“Ya bisa, lah Di. Namanya juga cinta nggak berbalas, apalagi dia punya something strange gitu,” sahut Zizi cepat.
Kini Adi tak dapat menahan tawa gelinya. Walau tanpa alasan yang jelas, Adi merasa seorang Ryn tidak mungkin ada hubungannya dengan rangkaian teror yang dihadapinya, termasuk yang berkaitan dengan perubahan perangai Zizi.
Zizi yang telah berhenti menangis, mencubit lengan Adi dengan gemas.
“Malah ketawa sih! Di mananya yang lucu, coba!” gerutu Zizi, lagi-lagi membuat Adi terusik, senyumpun terkembang di bibirnya.
Tangan Adi terulur. Diacak-acaknya rambut Zizi, bagai baru menemukan Zizi-nya yang sesungguhnya. Zizi-nya yang manja, seringkali polos dan penuh perhatian itu. Menatap wajah bulat telur Zizi, sekejap saja manjur membuat Adi terlupa permasalahan datanya yang hilang.
“Di! Apa sih! Kan, jadi berantakan,” keluh Zizi manja. Adipun gemas melihat paras Zizi yang tampak kian manis itu kala merengek macam itu.
Adi menjawil dagu Zizi dan berkata, “Sini, sini, aku rapiin deh! Lagian, kamu lucu deh. Pakai istilah cinta nggak berbalas. Belum tentu Ryn ada perasaan macam itu. Anyway, Ryn itu temanmu sendiri, kali! Bukannya kamu begitu excited sewaktu ketemu lagi sama dia? Nggak usah mikir macam-macam, deh. Kamu kan, miss logic, hm?” disisirnya rambut Zizi dengan jemarinya.
Bibir Zizi mengerucut.
“Ih, tambah kusut, Di! Terus kamu kok, mulai ikutan gaya Ryn? Sinis! Ngatain aku miss logic!” Zizi bersungut-sungut dan menyingkirkan tangan Adi dari kepalanya.
Adi mesem.
Digerakkannya tangannya mengelus pundak Zizi lalu menyahut, “Jangan terlalu sensitive dong! Berpikir itu memang harus pakai logika. Yuk, kamu juga harus segera balik ke kantor, kan?”
'Sama-sama bicara tentang logika. Tapi kenapa, kalau Adi yang mengucapkannya, aku merasa lebih baik?’ pikir Zizi.
“Aku sudah izin beberapa jam hari ini. Supervisorku kasih ijin, karena semua pekerjaanku sudah kubereskan. Nah, sekarang giliranmu. Kamu cerita, lagi ada masalah apa? Kelihatan suntuk banget, soalnya. Bukan yang ada hubungannya sama ceritaku tadi, kan?” sahut Zizi.
Pandangan Adi menerawang. Diam-diam, dia mengeluh dalam hati.
“Zi, belakangan ini lagi banyak kejadian buruk menimpaku. Tapi masih bisa kutangani, kok. Cuma, aku harus lebih hati-hati lagi. Itu saja,” Adi berusaha mengelak dari tatapan menyelidik Zizi.
“Contohnya?” kejar Zizi, membuat Adi menelan ludah yang terasa pahit.
Ia tak dapat mengelak lebih jauh untuk berterus terang. Karenanya, digenggamnya tangan Zizi dengan kedua telapak tangannya, menatap mata Zizi secara intens.
“Zi, seperti katamu tadi, mungkin susah dipercaya. Tapi aku mohon, kamu jangan takut, ya? Rasanya, aku sedang diganggu sesuatu yang nggak kasat mata,” prolog Adi yang seperti ini saja sudah sanggup membuat hati Zizi kebat-kebit.
‘Jadi benar? Benar, yang ... ‘seperti itu’ ada?’ pikir Zizi lelah.
“Jadi, belakangan ini aku sering mendapat mimpi buruk. Beberapa kali pernah kecelakaan, sampai aku terpaksa mengambil keputusan untuk nggak menyetir dulu sementara waktu. Di kerjaan juga masalah bermunculan. Dan menjelang tadi pagi, ada kejadian aneh di rumah. Buntutnya, laptopku sampai ketumpahan kopi. Mana ada beberapa data penting nggak ada salinannya di tempat lain, pula. Zi, kemungkinan aku sama beberapa tim-ku bakal menginap di kantor malam ini dan besok. Karena data penting itu merupakan materi buat rapat lusa. Semoga kamu ngertiin ya, minggu ini benar-benar berat buatku. Tapi bagaimanapun, aku sedikit lega, karena kamu sudah kembali jadi Zizi yang semula,” ungkap Adi akhirnya. Rasa lega perlahan menyapanya seusai pengakuannya.
Zizi tercekat mendengarnya.
“Ya ampun, Sayang! Kok kamu nggak cerita, sih! Kasihan banget kamu, Sayang! Kalau kamu menginap di kantor hari ini, besok pagi aku singgah deh, bawain sarapan buat kamu, ya? Terus, maksud kamu apa, aku sudah jadi Zizi yang dulu?” tanya Zizi sedih.
Adi memejamkan mata sesaat dan memaksakan sebuah senyum, “Nggak apa-apa. Kamu harus hati-hati selalu, ya.”
“Di…, bilang!” rengek Zizi. Digoyangkannya telapak tangan Adi yang lebih besar dari tangannya itu.
Adi mengeluh. Hatinya terasa berat. Namun hatinya membisikinya agar tak membiarkan ada secuilpun hal yang mengganjal di hati Zizi lagi.
“Zi…, jangan marah, ya! Sebenarnya, sebelum kamu datang tadi, aku benar-benar suntuk luar biasa. Aku nggak nyangka, justru karena pembicaraan sama kamu, bebanku rasanya terangkat. Makanya, ada beberapa hal yang mau aku sampaikan ke kamu,” ucap Adi.
“Apa?” tagih Zizi.
“Oke. Pertama, aku lega karena kamu akhirnya tahu, ada sesuatu yang memang mengganggu kamu. Tepatnya, mengganggu hubungan kita. Sebetulnya, itu sudah sering terjadi, Zi. Saat bareng kamu, aku sering ngerasa kadang-kadang kamu, tapi seringnya bukan. Kamu…. Sering kasar. Perkataan kamu, kelakuan kamu. Kamu tuh bisa, lho, ngamuk di café hanya karena aku telat sampai di cafe, lima menit doang. Terus bilang, aku sengaja begitu, karena ketemu Ryn dulu. Dan soal kamu nyaris celakain aku, itu… kerap terjadi. Awalnya, aku bingung dan bertanya-tanya kenapa. Anehnya, selang berapa menit setelah kejadian, kamu sama sekali lupa dan bahkan bingung kenapa aku bisa jatuh atau celaka,” terang Adi.
Zizi terperanjat mendengar keterangan Adi. Matanya sampai terbelalak.
“Di? Serius? Ya ampun, tapi kenapa selama ini kamu diam saja? Kalau kamu kenapa-napa, terus gimana dong? Mulai sekarang kamu musti bilang ya, kalau aku bahayain kamu. Sebenarnya ada apa sih, Di? Ini… bukan perbuatan Ryn?” tanya Zizi lirih.
Dalam keheranan karena dugaan Ryn yang dianggapnya tak masuk akal, Adi menggeleng lantas balik bertanya, “Mau dilanjutin?”
Zizi buru-buru mengangguk.
“Yang kedua, aku mendapat firasat ada sesuatu yang mau hancurin aku. Dan sebelum kinerja kerja-ku merosot terus, aku sudah bertekad, mengurus permasalahan ini. Aku mau membereskan beberapa hal yang mendesak, lalu klaim semua sisa cuti-ku. Aku harus selesaikan ini, Zi, secepatnya,” tutur Adi.
“Caranya?” tanya Zizi, harap-harap cemas.
Adi mengembuskan napas panjang, seakan ingin melepas semua beban berat yang menindihnya. Lantas dia berkata, “Karena yang aku hadapi adalah sesuatu yang gaib, rasanya aku butuh bantuan seseorang seperti Ryn, untuk menyingkap semua ini. Kamu… nggak keberatan, kalau akhir pekan ini kita cari cara untuk ketemu Ryn?”
“Ryn?” ulang Zizi, tak memercayai pendengarannya.
“Atau yang lain, yang kamu tahu. Pikiranku lagi benar-benar buntu, nggak bisa mikirin ini. Oh, sori, kamu nggak percaya soal begini, kan?” sahut Adi nyaris berbisik.
Zizi menepis rasa ketersinggungannya mendengarnya. Hati kecilnya mengatakan, Adi tengah terancam. Dan dia sungguh tak rela sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya ini.
“Tuh, kan, mulai deh! Ya oke, dulu aku memang nggak terlalu percaya soal seperti itu. Tapi karena terjadi sendiri sama kita, nggak ada pilihan lain, kan? Dan jelas, aku cuma kenal Ryn, untuk urusan macam itu! Aku bakal usahakan temui dia. Bagaimanapun caranya! Kamu fokus sama kerjaan kamu dulu ya, Sayang. Nanti aku yang kabari kamu,” kata Zizi akhirnya.
Adi manggut kecil.
“Eh, Di, tapi sungguhan, kamu sama sekali nggak ketemu dan nggak berhubungan sama Ryn, sejak pulang dari menengok Bima rumah sakit jiwa Cempaka waktu itu?” tanya Zizi kemudian.
Adi tidak bersuara. Mata kelamnya bak ingin menembus bola mata Zizi. Zizi menantang tatap mata itu, mengorek kebenaran di sana. Mendadak, hati Zizi tersentuh, menangkap bias lelah bercampur keengganan di wajah kekasihnya. Meski nyaris tak terdengar, dengus kesal Adi yang tampak benar ditahan itu, sampai juga ke telinganya.
“Sori, tadi aku cuma kepengen pastiin. Wajar, kan?” ucap Zizi penuh penyesalan, dielusnya pipi Adi.
Adi memejamkan mata barang dua detik, menyentuh tangan Zizi. Tersirat jelas betapa dia malas menghabiskan waktu dan energinya untuk meributkan sesuatu yang sangat tidak perlu. Sementara di kantor, begitu banyak perkara yang harus dibereskannya satu persatu. Waktunya juga terbatas.
“Kamu tanya hati kamu saja. Menurut kamu, gimana? Nah, aku harus balik kantor sekarang. Kamu mau order taksi online sekarang, atau gimana?” tanya Adi datar.
“Aku order sekarang. Di, Sayang, biarpun kamu nanti menginap di kantor, jangan telat makannya, ya. Terus tetap harus istirahat. Minum supplemen, ya! Jangan sampai sakit. Kamu konsentrasi sama urusan kantor dulu, deh. Aku janji, nggak akan nambahin beban pikiran kamu. Soal Ryn, akan kukabari secepatnya. Aku pasti cari cara supaya bisa ketemu dia,” kata Zizi sungguh-sungguh, lantas jemarinya lincah meraih telepon genggamnya, menekan aplikasi taksi online di ponselnya.
Adi terhibur hingga ke dasar hatinya. Dirasakannya tak sekadar ketulusan dalam kalimat Zizi, namun juga rasa cinta yang amat besar. Rasa yang amat diperlukannya saat ini.
“Thankyou, Zizi sayang,” dengan segenap hati dikecupnya punggung tangan Zizi. Minimal, sekarang dia tahu, hubungan mereka tak serapuh yang ditakutinya selama ini. Hatinya berbisik, dia membutuhkan Zizi, jauh melebihi saat-saat sebelumnya. Dalam keadaannya yang sekarang ini, dukungan dan pengertian Zizi terasa lebih berarti ketimbang sebelumnya.
“Zizi Sayang? Tumben, biasanya paling pelit bilang sayang,” olok Zizi dengan wajah berseri. Dibalasnya dengan mesra tatapan Adi. Didapatinya sesuatu yang lain di mata itu. Tatapan penuh cinta. Tatapan mendamba. Mengharap kehadirannya. Hati Zizipun berbunga, nyaris diabaikannya dering telepon genggamnya. Dadanya berdesir. Sukacitanya membuncah.
Zizi berpikir, cinta Adi pada dirinya tidaklah sebesar cintanya kepada Adi. Malah, pernah terlintas di benaknya, dulu mereka jadian gara-gara Adi sulit menghindar karena terus-terusan didekati olehnya. Sering dikirimi makanan, minta ditemani ke pameran buku, sengaja membaca buku yang disenangi Adi, menonton film kesukaannya, berusaha tahu semua soal Adi, supaya pembicaraan mereka bisa nyambung. Pernah pula Zizi berpikir, Adi hanya membiasakan diri dengan keberadaannya di sisi Adi, makanya, wajar kalau Adi menghargainya, lantaran telah membuat Adi nyaman. Pikirnya pula, tidak sedikit toh, dari para Cowok di luar sana, yang rela memacari seoang Cewek bukan berdasarkan cinta, namun karena mendapatkan rasa nyaman kala berada di sisi cewek itu? Nah, Zizi pikir, Adi salah satunya.
‘Ternyata, aku keliru. Barusan tadi, duh, cara Adi menatapku, sungguh membuat perasaan tersanjungku mencapai level tertinggi. Terlebih, penuturan Adi bahwa aku sudah berulang kali membahayakan Adi, namun dia memilih bertahan dengan hubungan kami, dan malah berusaha menjaga perasaanku. Nyata benar, itu bukan sabar dan baik semata, melainkan cinta!’ kata Zizi dalam hati.
Menyadari demikian besar Adi mencintainya, Zizi menyesal, sempat menuduh Adi dan Ryn saling ketemuan di belakangnya. Penyesalan yang menyadarkannya untuk bersyukur, mempunyai kekasih sebaik Adi. Zizi yakin, bila bukan Adi, tetapi Cowok lain yang menjadi pacarnya, tentulah dia sudah ditinggal kemarin-kemarin itu, minimal, ada pertengkaran super hebat di antara mereka berdua.
“Terima dulu tuh, teleponnya. Supirnya sudah dekat sini, mungkin,” ucapan Adi mengusik Zizi.
“Oh, iya. Ini, ada sms masuk. Sudah di parkiran café, katanya,” jawab Zizi sedikit tersipu.
“Ayo, aku antarkan kamu keluar, Zi,” kata Adi pula. Dilambaikannya tangannya pada seorang pelayan, meminta bon pembelian dan membayarnya.
- Lucy Liestiyo -