CHAPTER ENAM : Sejumput Sesal

1577 Kata
                Maka, kepingan demi kepingan kejadian masa lalu itu kian kurang ajar saja, seolah mendapat panggung terbuka serta waktu, membuatnya seenaknya tampil dan hendak menjajah pikiran Adi lebih jauh lagi, mengacak-acak rasa tenteram yang berusaha dibangunnya sungguh-sungguh, di tahun-tahun terakhir ini.                 Tahu segala konsekuensi yang dapat diakibatkan jika membiarkan dirinya terseret lebih jauh lagi, Adi segera mengambil sikap tegas, menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berkeras menghalau semuanya.                 Adi sampai mengehela napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat beberapa kali, demi mengundang ketentraman agar masuk ke dalam batinnya. ia meneruskan membaca pesan teks yang ia terima dari Tante Sheila. Sebuah pesan, yang lebih mirip dengan sebuah surat panjang itu...               "Tante sama sekali tidak bermaksud mendesak nak Adi mengungkapkan apa penyebab renggangnya hubungan kalian berempat. Saat ini, Tante sangat membutuhkan bantuan nak Adi. Bima tengah sakit. Dan entah mengapa, saat sedang demam tinggi, di antara teman-temannya yang lain, yang dia sebut hanyalah nama nak Adi. Di saat keadaannya agak membaik, Tante tanyakan apakah Bima ingin bertemu nak Adi. Serta merta dia mengiakan dengan pandangan memohon. Anehnya, sedetik kemudian, Bima mengatakan ke Tante, bahwa nak Adi pasti takkan mau menemuinya. Bima bilang, nak Adi telah memblokir semua nomor teleponnya dan tak mau berbicara dengannya. Bima juga menyebut, tiga bulan lalu, dia berusaha menghubungi nomor kantor nak Adi, tapi tiada jawaban. Bima mencoba menghubungi nomor telepon kantor pengelola gedung. Keterangan yang didapatnya, kantor kalian sudah pindah lokasi. Sayangnya, mereka nggak bisa memberikan nomor telepon yang dapat dihubungi. Bima nggak menyerah, dia berusaha googling dan menemukan nomor telepon kantor kalian. Sulit terhubung, karena nomornya selalu sibuk. Sekalinya bersambut, operator telepon nggak bisa menyambungkan ke nak Adi. Saat itu lah, Bima mulai berpikir, memang nak Adi benar-benar menutup komunikasi, pantang berhubungan dengannya lagi,” tulis Tante Sheila di bagian selanjutnya.                  Sampai di bagian ini, Adi tertegun, berusaha mengingat-ingat. Tak butuh waktu yang terlalu lama, sekejap saja Adi langsung terkenang pada sejumlah panggilan telepon yang pernah dihindarinya.                 “Oh iya, Nia, si operator telepon itu, seingatku sempat tiga kali mengatakan, ada panggilan telepon dari seseorang bernama Bima, kan?” gumam Adi, mengingat awalnya dia berpikir bahwa peneleponnya itu adalah agen asuransi, orang yang bermaksud menawarkan kartu kredit ataupun segala macam pinjaman tunai tanpa agunan. Malah dia sempat mengira pula, jangan-jangan mereka adalah orang-orang yang begitu giat menawarkan berbagai seminar dan pelatihan, mengingat terkadang ada beberapa orang yang mereferensikan namanya tanpa seijinnya.                 Karenanya, dia menolak mentah-mentah dan berpesan agar panggilan serupa tidak disambungkan ke extension-nya lagi. Adi tahu, di jaman sekarang, mendapatkan data berupa nama, nomor telepon hingga kemampuan keuangan seseorang teramat mudah dilakukan para penawar jasa tersebut. Mereka hanya perlu membayar sekian ratus rupiah bahwa ada yang mendapatkannya secara gratis, kabarnya. Sungguh konyol!                 'Pasti waktu itu Bima yang telepon kemari 'pikir Adi. Dia setengah menyesal, karena mengabaikan panggilan telepon dari Bima.                   “Tapi apa artinya penyesalanku? Toh, saat lain kali Nia mengatakan ada panggilan telepon dari Bima dan aku berpikir berpikir kemungkinan besar yang menelepon adalah Bima sahabat lamaku, aku juga menolak?” keluh Adi setengah bergumam.                 Dia ingat sekali betapa dia berpesan jika ada seseorang bernama Bima telepon lagi, jangan pernah diteruskan ke pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Dimintanya Nia mencari alasan apapun yang masuk akal dan dapat diterima oleh orang yang menelepon. Dan Niapun menurut tanpa niat mengorek lebih jauh ada permasalahan apa antara Adi dengan si penelepon bernama yang bernama Bima. Memang itu bukan urusannya juga, kan? Nia kan hanya melakukan bagian dari tugasnya di kantor saja.                 Tak tercegah, kini Adi mengeluh dalam hati dan melanjutkan membaca pesan teks di layar telepon selulernya…                 “Apapun persoalan yang pernah terjadi antara Nak Adi dengan Bima, Tante mohon dengan sangat, kiranya dapat dikesampingkan dulu saat ini. Sekali lagi, Tante mohon dengan sangat, tengoklah Bima barang sesaat, di rumah sakit, Nak Adi. Sebenarnya, berat buat Tante mengatakan ini. Jadi, Bima itu, nggak sekadar sakit fisik, tapi mengalami depresi berat. Tante minta maaf ya, sudah mengganggu dan merepotkan Nak Adi melalui pesan panjang ini, lantaran Tante sudah tak tahu lagi, bagaimana caranya menghubungi Nak Adi. Tante juga minta maaf, jika ada kesalahan yang dibuat Bima kepada Nak Adi. Ini alamatnya, Rumah Sakit Jiwa Cempaka, Ruang Krisan 102. Jalan Lembah Hijau 3 kavling 8-9. Terimakasih banyak, Nak Adi. Tante sangat menghargai kebesaran hati Nak Adi,”  pungkas Tante Sheila dalam pesan teks tersebut.                 “Hah? Rumah... Sakit Jiwa? Ini.. ini  typo, kan? Tante Sheila pasti salah ketik!” nyaris ponsel di tangan Adi terlepas dari genggamannya karena rasa terkejutnya telah mencapai puncak.                 Kontan mata Adi terbelalak seusai membaca kalimat terakhir. Dia sungguh tidak dapat mempercayai apa yang tertulis di sana Dalam penyangkalan yang tidak terucap, Adi berharap, Tante Sheila salah ketik dan dirinya salah baca. Malangnya, harapannya tidak terwujud. Tiga kali Adi mengulang membaca alamat yang tertera di sana, hatinya malah kian trenyuh. Bagaimanapun, persahabatannya dengan Bima dulu, amatlah berarti. Bukan sesuatu hal yang bisa dibuang begitu saja.                  Rumah Sakit Jiwa dan depresi, dua hal ini sontak menjajah pikiran Adi. Terlebih, dihubungkan dengan Bima, yang dianggapnya telah berangsur menerima keadaan, menjauhi rasa rendah diri, juga yang paling ceria sewaktu berangkat liburan berempat. Dalam kenangan Adi, saat itu Bima mengatakan dengan wajah sumringah, bahwa pada akhirnya, peruntungan baik bertubi-tubi kompak mendatanginya. Bima bahkan mulai percaya, nasib buruk sudah bosan mengakrabinya, berganti dengan sejumlah keberuntungan.                 Samar-samar, Adi terbayang ekspresi senang di wajah Bima, lantaran mereka berempat lulus kuliah dan diwisuda bersama. Adi terkenang, Indeks prestasi yang dicapai Bimapun tidak memalukan, yakni sedikit di atas rata-rata. Bagaimana Bima tidak girang, kan? Pencapaian itu telah cukup membuat rasa percaya dirinya seolah dikukuhkan. Mata Bima berbinar ceria pula, ketika memberitahukan pengangkatan dirinya sebagai karyawan tetap di kantor disertai penyesuaian gaji dan tunjangan yang memuaskan. Terlebih, Cewek yang sekian lama ditaksirnya, kabarnya belakangan ini mulai memberi respon positif lagi jelas, padanya. Diiringi tawa lebar, Bima lalu mengabarkan, dia baru membeli sepeda motor idamannya, dengan uangnya sendiri, juga memensiunkan sepeda motor pemberian orang tuanya.                 Adi takkan pernah lupa, kebanggaan dan rasa percaya diri yang besar tersirat nyata dalam ekspresi wajah yang ditampilkan Bima.                 Tak ayal, Adipun terseret dalam kenangan indah yang dilaluinya bersama ketiga teman dekatnya itu. Sama halnya dengan Reifan dan Adi, Bima yang tengah dilanda kegembiraan juga menolak Robby membayari seluruh biaya perjalanan yang akan mereka lakukan ketika itu. Meskipun, akhirnya mereka bertiga sepakat memberikan sedikit ‘penghargaan’ atas pencapaian Robby yang akhirnya bisa lulus kuliah, dengan membiarkan Robby menanggung tiket pesawat pulang pergi mereka berempat.                 Tak pelak, sejumlah pertanyaan memenuhi kepala Adi. Selaksa tanya yang tak terjawab, yang membuatnya berpikir keras, apa gerangan yang menimpa Bima baru-baru, ini sehingga membuat Bima depresi.                 ‘Kenapa sih dia? Putus cinta? Ditinggal menikah sama pacar yang belum lagi putus hubungan dengannya? Dipecat dari pekerjaan dengan tidak hormat dan tanpa pesangon pula? Ataukah permintaannya atas sejumlah modal usaha ditolak mentah-mentah oleh sang ayah, yang menurut dia lebih sayang pada saudara-saudaranya yang lain? Atau apa?’ berbagai pertanyaan memenuhi kepala Adi, membuatnya pusing karena tidak mendapatkan jawabannya.                  Sontak, Adi menggelengkan kepalanya berkali-kali, menghalau sendiri sejumlah pemikiran yang tercetus begitu saja tanpa dikehendakinya.                 “Ah, gila! Tolong deh, jangan bilang salah satunya benar! Itu alasan yang terlalu ‘cemen’ buat elo! Enggak banget, Bim! Sumpah, gue bakal marah banget ke elo, maki-maki elo, kalau perlu gue cekik leher elo, seandainya hal-hal sekecil itu bisa bikin elo depresi. Percuma banget dong, semua pemikiran positif yang sudah berusaha gue tularin ke elo, dulunya?” desah Adi serius, sambil terus melangkah menuju ke ruang kerjanya.                 Tiba di ruang kerjanya, rasa bingung melanda Adi. Selagi dia mencerna semua kalimat yang dituliskan oleh Tante Sheila dalam pesan teks yang dikirimkan untuknya, sebersit tanya berbalut keheranan mencuat.                Terpikir oleh Adi, mengapa Tante Sheila menyebut Bima hanya ingin menemui dirinya, adakah lantaran Robby serta Reifan telah menemui Bima, ataukah Tante Sheila juga sebetulnya mengirimkan pesan teks senada kepada Robby dan Reifan?                Adi tak kunjung menemukan jawabnya, mengingat sudah mendekati tiga tahun ditutupnya pula akses ketiga kawannya itu untuk menghubunginya. Semua disebabkan Adi tak mampu memaafkan perbuatan yang dilakukan ketiga kawannya tersebut, sewaktu mereka berliburan bersama. Liburan, yang membuatnya harus berusaha keras menghalau bayangan-bayangan buruk yang membebani langkahnya.                                                                                                                                                             *^ Lucy Liestiyo ^*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN