CHAPTER DUA PULUH LIMA : Dugaan Yang Beralasan

1895 Kata
                Zizipun menundukkan wajahnya dalam-dalam dan mulai berkata, “Di, aku bingung harus mulai dari mana. Terus terang, susah banget buat merangkai semuanya.”                 Hati Adi luluh mendengar perkataan Zizi ini. Begitu lirih, tetapi tanpa kesan merajuk.                 Saat Adi mengangkat dagu Zizi, tatap mata mereka saling bertaut.                 Ada kabut di mata Zizi.                 Adi jadi kasihan melihatnya.                 “Cerita dari mana saja yang sekiranya membuat kamu nyaman, Zi,” kata Adi lembut.                 Betapa Adi juga  menekan sendiri perasannya yang masih demikian galau memikirkan masalah laptopnya yang masih tanda tanya meski telah ia percayakan ke 'tangan yang benar', Sammy, 'dokternya IT' di kantornya.                 Zizi mengangguk.                 Gadis itu menarik napas dalam-dalam,seolah hendak menuturkan kisah yang demikian berat.                 “Intinya, Di, kira-kira seminggu terakhir ini, aku mulai mikirin ini secara serius. Aku pikir, kalau dibiarkan berlarut-larut, buruk pengaruhnya untuk hubungan kita," Zizi mengawali uraiannya.                  Adi mengisyaratkan agar Zizi meneruskan perkataannya.                  "Aku merasa, ada yang nggak beres. Penyulutnya itu, aku merasa seperti ada semacam pertentangan di hati aku. Kadang aku merasa bersalah dan kangen banget sama kamu, tanpa tahu pasti, apa alasan rasa bersalah itu. Tapi perasaan itu langsung terusir pergi, berganti dengan kecurigaan besar dan kebencian mendalam ke kamu. Aku mendadak merasa sakit hati, ke kamu. Lagi-lagi tanpa sebab yang bisa aku mengerti. Aku sendiri juga bingung, kok sepertinya, pikiranku seperti dijajah dan dipermainkan begini. Seperti.., seperti... eng.., kamu jangan ketawa, ya, aku merasa seperti ada yang mengendalikan, atau setidaknya mendistraksi pikiran dan perasaan aku ke kamu,” sambung Zizi, pelan.                Lantas Zizi mengambil jeda, menanti reaksi Adi. Dipikirnya, Adi akan berkomentar.                Ya, Adi memang berkomentar, tetapi sebatas satu kata tanya, “Lalu?”                Dan Zizi merasa, ada kepenatan yang amat sangat, dalam kata itu.                ‘Astaga, Sayang, aku nggak bisa bayangkan kalau aku sampai kehilangan kamu. Aku nggak bisa bayangkan kalau terjadi sesuatu dalam hubungan kita. Aku nggak rela,’ bisik hati Zizi.                Zizi mempererat genggaman tangannya pada Adi, seolah takut Adi akan meninggalkannya saat ini.                               Adi membalasnya dengan remasan lembut di jemari Zizi.                Hati Zizi menghangat karenanya. Perasaan dicintai itu sedikit meredakan kerisauannya.                “Di, pendeknya aku nggak ngerti harus ngomongin ke siapa, karena menurutku nggak masuk akal. Benar-benar susah buat dinalar. Sampai dua hari lalu, aku kebetulan berpapasan sama Bianca yang ngantor di salah satu perusahaan di lantai dasar. Kami berdua memang saling kenal karena sesekali berbagi meja di food court lantai dasar. Kan kamu tahu sendiri, food court  itu selalu penuh  di jam makan siang. Terus, Di, tahu-tahu Bianca dekatin aku dan bilang, beruntung banget aku mempunyai pacar yang baik, setia,  seperngertian, dan  sesabar kamu. Aku jelas bangga, tapi cuma nimpalin dengan ketawa kecil. Pikirku, wajar lah, dia ngomong begitu. Aku pikir juga, mungkin dia berpapasan sama kamu saat kamu jemput aku. Tapi..,” Zizi menggantung kalimatnya.                “Tapi kenapa?” tanya Adi sabar.                 Mendadak, Zizi sesenggukan, membuat Adi khawatir.                “Sssst! Hei, hei, Zi! Kenapa? Jangan begini! Lihat tuh, orang-orang pada ngelirik kemari. Disangkanya kita ini pasangan kekasih yang lagi berantem. Nggak ada bagus-bagusnya,” bujuk Adi untuk menenangkan Zizi. Diusapnya rambut Zizi dengan sayang.                Bukannya mereda, air mata Zizi kian deras menetes akibat respons Adi.                Adipun sibuk menghapus airmata Zizi dan membisiki Zizi agar tenang. Sebab, meskipun mereka sengaja memilih duduk di sudut ruangan café, toh tak serta merta menghalangi pandangan beberapa pasang mata ke arah mereka. Tentu saja dengan tatapan haus gossip dan sedikit mencondongkan badan, memanjangkan leher, agar dapat melihat lebih jelas ‘drama dua sejoli di waktu makan siang’. Satu dua orang dari mereka barangkali malah sudah mempunyai pikiran kotor, berpasangka bahwa dua orang tersebut sudah melakukan hubungan terlarang dan kini si gadis menyampaikan bahwa tamu bulannya belum kunjung datang.               “Di, kamu tuh, kenapa sih nggak pernah bilang ke aku!” protes Zizi lirih. Ia sungguh menyesalkan apa yang Adi lakukan.               “Nggak pernah bilang apa? Zi, udahan dong nangisnya. Malu dilihat orang,” bisik Adi serius.               Sejatinya, Adi juga berjuang menyabar-nyabarkan hatinya.               ‘Oh please. Come on, jangan bikin aku makin pusing, Zi. Aku sendiri lagi banyak masalah dan tetap berusaha untuk waras dan nggak meledak-ledak, ini,’ kata Adi. Tentu saja dalam hati.                Zizi menengadahkan wajahnya, menatap dalam-dalam ke bola mata Adi. Seolah ia menemukan sebuah telaga yang tenang di sana, yang senantiasa menawarkan keteduhan untuk direguknya kapan saja dia mau.                ‘Adi mencintaiku. Dia mau memahamiku. Dan perasaannya kepadaku, masih sekuat sebelumnya, saat ini. Aku bisa melihatnya dengan jelas di matanya sekarang ini,' batin Zizi lega.                Zizipun berusaha menguasai perasaan sesal yang menyesakkan dadanya.                 Kemudian, ia segera menggantinya dengan rasa percaya diri, sebagaimana yang seharusnya. Ya, untuk menemui Adi siang ini saja, dia sudah berpikir dan mempertimbangkan akibatnya lebih dari sekali, kan?              “Di, kenapa sih? Kamu kok nggak bilang, bahwa aku pernah hampir mencelakakan kamu?” tanya Zizi lagi.               Adi tergeragap, tak dapat memutuskan harus merespons seperti apa.              ‘Pernah, Zi, kamu bilang? Oh, seandainya kamu tahu, itu bukan pertama kalinya kamu hampir menelakai aku. Kamu nggak tahu saja, aku sampai sempat terpikir buat menghindari kamu dulu sementara waktu. Sayangnya, itu nggak mungkin. Aku sadar, aku tuh sayang banget sama kamu. Masuknya kamu ke hidup aku, bikin aku semangat melakukan aktivitasku sehari-hari. Jadi, mana mungkin aku punya alasan buat menjauh dari kamu? Batin Adi jujur.              “Mencelakakan? Kamu... ngomong apa, Zi?” Adi yang mulai berhasil meraba-raba permasalahan yang dibicarakan dan mendapatkan sedikit  ‘clue’, masih tetap hati-hati menanggapi Zizi. Dia tak mau membuat hari ini bertambah buruk bagi dirinya dan mereka berdua.              “Di, kalau saja Bianca nggak cerita bahwa dia melihat aku mendorong kamu pas di lobi, lebih dari sebulan lalu, aku nggak akan pernah tahu,” ucap Zizi.                Adi tercekat.               ‘Jadi, dia tahu juga akhirnya? Tanpa aku harus memberitahukan kepadanya?' pikir Adi dengan hati berdebar.                “Aku juga heran deh Di, kenapa satpam nggak nyinggung apa-apa ke aku, esok harinya, setelah kejadian itu. Padahal kan, yang berjaga masih orang yang sama. Dan aku yakin, kejadian macam itu, pasti langsung jadi omongan deh, di pos satpam. Bisa jadi, orang satu gedung juga akhirnya bakalan tahu dan memandang aku dengan tatapan aneh seolah-olah aku ini seorang pembunuh, minimal orang yang melakukan percobaan pembunuhan,” Zizi menggigit bibirnya.                                      “Hei..., kamu nggak begitu Zi. Jangan berlebihan menyalahkan diri kamu,” bisik Adi lelah, sekaligus kasihan.                 Zizi menggeleng kesal. Gadis itu marah pada dirinya sendiri. Dilanjutkannya penuturannya yang sempat disela oleh Adi.                 “Jadi, pas aku maksa ke satpam untuk diijinkan melihat rekaman cctv-nya, aku sampai nangis, gara-gara shock. Kok, bisa sih, aku begitu ke kamu? Kok bisa aku sejahat itu ke orang yang aku sayang? Kalau sepeda motor itu sempat nabrak kamu gimana? Kalau kamu luka parah gimana? Sementara kamu, kok bisa sih, enggak ngomong apapun, tentang kejadian itu?” keluh Zizi, kali ini setengah merengek. Khas Zizi-nya Adi.                Adi tertegun mendengarnya.               Zizi masih menatapnya dengan intens.               “Aku bingung, Di. Aku pikir, pasti ada yang berniat buat menghancurkan  hubungan kita," ucap Zizi.                Adi mengerutkan keningnya.                "Dan aku langsung kepikir, orang itu pasti Ryn. Siapa lagi kalau bukan dia, coba? Aku yakin berat, dia itu naksir kamu. Dan karena sekarang dia tahu kita berdua pacaran, ya jelaslah, dia mau ngacauin. Dia mau kita putus. Aku curiga, dia punya kekuatan gaib. Ya dia kan dekat  sama yang ‘begitu-begitu’ dari dulu. Jadi apa susahnya buat dia untuk mengganggu kita? Itu semudah menjentikkan jari, buat seorang Ryn,” Zizi memelankan suaranya karena ada seoang tamu yang tampaknya sengaja melintas di dekat meja mereka. Entah apa maksudnya, padahal wastafel juga letaknya agak jauh dari meja yang ditempati oleh Adi dan Zizi. Kemungkinan besar, orang tersebut sempat memergoki Zizi menangis dan tergelitik ingin tahu apa yang tengah dibicarakan oleh sepasang anak muda tersebut.                 “Kamu… mikir hal yang sama, nggak Di? Aneh aja, dia kok seperti menghilang begitu saja, semenjak menemani kita menengok Bima di Rumah Sakit Gangguan Mental dulu itu," kata Zizi lagi.                Kening Adi semakin berkerut saja mendengarnya, namun Cowok itu masih menahan diri dan tidak berkomentar meski sepatah kata saja. Ia membiarkan sang kekasih menuntaskan pemikirannya.                "Di, aku ingat sekarang, pulangnya dari tempat Bima dirawat saja dia nggak mau bareng sama kita. Pasti deh, dia sudah mempunyai rencana buruk terhadap kita. Dan ya..,  aku jadi ingat, sikapnya juga nggak wajar selama di taman waktu itu. Misterius, terus sesekali seperti ngomong sendiri.  pasti dia ngomong sama 'sekutu'nya itu, teman-temannya dari dunia lain. Ih, jahat banget dia. Aku minta maaf, ya Sayang, aku minta maaf. Waktu aku mendorong kamu, itu di luar kendaliku,” cetus Zizi penuh penyesalan, setelah terdiam barang dua detik.                'Ryn? ' batin Adi yang terheran.                Dia sukses melongo, mendengar kecurigaan Zizi yang dinilainya tidak pada tempatnya.                “Zi, Ryn itu kan temanmu. Jadi mana mungkin dia setega itu sama kamu, sama kita? Yang lebih aneh lagi, kok bisa kamu berprasangka buruk ke dia?” tanya Adi dalam bingungnya. Akhirnya terucapkan juga kalimat ini dari mulutnya. Dan sejatinya, dirinya sendiri tengah berpikir, mana mungkin teror yang dialaminya juga berhubungan dengan seorang Ryn?                  Di dalam diam, Adi berusaha menghubung-hubungkan semua peristiwa yang telah menimpanya, sejauh ini.                                                                                                                                                                   - Lucy Liestiyo -   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN