Tante Sheila menyandarkan punggungnya ke dinding sebagai jawabannya. Bak pejuang yang baru kalah dalam peperangan hebat yang menyebabkan dirinya terluka parah. Tak tercegah, tetes bening kembali bergulir di kedua pipinya.
“Maafkan saya, Tante. Saya malah membuat Tante makin bersedih dengan pertanyaan-pertanyaan saya,” sesal Adi. Iba hati Adi melihat keadaan ibu dari sahabat lamanya ini. Gerakan spontannya adalah membimbing Tante Sheila ke sebuah sofa dekat ruang tunggu.
“Terima kasih, Nak Adi. Tidak, tidak, Tante bersedih bukan karena pertanyaan darimu,” ucap Tante Sheila sungguh-sungguh. Terkesan betapa dia amat berusaha menguasai diri. Wanita itu mengiggit bibirnya sendiri, dan menyusut air matanya.
“Sama-sama, Tante. Tante mau saya ambilkan makanan atau minuman di mobil? Saya bawa kok, karena mempertimbangkan perjalanan kemari cukup jauh,” tanya Adi menawarkan.
Tante Sheila mengibaskan tangannya.
“Oh, nggak usah, Nak Adi. Terima kasih banyak. Tante sambung cerita yang tadi, ya,” tolak tante Sheila.
“Silakan, Tante,” merasa tak punya pilihan lain, Adi menganggukinya.
“Lantaran kami curiga, sebab keadaan mental Bima terguncang berdekatan dengan waktu hubungan percintaannya dengan Dita berakhir, kami berusaha menelusuri berbagai kemungkinan penyulut kesehatan mentalnya. Soalnya, kami hanya tahu, belakangan mereka berdua memang sering bertengkar hebat. Makanya, kami khawatir, jangan-jangan Bima pernah menyakiti Dita, sehingga Dita dendam. Ya…, mungkin saja kan, Dita menyuruh orang pintar untuk mengerjai Bima?” tutur Tante Sheila. Terlihat nyata, betapa ada rasa malu ketika menyampaikan kalimatnya yang terakhir.
Untungnya, Adi tersenyum maklum menanggapinya.
Betapa itu melegakan hati Tante Sheila.
“Lalu, Tante?” kali ini, rasa penasaran mendorong Adi melontarkan kata satu ini.
“Dengan rendah hati, Tante menemui Dita tanpa setahu Bima. Tante bicara dari hati ke hati dan sebagai sesama perempuan, tentu saja Tante merasakan kejujuran Dita. Dita bilang, mereka memang sudah nggak cocok. Hati-hati, Dita sedikit menyebut, halusinasi Bima, amat mengganggu hubungan mereka. Dita malah minta maaf ke Tante ketika terpaksa berterus terang bahwa sebenarnya dia sudah sangat tidak nyaman dan sering ketakutan sendiri saat bersama Bima,” tutur Tante Sheila.
Adi mulai berusaha merangkai-rangkai informasi yang didengarnya ini.
“Jadi, sebelum dia putus hubungan dengan kekasihnya itu, Bima sudah berhalusinasi?” gumam Adi, yang tak disangka ternyata terdengar juga oleh Tante Sheila.
Wanita itu menganggukinya.
“Kira-kira seperti itu. Perubahan perangai Bima yang jadi berubah-ubah secara cepat, cerita-ceritanya yang membingungkan Dita, ditambah ketaksetujuan orang tuanya atas hubungannya Bima, menjadi beban berat buat Dita. Katanya, mereka berdua sudah nggak bisa mempertahankan hubungan itu. Akhirnya, Tante hanya minta maaf, kalau mungkin Bima pernah menyakitinya. Dia menegaskan tidak ada masalah. Lagi pula, pada akhirnya nanti, Dita harus mempertimbangkan desakan orang tuanya yang menjodohkannya dengan seseorang. Tante bisa bilang apa, Nak Adi? Jelas kan, masalahnya bukan di Dita?” urai Tante Sheila.
Adi manggut-manggut dan memberikan isyarat pada ibu dari sahabatnya ini untuk meneruskan ceritanya.
“Sampai sekarang, Tante masih bertanya-tanya, sosok Cewek mana yang dimaksud Bima? Apa yang pernah diperbuat Bima padanya, sampai dia menghantui Bima? Oh, maaf, Nak Adi, Tante terdengar emosional dan kurang logis, ya?” tanya Tante Sheila.
“Enggak, kok, Tante,” sahut Adi cepat, disertai sebuah gelengan kepala tegas, demi menunjukkan kesungguhannya.
“Bulan ini, keadaan Bima makin parah saja. Bisa dibilang, komunikasinya lebih banyak ‘ngaco’nya ketimbang nyambungnya Apalagi, di saat dia masih terpuruk akibat kandasnya hubungan percintaannya sama Dita, dia juga mendapat kabar bahwa Nak Reifan meninggal. Itu menambah beban mental baginya,” tambah Tante Sheila.
Adi tersentak mendengarnya, jantungnya berdetak kencang. Perasaannya langsung tidak karuan. Campur aduk. Kaget, tidak percaya, sedih, juga menyesal dan merasa bersalah.
“Re.. Reifan? Reifan teman kami, maksud Tante? Reifan yang saya kenal juga? Benar, Tante?” tanya Adi bagai tak percaya. Hati kecilnya sempat berharap, Reifan yang dimaksud sama sekali bukan merupakan Reifan yang dikenalnya.
Tak disangka, pertanyaannya justru langsung berbalas tatapan bingung dari Tante Sheila. Seolah-olah, wanita itu mendapatkan pengalihan sesaat dari fokusnya akan perkembangan kondisi kesehatan putranya.
“Lho, Nak Adi nggak tahu nak Reifan meninggal? Apa nggak ada kenalan atau orang tuanya yang berusaha mengabari ke Nak Adi? Memangnya, Nak Adi sama sekali putus komunikasi dengan mereka?” tanya Tante Sheila.
Meski dia merasa malu, Adi menggeleng. Dia masih berusaha berharap, dirinya salah dengar. Malangnya, harapannya pupus bersamaan terdengarnya kembali suara tante Sheila.
“Atau mungkin…. Mereka kelewat shock? Kepergian Reifan memang terbilang tragis dan mendadak. Dia sama tunangannya mengalami kecelakaan tunggal. Meninggal di tempat. Mobil yang mereka tumpangi masuk jurang setelah menabrak jembatan. Bima minta tolong ditemani kakaknya saat melawat. Tadinya, kami nggak mengijinkannya mengingat kondisinya yang tengah labil. Tapi Bima mengamuk hebat, lantas menangis memohon. Seperti itu lah, sikapnya kerap berubah-ubah secara cepat. Kakaknya Bima bilang, di sana, wajah Bima pucat pasi dan dia bergumam, jangan-jangan setelah ini gilirannya. Teman-teman Nak Reifan memang berkata, Nak Reifan dan tunangannya tengah terlibat pertengkaran hebat sebelum kecelakaan terjadi,” tutur Tante Sheila.
“Reifan? Reifan… meninggal? Setragis itu?” menutupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Dibenamkannya wajahnya di sana. Kesedihan yang besar merundungnya seketika. Segumpal sesal menyenak di d**a Adi, sebab hubungan mereka belum membaik hingga ajal menjemput Reifan. Mata Adi langsung terasa panas. Sedih benar rasanya. Rasanya dia seperti tokoh jahat saja saat ini.
“Maaf Nak Adi, Tante nggak nyangka, kabar duka cita itu nggak sampai ke Nak Adi,” kata Tante Sheila lirih dan menyentuh punggung Adi.
Adi tak menjawab sepatah katapun. Nyaris Adi tak mampu menahan tangisnya. Tangis pilu bercampur penyesalan, karena dialah yang memutus komunikasi dan tak pernah berusaha menyambungnya sampai sang sahabat pergi untuk selamanya dari dunia fana ini.
“Nak Adi…. Apa… jangan-jangan, Nak Adi juga nggak tahu, kurang lebih sebulan sebelum kepergian Nak Reifan, Nak Robby juga meninggal?” tanya Tante Sheila kemudian, seolah baru teringat sesuatu.
Adi tersentak lagi, dipalingkannya wajahnya pada Tante Sheila dan tak sadar pertanyaannya sudah menyerupai bentakan kala mengucapkan, “Hah? Robby?”
Tante Sheila terbungkam.
“Tante? Robby? Robby teman kami meninggal?” tanya Adi dengan duka mendalam.
“Betul, Nak Robby teman kalian. Dia meninggal, tepat di saat resepsi pernikahannya berlangsung. Entah berasal dari mana, api membakar bagian belakang pelaminan. Anehnya, semua tamu undangan terselamatkan. Mereka hanya mengalami perawatan karena sedikit luka bakar serta gangguan pernapasan. Tapi, Nak Robby dan istrinya tidak terselamatkan, enam jam setelah para medis berjuang. Seperti… seperti… mereka berdua memang diincar,” kata Tante Sheila lirih.
Kali ini Adi sungguh terguncang. Seakan tanah tempat kakinya berpijak bergoyang secara konstan. Mendadak, dirasanya betapa pening kepalanya. Keringat dingin membasahi wajahnya begitu saja. Dilapnya dengan sapu tangan yang ia ambil dari saku celananya. Perasaan mencekam menyergapnya tanpa ampun. Kengerian mengintimidasinya, bersama timbulnya pemikiran, apa yang dialami ketiga kawannya bukanlah peristiwa biasa.
Ada yang terbersit dalam pemikiran Adi.
‘Apa artinya peristiwa yang beruntun ini? Semuanya bagaikan sebuah rangkaian, yang seakan sesuai urutan prioritas,’ bisik Adi dalam hati.
Kepalanya menggeleng kuat, mewakili penyangkalan serta perlawananya atas sesuatu hal yang amat samar lagi misterius.
*^ Lucy Liestiyo ^*