CHAPTER DUA PULUH SATU : Gadis Itu..

1520 Kata
               “Ya ampun! Ini kenapa lagi, coba? Ngeselin banget! Orang niatnya mau ngebut kerja, malah diganggu begini! Keterlaluan! Kalaupun telepon PLN sekarang, paling cepat juga  besok pagi baru di-cek! Huh!” dumal Adi.                Berpikir seperti itu, Adipun memutuskan segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Dia menyempatkan mengecek dua kali dengan cara menggerakkan handel-nya, demi memastikan daun pintu itu sungguh-sungguh telah terkunci secara sempurna.                  Usai dengan itu, segera dilangkahkannya kaki, kembali menuju ke ruang makan dan memeriksa apakah batere laptopnya dalam keadaan full, hal yang luput ia lakukan tadi. Kali ini, dengan cahaya senter di tangannya, dia tak lagi tersandung-sandung.                Setibanya di ruang makan, Adi langsung mengamati layar laptop.                Alangkah terkejutnya Adi mendapati layar laptop berdasar putih bersih, menjadikannya amat kontras dengan tulisan huruf besar “JAHAT!” berwarna merah pekat, menyerupai darah kental yang tengah menetes.               Adi menggelengkan kepala dengan gemas. Baginya, apa yang dilihatnya itu sungguh tidak lucu. Siapapun pelakunya, dianggapnya kurang ajar.              “Siapa juga yang keisengan, ganti gambar wallpaper gue? Seingat gue, nggak ada satu orang pun yang berani menyentuh, apalagi ngutak-atik laptop gue di kantor!” bentak Adi dalam gusar, seakan ada orang di sekitarnya yang dapat dijadikan sasaran omelannya sekarang ini.              Adi hendak menekan sembarang tombol pada keyboard laptopnya, bermaksud mematikan laptopnya. Namun belum juga jarinya sempat menyentuh area keyboard, yang terjadi kemudian, malahan membuat bulu kuduknya meremang.               Seraut wajah melankolis seorang wanita tampil di layar laptop. Tampak demikian murung, terluka, namun tatap matanya begitu garang. Dalam penglihatan adi, tatapan itu tak ubahnya binatang buas yang berniat menerkam mangsanya, mencabik-cabiknya hingga menjadi serpihan kecil, baru memangsanya.                Refleks, Adi memijit pelipisnya.               ‘Apa ini? Virus jenis baru? Mana mungkin sih!’ pikir Adi dalam keluh tak terucap.                Berbagai perasaan berkecamuk di benak Adi, berebut pengaruh. Antara gentar, bingung, gundah, curiga, kesal, cemas, dan masih banyak lagi perasaan yang bahkan sulit diterjemahkan oleh Adi. Namun begitu, dia tetap memilih mempertahankan sikap tenangnya. Walau itu sulit, sungguh sulit.                Kini raut wajah pada tampilan layar laptop di depannya terlihat kian hidup saja. Adi berjuang melawan, agar nyalinya tidak semakin ciut. Adi mengamati raut wajah tersebut dengan saksama.                Tanpa dikehendakinya, Adi merasakan lututnya melemas, nyaris seperti yang pernah dirasakannya seusai menengok Bima dulu. Tak sengaja Adi membandingkan sorot nyalang itu dengan sorot mata Zizi, di saat-saat gadis tersayangnya itu nyaris mencelakakan dirinya. Adi memperhatikan, dari kelopak mata wanita itu kini mengalir air mata darah. Pekat, dan membasahi pipi gadis itu. Tentu saja ini membuat Adi bergidik ngeri. Adi berusaha keras mengingat-ingat, wajah siapakah yang terlihat ini. Semakin keras Adi berusaha mengingat, pemilik wajah itu seakan mendesaknya. Tidak sabar, seperti debt collector menagih hutang yang telah jatuh tempo sekian bulan lamanya.                Bak tampilan 4 dimensi, gambar itu seolah mencuat keluar dari layar, menantang Adi. Mata yang menatap nyalang itu seolah hanya berjarak tak sampai lima senti dari mata Adi, menggantung tanpa tubuh, bahkan tanpa leher yang menyangga. Saking dekatnya jarak di antara mereka, bahkan Adi dapat merasakan embusan napas gadis itu. Jantung Adi berdetak cepat karenanya.                Seolah telah cukup puas memberikan ‘peringatan kecil’ pada Adi, wajah itu kembali menjauh dari wajah Adi, kembali masuk ke dalam layar laptop. Prosesnya terbilang amat cepat dan unik, seperti benda yang tersedot oleh alat penghisap debu saja. Beberapa saat kemudian, layar laptop Adi menggelap. Tak lama setelahnya, dalam hitungan detik saja, muncul lagi raut wajah semula, kali ini dibarengi dengan bentakan keras dan emosional di tellinga Adi, “BIADAB!”                Di saat ini, Adi merasa ada pukulan keras di kepalanya. Begitu cepat, dan begitu sulit untuk dinalar menggunakan akal sehat yang dimilikinya. Bayangkan saja, yang dihadapi Adi bukankah 'hanya' seraut wajah seram, tetapi mengapa dia juga nyata-nyata merasakan diserang oleh pukulan yang lumayan kencang? Sudah begitu, kata 'biadab' tadi juga terngiang-ngiang terus di telinga Adi.                Saking kaget, Adi mundur ke belakang tiga langkah dengan sisa-sisa tenaga serta kesadaran yang dimilikinya. Kontan, tubuhnyapun membentur sesuatu yang keras. Dinding. Ya, dinding bagian dalam rumahnya.                Dan mendapati Adi dalam posisi tersudut, volume suara itu bukannya surut, melainkan bertambah tinggi dari waktu ke waktu. Tampaknya, Sang empunya suara sungguh-sungguh memanfaatkan momen yang dinilainya berpihak kepada dirinya, enggan menyia-nyiakannya.                Hanya dua kata yang diperdengarkan ke telinga Adi, ‘Jahat’ dan ‘Biadab’ secara terus menerus dan tanpa jeda. Nadanya jelas menuduh, mempersalahkan Adi.                  Rasa takut kian mengintimidasi Adi, membuat badannya bergetar hebat. Bibirnya lantas melantunkan sejumlah doa yang diingatnya, demi mengundang ketenteraman. Sayang, rasa khawatir dan takutnya lebih menguasai, sehingga membuat untaian doa itu buyar.                Diam-diam Adi menyesal, sebab dirinya termasuk orang yang kurang tekun beribadah selama ini. Mengejar materi sebanyak mungkin dan memberi porsi yang kecil dari waktunya untuk mendekatkan diri pada Penciptanya, itulah yang selama ini dilakukannya. Terdorong obsesi untuk 'mempensiunkan' sang ibu dari kewajiban mencari penghasilan serta memberikan penghidupan yang layak bagi ibu serta adiknya, di otak Adi melulu berisi dua kata : Cari duit!                “Pergi! Pergi sana! Jangan ganggu aku!” teriak Adi keras dan berulang-ulang, sembari menutup kedua telinganya. Adi tidak sadar, teriakannya itu merobek keheningan pagi yang menjelang. Adi merasa dirinya terseret ke sebuah dunia lain. Ia tak berdaya melawan aura mistis yang terasa membelitnya demikian kuat, membawanya larut begitu dalam ke sebuah kesenyapan dan perasaan terasing yang demikian menyiksa.                Suara ketukan keras di pintu depan, dibarengi panggilan berulang di luarlah, yang mengembalikan kesadaran Adi ke alam nyata. Dia juga merasakan, lambat laun kekuatan tubuhnya kembali pulih.                “Pak Adi! Pak Adi! Apa yang terjadi, Pak? Bapak di dalam, kan?” seru dua buah suara bersamaan. Ada kepanikan terbersit dalam nada suara dua orang yang memanggilnya. Adi mengenal suara itu. Tak lain, adalah suara Pak Opri dan Mang Anji, anggota keamanan yang menjaga kompleks perumahan tempat tinggalnya.                “Crazy! Apa sih!” gerutu Adi tak tertahankan, tertuju pada pengganggunya. Merasa baru dipermainkan, dia menggoyangkan kepala sekeras mungkin, mengusir aura mencekam yang masih tersisa. Setengah berlari, Adi membuka pintu rumahnya, tak peduli dia nyaris jatuh terjungkal karena melanggar sofa di ruang tamu lantaran keadaan yang masih gelap. Ketergesaannya memang membuatnya terlupa menyambar senter.                “Selamat pagi. Pak Adi baik-baik saja? Tadi, kami dengar teriakan Pak Adi,” sapa Pak Opri begitu melihat kemunculan Adi. Kewaspadaan terpancar di wajah Pak Opri. Pandangan matanya menyelidik.                “Pagi Pak Opri, Mang Anji. Saya baik-baik saja. Tadi itu ada tikus got masuk rumah dan nabrak kaki saya. Nyaris keinjak, jadi saya kaget,” jawab Adi untuk mengenyahkan rasa penasaran kedua orang di depannya yang tampaknya baru selesai berkeliling kompleks. Seingat Adi, para petugas keamanan yang terdiri dari tiga orang untuk berjaga malam dan satu orang untuk bersiaga di siang hari, terbiasa melakukannya bergantian, minimal dua setengah jam sekali.                “Benar begitu, Pak Adi? Ini kenapa, kok, lampunya dimatikan semua? Ada masalah, Pak?” tanya Mang Anji lagi, penuh selidik. Dia terlihat bertukar pandang dengan Pak Opri. Pak Opri tampak mengangguk. Anggukan yang mirip sebuah persetujuan. Adi yang melihatnya, sedikit mengerutkan kening.                “Nggak tahu itu, Mang Anji. Tadi itu, saya lagi nyicil kerjaan kantor, mendadak listriknya padam. Makanya saya ngecek keluar,” sahut Adi, mencoba menunjukkan sikap sewajarnya. Tetapi Mang Anji tidak langsung percaya.                “Maaf Pak Adi, boleh tidak, kalau saya cek ke dalam rumah? Buat memastikan keadaan pak Adi baik-baik saja. Biar Pak Opri yang membantu mengecek saklar listriknya. Beliau, kan, tahu sedikit mengenai listrik,” pinta Mang Anji sopan.                Sungguh sebuah permintaan yang wajar dan beralasan. Bisa jadi, naluri Mang Anji ang telah lama menjalani profesi sebagai petugas keamanan bicara padanya saat ini, terkadang seorang korban dipaksa memberi kesan pada sekitarnya bahwa dia baik-baik saja, sementara penjahatnya bisa saja tengah enak-enak bersembunyi di tempat yang sama dan bebas melanjutkan aksinya, begitu petugas keamanan berlalu dari tempat kejadian perkara. Karenanya, Mang Anji merasa perlu untuk melakukan tindakan antisipasi.                                                                                                                                                                 *^ Lucy Liestiyo ^*  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN