Baru beberapa langkah keluar dari ruang kerjanya, Adi berpapasan dengan Wenda di selasar antara deretan ruangan para kepala bagian, dengan kubikel bagi para staf. Anggota timnya itu tampak menenteng tas karton bertuliskan ‘Evelyn Bread and Coffee’, salah satu tenant yang membuka gerai di lantai dasar dan melayani pesan antar untuk para tenant lain di gedung berlantai 20 tempat mereka berkantor ini. Adi pikir, pasti Wenda baru saja mengambil pesanan yang diantar oleh 'Evelyn Bread and Coffee' ke resepsionis.
“Eh, kebetulan banget, Mas Adi,” ujar Wenda.
“Ada apa Wen?” tanya Adi.
Dia berpikir Wenda akan menanyakan kepada dirinya, sesuatu hal yang berkaitan dengan pekerjaan.
Namun ternyata...
“Itu lho Mas Adi, ada Mbak Zizi, nunggu mas Adi di resepsionis. Atau, Mas Adi malah sudah tahu, ya? Baru juga Wenda mau kasih tahu langsung ke Mas Adi. Soalnya Nia bilang, pesawat telepon di ruang kerja Mas Adi sibuk melulu dari tadi. Makanya dia minta tolong Wenda buat ngasih tahu,” ujar Wenda.
Wenda dan beberapa teman Adi memang cukup mengenal Zizi, lantaran di awal ‘jadian’nya dengan Adi dulu, gadis satu itu lumayan rajin mengirimi Adi makanan ke kantor, baik makan siang maupun sekadar cemilan. Kadang dikirim melalui jasa ojek daring, namun sesekali Zizi datang sendiri mengantarkannya. Hanya saja, ‘kebiasaan’ itu mulai berkurang seiring kesibukan Zizi yang meningkat dan atas permintaan Adi sendiri yang sering menghadiri rapat di luar kantor.
“Zizi?” Adi yang terheran mengerutkan kening.
“He eh Mas,” sahut Wenda sambil tersenyum penuh arti.
“Oh. Iya, iya, thanks ya Wen,” kata Adi kemudian.
‘Tumben, dia datang ke kantor. Nggak bilang-bilang dulu ke aku, lagi. Kalau akunya pas di luar kantor, gimana? kasihan juga, kan, jadi nggak ketemu. Sia-sia deh sudah menghabiskan waktu di perjalanan buat kemari,' kata Adi dalam hati.
Adi melanjutkan langkah kakinya menuju ke area resepsionis. Dari jauh saja, dia sudah melihat gadis tercinta itu duduk manis di sofa yang berseberangan dengan meja resepsionis. Hanya saja, gadis itu belum menyadari kehadirannya lantaran sedang menunduk. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh Zizi.
Nia yang melihat kemunculan Adi, segera meletakkan gagang teleponnya.
“Mas Adi, ini ada tamu buat Mas Adi. Mbak Zizi. Tadi saya mau kasih tahu tapi extension Mas Adi tapi nggak bisa dihubungi,” sambut Nia.
Mendengarnya, Zizi langsung mengangkat wajahnya. Ia menyaksikan, Cowok tersayang itu berdiri di dekat meja resepsionis.
“Oh, iya, terima kasih Nia,” sahut Adi sambil tersenyum tipis. Ia tak berniat membahas tentang mengapa pesawat telepon di ruangannya tidak dapat dihubungi padahal baik dirinya maupun Sammy sama sekali tidak menggunakannya. Menyentuh saja tidak.
‘Paling-paling naruh gagangnya nggak benar,’ pikir Adi tak begitu peduli. Dia merasa, beban pikirannya sudah lebih dari cukup akibat kerusakan laptopnya serta terancam hilangnya sejumlah data penting, mak tak perlulah menambah-nambahi dengan urusan telepon yang tidak bisa dihubungi.
Ia pun menghampiri Zizi yang tersenyum menyongsongnya.
“Zi, tumben main kemari? Yuk, sekalian makan siang sama-sama! Sudah hampir jam dua belas, kan?” Adi mengulurkan tangannya, lalu menggandeng sang kekasih keluar dari gedung kantornya, melangkah menuju deretan lift.
Zizi tersenyum lebar menyambut ajakan Adi, dan segera membarengi langkah kaki sang kekasih, memasuki lift hingga melewati lobby gedung kantor.
“Aku memang sengaja, kok, Sayang, mau ngajak makan di café Breeze yang lagi nge-hits itu. Cuma beda tiga gedung kan, dari sini? Itu dia! Kita jalan kaki saja ke sana, ya?” bisik Zizi, menyatakan keinginannya.
“Oh, boleh,” sahut Adi singkat.
“By the way, jari kamu kenapa kok dibalut begitu?” tanya Zizi kemudian.
Adi mendaratkan tatapan sesaat pada jarinya lalu berkata, “Ah. Cuma luka kecil. Kurang hati-hati.”
Zizi memperhatikan sesaat jari telunjuk Adi. Ingin memastikan bahwa perkataan Adi tentang ‘luka kecil’ benar adanya. Perhatiannya lalu beralih ke wajah Adi.
“Oh gitu. Beneran, Di?" tanya Zizi menyelidik.
"Iya, Zi," sahut Adi singkat.
Jawaban dari sang kekasih tak serta merta membuat hati Zizi terpuaskan. Terlebih, ia mendapati alangkah keruhnya air muka Adi saat ini.
"Di, ada apa? Aku perhatikan,kok kelihatannya kamu lagi nggak semangat begitu? Kurang tidur lagi? Banyak kerjaan, ya? Aku bisa bantu apa? Kebetulan aku sudah mulai bisa mengikuti ritme pekerjaanku yang baru, kok. Beneran,” tanya Zizi serius, sembari menikmati langkah-langkah mereka menuju ke café Breeze.
Pertanyaannya tidak segera berjawab.
Setibanya di cafe yang mereka tuju, sengaja gadis itu memilih meja di bagian dalam, yang terhalang oleh sebuah pilar yang lumayan besar.
Adi menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kita pesan makanan dulu, ya. Nanti aku ceritain ke kamu.”
“Janji, ya?” Zizi setengah mendesak.
Adi menganggukinya.
Perasaan Zizi sedikit adem mendengarnya. Dia mengenal Adi sebagai figur yang senantiasa memegang ucapannya.
Dan meski setelahnya Zizi melihat sang kekasih hanya makan sedikit, kali ini dia tidak memaksanya untuk memesan tambahan menu. Zizi sungguh-sungguh menanti hingga mereka berdua usai makan. Dan untuk itu, dia sampai rela meminta ijin beberapa jam dari kantornya. Karenanya, dia menarik napas lega, ketika Adi menepikan piringnya, sekaligus memberi isyarat pada pelayan yang melintas di dekat mereka, menyuruh agar piring itu segera diangkat dari meja mereka.
“Sayang, kelihatannya, kamu tuh lagi capek banget ya? Aku minta maaf, ya kalau kurang peka dan nambah-nambahin masalah kamu,” Zizi mendahului berbicara, membuat kening Adi otomatis mengernyit.
“Maksudnya gimana Zi?” tanya Adi, berusaha meraba-raba kemanakah arah pembicaraan sang Kekasih.
Zizi menghentikan gerakan tangannya mengaduk es jeruk nipis dengan sedotan.
“Di, sebetulnya aku sengaja kok datang kemari. Aku.., nggak mau masalah kita berlarut-larut,” ucap Zizi.
“Hah? Masalah? Apa?” Spontan, Adi balik bertanya karena sebagian pikirannya masih tertuju pada ‘teror’ tadi pagi serta akibat fatal yang ditimbulkannya.
Zizi menggenggam tangan Adi.
Adi menepuk-nepuk punggung tangan Zizi dengan tangannya yang bebas.
“Di.., kamu… nggak ngerasa hubungan kita jadi aneh, gitu, belakangan ini? Aku berat sih, mau ngomong tentang hal ini. Bingung, mau memulainya bagaimana dan dari mana. Aku takut kamu menganggap aku mengada-ada,” jawab Zizi lirih.
Adi tercenung.
Mengamati air muka Zizi, Adi pun semakin menebak-nebak ke mana arah pembicaraan Zizi. Firasatnya langsung mengatakan bahwa Zizi sudah merasakan ada sesuatu tak kasat mata yang mengganggu hubungan mereka. Diam-diam Adi bersyukur, dengan begitu, bukan dialah yang harus memulai bahasan asing serta kurang logis itu pada Zizi.
Pasalnya, semakin hari, Adi kian sadar bahwa dirinya terlalu sayang pada Zizi, dan itu membuatnya pantang menyinggung perasaan Zizi sedikitpun, bila menceritakan kejanggalan sikap Zizi.
Adi pun mengelus punggung tangan sang Kekasih.
“Sama sekali enggak. Ngomong aja, Zi. Mumpung aku lagi nggak buru-buru. Otak ini lagi nggak bisa mikir,” kata Adi lalu mengelus dengan lembut punggung tangan Zizi.
Senyum Zizi terulas merasakan ketenangan yang menjalar padanya.
“Janji, kamu nggak akan ngetawain aku?” tanya Zizi kemudian, seolah meminta kepastian.
“Sumpah,” Adi buru-buru mengangkat tangannya yang semula mengelus punggung tangan Zizi. Dengan cepat, ia mengacungkan jari telunjuk serta jari tengahnya. Dan demi mengusir sebersit ragu yang terbayang di wajah sang kekasih, Adi juga mengangguk pula dengan matanya.
Namun alih-alih segera bercerita, Zizi malah menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. Zizi melakukan hal itu berulang kali. Terbit rasa iba Adi menyaksikannya.
“Hei, jangan dipaksa, Zi. Kalau kamunya belum siap ngomong sekarang, nggak apa, tunggu sampai kamu merasa siap mengungkapkannya,” Adi mengecup ujung jemari Zizi.
Zizi melirik pada Adi yang duduk di sampingnya. Gadis itu menelusuri wajah Adi dengan pandangan matanya.
Seketika hati Zizi terasa trenyuh, menemukan ada beban yang menggayut di wajah kekasih tercintanya itu.
‘Sayang, kamu tuh, pasti deh, sudah tahu semuanya. Iya kan? Herannya, kok kamu nggak pernah nyinggung perihal ini ke aku? Ini pertanda apa? Kamu takut hubungan kita bakal berakhir, atau gimana? Atau jangan-jangan, ada rahasia besar, yang sedang kamu tutupi dariku? Apa, Di? Kita berdua kan sudah saling berjanji, sedapat mungkin berbagi kisah, terlebih yang menyangkut ke hubungan kita berdua supaya nggak ada salah paham kalau sempat mendengarnya lebih dulu dari orang lain’, batin Zizi gamang.
- Lucy Liestiyo -