“Pesanannya sudah semua ya Mas, Mbak. Kalau masih ada tambahan order, silakan menghubungi saya, Erliani,” ucap sang pelayan seusai meletakkan satu demi satu pesanan makanan ke atas meja dan menunjuk pada name tag yang tersemat di d**a kanannya. Pelayan tersebut menampilkan gestur yang sopan, sedikit membungkuk hormat.
Adi mengangguki sang pelayan tanpa mengucap sepatah kata pun.
“Iya, Mbak Erliani, terima kasih,” ucap Zizi Amelia Rizky ramah, seolah mewakili sang kekasih. Dia sengaja menyebutkan nama sang pelayan pula. Menurut buku yang dibacanya maupun berdasarkan perkataan Adi, kata yang paling indah bagi telinga seseorang itu adalah saat namanya disebut. Oleh sebab itu Zizi merasa perlu menyebutkan nama sang pelayan.
Benar, kan? Tuh, buktinya si pelayan tersenyum ramah dan mengucapkan, “Terima kasih kembali Mbak, Mas. Selamat menikmati hidangannya.”
Setelah pelayan bernama Erliani itu berlalu dari hadapan mereka, Zizi mengerling pada Adi yang duduk di sebelahnya. Sejujurnya, dia agak bingung, mengapa barusan Adi hanya mengangguk. Yang dia tahu, Adi biasanya bersikap santun dan baik dalam memperlakukan orang lain. Sementara yang dilirik, kurang menyadari ‘kealpaan’ yang baru saja ia lakukan.
‘Gimana sih, dia yang selalu ngajarin aku supaya menghargai orang, eh dia sendiri yang juga menunjukkan sikap cuek. Nggak sinkron. Bukan Adi banget, nih,’ kata Zizi dalam hati. Ia menahan diri untuk bertanya dan menikmati suguhan makanan di atas meja. Tetapi begitu melihat Adi seperti kurang berselera, perasaan Zizi kian terusik.
“Di, kenapa sih, kok minumannya cuma diaduk-aduk begitu? Dari tadi kuperhatiin, kamu tuh, seperti lagi mikir gitu deh, Seakan-akan, badan kamu di sini, tapi pikirannya ke mana-mana,” tanya Zizi lirih, nyaris menyerupai sebuah bisikan.
Adi belum merespons pertanyaan Zizi, membuat Zizi merasa gelisah dan makin penasaran saja.
“Hei...! ada apa sebenarnya Di? Kamu lagi ada masalah, ya? Urusan kerjaan yang bertumpuk dan nyaris dead lock lagi, sama departemen lainnya? Atau, adikmu merengek, minta dikirimi uang lebih tapi ogah bilang terus terang buat keperluan apa dan bikin kamu ragu karena takut dia gunakan untuk hal-hal yang sebetulnya nggak perlu? Ayo dong, Di, cerita ke aku. Siapa tahu aku bisa kasih pandangan. Atau setidaknya, kalaupun aku belum bisa kasih pandangan sekarang, dengan cerita kan kamu bisa sedikit berbagi, gitu,” pantang diabaikan lebih lama lagi, Zizi menyentuh lembut lengan Adi, mengelusnya dengan lembut, seraya menatap wajah keruh kekasihnya dengan penuh perhatian selagi mengucapkan sederet kalimat tanyanya.
Adi memalingkan wajahnya ke samping, menatap wajah Zizi sesaat, lantas menjawab melalui gelengan kepala singkat. Kemudian, Adi menyeruput minuman di depannya. Nyata benar betapa Adi berupaya tersenyum sewajar mungkin. Sayangnya, upayanya itu tak lantas mengusir tuntas rasa ingin tahu Zizi. Mata Zizi tetap menatap padanya dengan penuh selidik, mirip seorang pakar mikro ekspresi yang tengah membaca perasaan saja.
Adi mendekatkan menu utama pilihannya ke arah Zizi, menatap Zizi seolah bertanya, “Kamu mau cobain nggak?”
Tetapi gadis itu seolah membalasnya.
Jangankan menjawab dengan kata-kata, memperlihatkan minat pada menu yang disodorkan Adi saja, tidak Zizi lakukan.
Adi pun segera berganti siasat.
“Gimana kerjaanmu hari ini, Zi? Kamu baru pindah bagian, kan? Senang dong, sudah diangkat jadi pegawai tetap sekarang, nggak disebut ‘anak magang’ lagi? Nah, ada cerita asyik apa?” Adi balik bertanya, sekaligus berniat membelokkan pembicaraan sebelumnya. Tidak, dia belum siap membagi hal ini pada Zizi. Dia takut reaksi Zizi bakal negatif dan merusak hubungan mereka.
Zizi tersenyum mendengar pertanyaan Adi. Diam-diam dia memuji perhatian sang kekasih yang tak lupa bahwa hari ini adalah hari pertamanya menjalani ‘status baru’ sebagai pegawai tetap di kantornya.
Gadis berambut sebahu itu lalu berseru riang, “Kerjaan sih, nggak terlalu berbeda sama sebelumnya, Di. Eh, tapi aku jadi ingat nih, ada yang mau kuceritain ke kamu. Kamu pasti nggak nyangka, aku ketemu Ryn hari ini, di salah satu café di lantai dasar.”
“Ryn siapa?” tanya Adi.
“Ryn Rosalind Meliani, Di. Teman kuliah, dong,” sahut Zizi dengan mata berbinar, berharap Adi akan memberikan komentar ‘bermutu’. Pikirnya, kata ‘kuliah’ kan berhubungan erat dengan dirinya dan Adi. Saat dirinya kuliah pula, dia bertemu dan mulai mengenal Adi, sekaligus mengaguminya.
“Ooo... teman kuliah. Terus?” tanya Adi ringan.
Meski sedikit kecewa dengan reaksi Adi yang biasa saja, Zizi melanjutkan kisahnya.
“He eh, teman kuliah. Nah, namanya ketemu teman lama yang sudah lama berpisah, jadi lah, kami berdua ngobrol dan makan siang sama-sama. Seru deh, cerita ini itu tadi. Dan yang lebih mengejutkan, ternyata dia itu kerja di satu gedung yang sama dengan kantorku. Beda perusahaan saja. Ingat kan, Ryn yang dulu satu kelas sama aku, Di? Yang kulitnya putih bersih itu, loh. Yang matanya bundar seperti boneka, terus rambutnya hitam, tebal dan panjang, persis gambaran tokoh kartun Jepang, deh. Ingat, kan?”
Adi diam sejenak, mencerna cerita dan uraian dari sang kekasih. Wajah Adi demikian serius di mata Zizi. Jelaslah, dia sedang mencoba mengingat-ingat gambaran siapakah, yang diuraikan Zizi secara detail barusan.
Zizi pun menanti dengan sabar, dikiranya Adi bakal ingat. Sayangnya, kekasihnya itu kemudian menggeleng pelan.
“Masa sih nggak ingat, Di? Nih, nih, aku kasih tahu lagi gambarannya. Ryn itu dulu dulu sampai dibilang teman-teman punya toko aksesoris rambut, gara-gara tiap hari pakai bandana yang berbeda-beda corak dan warnanya. Itu loh, Di, Cewek yang ujung rambutnya sedikit kemerah-merahan dan agak pendiam? Dia juga biasanya duduk di sebelahku kalau di kelas, atau kalau di sebelahku ada teman lain, ya di sekitarku deh. Pokoknya, enggak terlalu jauh sama aku. Ingat dong, sekarang?”
Adi menggeleng lagi. Gelengan kepala Adi yang natural itu, membuat Zizi kecewa. Antara percaya dan meragukan sang kekasih.
“Bohong, ah! Masa nggak ingat, sih, Di? Ryn itu walau agak pendiam, tapi aku rasa kehadirannya lumayan mengundang perhatian deh. Maksudku, ya salah satunya di aksesoris rambutnya itu. Ryn yang sering dibilang aneh sama teman-teman itu lho, karena dia seringkali bisa menerawang kejadian-kejadian yang akan datang. Seperti anak indigo istilahnya, ya, biarpun dia mati-matian bersikap sewajarnya, sih. Tapi memang agak misterius kok, anaknya. Terus, Ryn itu, kan, memang beda gitu lho. Tapi tanpa setahunya, aku pernah, deh, beberapa kali mergokin dia, lagi ngelihatin kamu,” cerocos Zizi dengan antusias, kurang memperhatikan reaksi Adi yang sebetulnya tidak terlampau berminat apalagi menimpali bahasan tentang siapa itu Ryn.
“Nah, sekarang, ingat, kan?” Zizi menggoyangkan lengan Adi.
Adi menatap sekilas pada Zizi, dan menggeleng.
“Serius, aku nggak ingat Zi!” kata Adi pula, menyamarkan jemu yang menyapa, agar terluput dari pandangan Zizi. Dia benar-benar sedang tak tertarik untuk memaksa otaknya berpikir dan mengingat-ingat sosok siapapun saat ini.
Pasalnya, sebuah permintaan dari ibu teman lamanya, masih membebani pikiran Adi. menempatkan dirinya pada sebuah dilema. Datang. Tidak. Datang. Tidak. Datang. Tidak? Huh! Andai sekarang ini ada tokek lewat, barangkali bakal dibiarkannya menjadi pengambil keputusan, ya, meskipun dia juga nggak yakin, setelah sang tokek memutuskan baginya, dia bakal segenap hati menjalani keputusan itu. Hatinya bimbang, sangat!
“Iiih...! Masa sih, Di? Aneh, ah, kalau kamu nggak ingat orang yang unik seperti si Ryn itu. Dia itu, kan, paling berbeda deh, dibandingkan sama yang lainnya. Enggak mau terang-terangan memperlihatkan sikapnya, ogah ikutan ngejar-ngejar asisten dosennya atau yaaa.., sekadar cari-cari perhatian gitu. Tapi ya itu, tetaplah, ngelihatin diam-diam. Aku kan tahu, dan sering mergokin kelakuannya itu,” kejar Zizi sambil meraih telapak tangan Adi, menggenggam dan menggoyangkan telapak tangan itu setelahnya. Zizi berharap Adi segera teringat pada sosok Ryn yang dimaksud olehnya.
Alih-alih memenuhi harapan Zizi, Adi malahan memejamkan mata sesaat dan berkata pelan, “Zi, sori, aku lupa sungguhan. Dan kalau soal mahasiswi ngelihatin asisten dosennya yang jelas-jelas lagi ngajar, itu sangat wajar, harus malahan. Namanya juga, itu asisten dosen lagi menyampaikan materi di depan dia. Kalau mahasiswinya enggak ngelihatin, artinya dia nggak nyimak apa yang disampaikan di kelas dong. Terus apa gunanya dia ada di kelas?"
"Masa?" Zizi setengah bergumam. Dia benar-benar tidak percaya apa yang disampaikan Adi sampai sedetail itu.
Adi mengangguk dan berkata, "Aku serius soal ini, terlalu susah buatku, mengingat satu persatu dari kalian semua.”
Zizi terlihat kecewa mendengar jawaban Adi, dan sedikit cemberut. Sekarang gantian dia yang hanya mengaduk-aduk makanannya.
Lantas, Zizi bertanya setengah merengek, “Berarti, kamu lupa juga dong sama aku? Aku sama saja, kan, dengan teman-temanku itu? Benar, begitu maksudnya?”
^* Lucy Liestiyo *^