“Robby, anak dari konglomerat tajir melintir Erlando Handi Saputra, putra kedua keluarga Saputra,” desah Adi pelan, teringat gambaran rekannya yang tertua di antara mereka berempat, Robby Heriadi Saputra yang bandel dan gemar menghamburkan uang orang tuanya. Lembaran-lembaran uang dengan nominal tertentu yang seolah tiada harganya di mata Robby. Belum lagi sejumlah kartu kredit hingga black card yang ‘menambah’ nilai seorang Robby. Keadaan yang lebih dari cukup untuk membuat seorang Robby menjadi pribadi yang sombong dan semena-mena. Ya, bila saja ‘perjalanan waktu’ tidak mempertemukannya dengan sosok Adi, yang kemudian banyak mengubah paradigmanya yang keliru.
Sejatinya, si 'bad guy' Robby memang mempunyai modal yang mantap, untuk digila-gilai para Cewek. Tubuhnya atletis, didukung pula oleh paras menawan serta kepintaran memikat lawan jenis. Tetapi sayangnya, pesona fisiknya itu tidak diimbangi dengan keberhasilannya menuntut ilmu di bangku kuliah. Prestasi akademik Robby cukup mengkhawatirkan, dia bahkan terancam di-drop out dari universitas, bila tidak tertolong limpahan uang dari orang tuanya yang notabene adalah salah satu pemilik yayasan yang juga menaungi universitas tersebut.
Adi menggelengkan kepalanya dengan gemas, teringat Robby yang baru lulus kuliah ketika umurnya sudah berada di pertengahan angka 28. Ya, 28, usia di mana orang-orang lain mungkin telah menyelesaikan program masternya. Usia di mana seroang anak dari pengusaha tajir macam dirinya semestinya sudah mulai melibatkan diri untuk mempelajari segala macam seluk-beluk usaha keluarga dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan pada waktunya, atau bahkan telah mempunyai bisnisnya sendiri. Tetapi tidak dengan Robby yang terlalu santai menjalani hidup itu. Terlalu slebor dan terkesan kurang bertanggung jawab pada masa depannya sendiri. Dan yang patut dicatat, Robby akhirnya dapat menyelesaikan program strata-1nya itu juga setelah berteman akrab dengan Adi, yang dijuluki si kutu buku. Tentunya, dia mendapatkan banyak pengaruh yang positif dari pertemanannya dengan Adi.
- Akhir Dari Kilas Balik -
Walau usia Adi lebih terpaut muda 3,5 tahun dari Robby dan awalnya kerap diejek oleh Robby karena dinilai terlalu ‘cupu', kata lain untuk culun punya, bahkan dianggap 'aneh', toh akhirnya Adi dan Robby justru dapat berteman dekat.
Pertemanan yang cukup unik serta kontras di mata teman-teman kuliah mereka, bagaikan pertemanan antara ‘si kaya dan si miskin’, ‘si pekerja keras dengan si penikmat hidup’, ‘si otak encer dengan si otak bebal’. Teramat kontras. Namun lewat waktu yang berlalu, toh Robby perlahan menyadari, Adi memiliki ‘jauh lebih banyak’ sisi positif ketimbang dirinya. Kesombongan dan sikap buruk Robby berangsur terkikis dengan sendirinya. Bahkan di kemudian hari, Robby juga belajar menahan diri untuk tidak terlampau pamer kekayaan orang tuanya. Dan bisa dipastikan, usaha Robby tentu tidak main-main. Dia melakukannya segenap hati.
“Ternyata, banyak hal yang nggak bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Salah satu contohnya elo, Di.Elo itu, sikap elo yang tenang menghadapi perlakuan buruk gue dan ejekan orang-orang, akhirnya malah menampar kesombongan gue selama ini,” aku Robby suatu kali.
Adi hanya menanggapi dengan senyuman kecil.
Pertemanan di antara mereka itu memang banyak memberikan pengaruh positif pada Robby yang jadi giat belajar. Robby melihat langsung bagaimana kerja keras Adi membiayai sendiri kuliahnya. Robby tahu, Adi juga sengaja menunda untuk kuliah selepas menyelesaikan SMA-nya lantaran kondisi keuangan keluarganya. Adi bukan hanya berusaha menekuni pekerjaannya sebagai tenaga administrasi di sebuah rumah sakit swasta yang mempunyai jam kerja ‘cukup ramah’, yakni dari pukul 06,45 wib hingga pukul 15.15 wib dari hari Senin hingga ke hari Jumat, sehingga masih memungkinkan Adi untuk melakukan pekerjaan serabutan seusai jam kerjanya. Dari menjadi tukang cuci piring di sebuah rumah makan padang di dekat rumah kost-nya yang sederhana, menyanggupi menjaga pasien yang merupakan kerabat dari orang berada di kamar perawatan mereka, menjadi agen pulsa, hingga mencoba peruntungan sebagai tukang ojek pangkalan. Semua dilakukan Adi demi menutup biaya hidupnya serta menyisihkan sebagian untuk membantu sang ibu yang setelah ayah tercintanya meninggal dunia, terpaksa mengandalkan warung kecil peninggalan sang suami sebagai penggerak ekonomi keluarga mereka.
Tentu saja, Adi harus melakukan semua pekerjaan itu, demi menjemput mimpinya, KULIAH! Adi memang baru dapat mulai mencicipi duduk di bangku kuliah, mendapatkan sebutan 'mahasiswa', setelah tiga tahun rehat dari dunia pendidikan dan mengumpulkan uang sambil menekan semua pengeluarannya. Dia baru mendapatkan kesempatan berkenalan dengan yang namanya ‘kampus’ di saat usianya sudah di ujung 21.
Pada saat hati Robby tersentuh melihat perjuangan Adi yang pernah di-bully-nya habis-habisan, Robby tergerak untuk menawarkan bantuan dengan berbagai cara, termasuk menyodorkan posisi yang bagus di beberapa perusahaan milik ayahnya. Robby bahkan memberikan kebebasan kepada Adi untuk memilih sendiri, mana yang dirasa paling cocok. Namun, semuanya berbuah penolakan tegas dari Adi. Sebuah aksi, yang lagi-lagi membuat Robby salut pada sikap Adi, yang meskipun kuliahnya tersendat karena pilihan-pilihan atas peluang mendapatkan income lebih banyak, tetap berkomitmen untuk menyelesaikannya.
“Gue salut, elo jenis yang kalau memulai sesuatu, maka elo menyelesaikannya. Dan gue memang seharusnya malu, karena ditinjau dari segi apa pun, sebetulnya gue ini nggak punya kendala seperti yang elo alami,” kata Robby suatu kali.
Kala itu, Adi lebih rela untuk mengambil cuti kuliah, demi mendapatkan pendapatan tinggi sekalipun membutuhkan fokus penuh. Adi menerima tantangan perusahaan tempatya bekerja untuk menangani proyek khusus selama sepuluh bulan lamanya di area yang terpencil. Kompensasi yang ditawarkan kepada Adi sungguh fantastis, setimpal dengan pengorbanan Adi, yang juga harus meninggalkan pekerjaan tambahannya sebagai asisten dosen, yang belum genap dua semester dijalaninya. Adi juga dihadapkan pada pilihan sulit, menunda pembuatan skripsinya.
Mujur, semua pengorbanan yang dilakukan oleh Adi akhirnya terbayar lunas. Saldo tabungan Adi melonjak drastis karena keputusannya menerima tantangan dari perusahaan tempatnya berkarya. Adi juga dapat mengirimkan uang dalam jumlah lebih besar kepada ibunya di desa, yang kemudian dipergunakan sebagai tambahan modal untuk memperbesar warung mereka serta membiayai hidup sehari-hari.
Maklum, penempatan dirinya di area terpencil, tidak memberikannya celah untuk hidup konsumtif. Jangankan berpikir mencari kendaraan sewaan untuk bersenang-senang ke ‘kota terdekat’ yang jaraknya terbilang jauh dan cukup membuat jantung berdebar lantaran harus melewati hutan pinus yang luas, sekadar keluar dari wilayah kerja saja, dia dan semua rekan kerjanya harus melalui proses perijinan yang rumit serta berliku.
Jam kerja mereka pun termasuk panjang, membuatnya memilih mengoptimalkan waktu istirahat seusai jam kerja yang padat dan melelahkan setiap harinya. Adi memaknai waktu istirahat sebagai waktu untuk mengganti semua seragam dan atribut yang wajib dikenakan selama jam kerja, dengan celana pendek serta t-shirt rumahan lalu bersantai di dalam kamar, di teras, atau fasilitas publik yang disediakan perusahaan.
Untuk menjamin kenyamanan serta produktivitas kerja para karyawan di site, fasilitas terbaik disediakan pihak perusahaan. Terdapat beberapa armada bus yang mengantar jemput para karyawan dari mes ke kantor yang jaraknya kurang dari 8 menit. Mes tempat tinggal mereka amat bersih, nyaman, dilengkapi furniture, alat elektronik dan wifi sekelas tempat kost eksklusif. Sarapan pagi, makan siang, cemilan sore hingga makan malam serta fasilitas cuci setrika serta kebersihan kamar ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan. Miriplah dengan tinggal di hotel, bedanya mereka tidak perlu membayar.
Sudah begitu, masih ditambah pula dengan disediakannya tempat khusus untuk beribadah, sebuah klinik kesehatan dengan tenaga medis yang berjaga secara bergantian selama 24 jam, sebuah helipad serta helikopter yang disiagakan untuk mengantisipasi keadaan darurat, pantry bersama dan sarana berolahraga bagi para karyawan.
Semuanya fasilitas tersebut dapat mereka nikmati secara cuma-cuma, seperti halnya pelepas penat berupa bioskop mini, tempat karaoke, meja bilyar hingga meja karambol yang ditempatkan di area umum, sebagai pengusir kejenuhan. Masih kurang? Ada pula sebuah mini market serta yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Tetapi khusus untuk membeli barang-barang di mini market, tentu saja mereka harus merogoh kocek sendiri.
- Akhir Dari Kilas Balik -
“That was a precious moment, actually,” kata Adi lirih. Senyum kecilnya sontak mengembang, mengenang masa-masa itu.
Lantas, terbayang pula oleh Adi wajah Reifan Mahdani, temannya yang lain, yang kuliahnya juga tersendat-sendat akibat kurang pandai mengatur waktu dengan kesibukan kerjanya. Seingat Adi, Reifan yang lebih muda 1 tahun dari Robby itu, sempat berpikir tak perlu menyelesaikan kuliahnya.
“Padahal, si Reifan itu baru kuliah setelah mencicipi dunia kerja selama satu tahun delapan bulan, berbekal ijazah SMU,” desah Adi.
“Cenderung ngawur, alasan yang dia ungkapkan,” Adi setengah bergumam.
Tak sadar, Adi menggelengkan kepala mengingat alasan Reifan ketika mempertimbangkan hendak berhenti kuliah. Begitu sederhana.
- Kilas Balik -
“Memang lulus kuliah bakal dapat apa sih? Selembar sertifikat? Tanda sudah menamatkan episode sekian tahun duduk di bangku kuliah? Huh! Terus kegunaannya buat apa? Sekadar untuk melamar kerja? Ah, kerjaan gue yang sekarang sudah lebih dari lumayan. Target penjualan selalu bisa terlampaui. Pokoknya finansial gue amat sangat aman! Itu sudah cukup, buat gue,” kata Reifan, mengulang alasan serupa, seperti yang kemarin-kemarin ia lontarkan. Seperti bagian refrain pada lagu saja.
Bila sudah demikian, Adilah yang paling gigih menyemangati dan membelokkan pemikiran Reifan, yang dirasanya kurang tepat itu.
Kalimat yang dilontarkan Adi sungguh mengena, “Kenal uang sih, boleh-boleh saja, Fan. Itu nggak salah sama sekali. Gue enggak munafik, gue juga pemburu uang, kok. Mungkin malah gue yang paling rajin mengejar uang, di antara kita semua. Kalau enggak buat dapatin kucuran rupiah, ngapain juga gue kerja sampai mati-matian begini? Tapi di negara ini Fan, sorry to say, selembar sertifikat masih tetap diperlukan. Bisa jadi pertimbangan pertama, sewaktu promosi jabatan, misalnya. Istilahnya, a must, terutama di perusahaan besar.”
Mendengarnya, Robby langsung mengangguk-angguk tanda setuju, Lantas Robby mengamati yang Reifan terdiam mendengar penjabaran Adi. Entahkah Reifan tengah menyimak dan meresapinya, bersiap mengabaikannya ataukah sedang mencari argumen yang dirasanya paling tepat guna mematahkan pendapat dari Adi. Namun sebelum Reifan sempat mengucapkan apa-apa, Robby merasa perlu mendukung pendapat Adi.
Robby menepuk bahu Reifan. Lumayan keras. Seperti mau menyadarkan rekannya satu itu.
“Itu seribu persen benar Fan! Di semua perusahaan yang berada di grupnya babe gue, seleksi pertamanya, jelas berawal dari selembar kertas tanda kelulusan itu. Jaman sekarang nih Fan, masa cuma strata-1 doang kita nggak bisa menyelesaikannya? Sementarara yang lain sudah koleksi sertifikat sampai doktoral, lulusan luar negeri pula. Janganlah kita putus sekolah gara-gara alasan yang enggak bisa dipertanggung jawabkan nantinya. Cemen banget. Malas, merasa sudah cukup, apa sih? Enggak banget itu! Sedangkan yang terbentur masalah biaya, kesehatan yang memburuk atau kendala infrastruktur saja, malahan berjuang lebih ngotot. Malu kita,” timpal Robby dan langsung diiakan oleh Bima Arisetya, rekan mereka yang lain.
“Nah, dengar, tuh! Yang model Robby saja bisa bertobat, kembali ke jalan yang benar. Dia, yang sebetulnya bisa banget beli ijazah dan dipastikan bakal mewarisi perusahaan bapaknya, bisa mikir lempeng. Ya, apalagi kita yang ekonominya biasa. Kita nih, masih perlu kerjaan dari pemberi kerja, belum berani dan belum mampu cari modal dan bikin usaha baru,” tambah Bima, membuat Reifan terbungkam.
Diamnya Reifan membuat Bima berpikir, Reifan pastinya tengah merenung dalam diam, memikirkan pendapat mereka bertiga, kawan-kawannya yang terdekat.
“Kalau dia nggak dengar kita, masih mending deh. Tapi kalau Adi saja sampai nggak didengar, ter... la.. lu! Adi kan sudah ‘proven’. Dia itu terlalu lempeng, pekerja keras dan nggak macem-macem orangnya. Apa yang disarankannya ke orang, dilakukan juga sama dia. Jadi nggak OMDO, nggak omong kosong dan berteori doang,” bisik Bima lirih kepada Robby.
- Akhir Dari ilas Balik -
“Beruntung, akhirnya toh anak itu nyadar juga, dan punya komitmen untuk setidaknya menyelesaikan kuliahnya. Ya, terlepas dari apapun motivsi dia, yang penting pada akhirnya kelar lah, kuliahnya,” gumam Adi lirih, seusai mengenang sosok Reifan sahabat lamanya.
^* Lucy Liestiyo *^