Esti, cinta monyetnya semasa duduk di kelas 10 dulu, rupanya sukses mengajarkan Adi, bahwa memacari seorang Cewek, tak bisa sekadar berbekal rasa cinta semata, memberi waktu dan perhatian, serta melimpahi si Cewek dengan kata-kata rayuan. Adi tahu, yang namanya pacaran itu perlu uang yang tak sedikit. Buktinya, di kemudian hari, Esti tampak menentukan sikap yang jelas, memilih berpaling pada Seno, yang bisa memberikan traktiran lebih bergengsi, di kafe yang sedang hits kala itu. Esti rupanya hanya butuh dirinya untuk mengerjakan tugas sekolah yang rumit dan membuat otaknya berpikir keras. Sekadar traktiran di kantin sekolah sebagaimana yang mampu dilakukan Adi sesekali, itupun setelah berhemat dan mengumpulkan uang sakunya, sungguh teramat jauh dari harapan Esti.
- Akhir Dari Kilas Balik -
*^ Lucy Liestiyo ^*