Adi mengeluh dalam hati mendengar pertanyaan spontan Zizi.
‘Ini dia ini dia resiko memacari Cewek yang beda umurnya terbilang jauh dari aku. Sering kali kelewat manja, nggak jarang juga dia menunjukkan betapa naïf atau impulsif nya dia. Ya walaupun memang terkadang lucu, menggemaskan, memancing senyumku sewaktu aku ngerasain lagi menghadapi masalah berat. Dan yang jelas, ikut memberi warna pada hari-hari yang aku lalui. Dan sejujurnya, itu juga yang membuat aku semangat melakukan ini itu,’ batin Adi, yang tersadar akan fakta yang ia hadapi.
Zizi memang menggemaskan. Juga kalau sesekali merajuk seperti anak kecil, alangkah masih dapat diperhitungkan sebagai ‘menggemaskan’. Namanya juga 'anak umur segitu'. Baru sebentar lulus dari perguruan tinggi dan mencicipi dunia kerja. Sudah begitu, dia juga merupakan anak bungsu. Masih oke, lah, sikap manjanya, asalkan tidak keseringan dan berlebihan. Bisa pusing tujuh keliling nanti Adi menghadapinya.
Adi diam sejenak.
Dalam diamnya, Adi mempertimbangkan baik-baik, apa yang harus dikatakannya sebagai tanggapan atas pertanyaan yang mirip rengekan dari Zizi barusan. Sebab, jikalau dia keceletukan berkata jujur bahwa tak satupun dari para mahasiswi itu memiliki tempat khusus di hatinya hingga dia lulus kuliah serta tak lagi menjadi asisten dosen, pasti akan gawat ujungnya. Itu sama saja sebuah penegasan, bahwa Zizi memang sama saja dengan temannya yang lain, kan? Bisa dipastikan, Zizi akan ngambeg berhari-hari padanya, bila tahu dirinya nyaris lupa pada mereka semua. Ya, biarpun, semua itu benar adanya, sih.
Andai saja Adi tidak bertemu lagi secara tak sengaja di sebuah pameran buku lebih dari satu setengah tahun silam, tentunya dia sudah lupa bahwa Zizi merupakan salah satu ‘anak didik’nya.
Dan bila saja Zizi tidak melakukan langkah pertama dengan sedikit ‘menodong’ Adi untuk menemaninya makan es krim di gedung yang sama dengan tempat pameran buku setelah dia berhasil bertukar nomor telepon, mana mungkin keduanya bisa tetap terkoneksi sampai detik ini?
Lalu, jika Zizi tidak melakukan pendekatan intens serta mencurahkan perhatian berlebih kepada Adi di hari-hari selanjutnya, mana mungkin timbul rasa suka dan terbiasa yang kemudian membuat Adi tergugah perasaannya? Bila bukan lantaran aura kegembiraan yang selalu ditampilkan Zizi serta ketelatenan gadis itu memberi Adi perhatian-perhatian kecil yang menyentuh, mana mungkin Adi tersadar, rasa cinta perlahan bersemi di hatinya, bahkan dia mulai merasakan, membutuhkan kehadiran seorang Zizi? Lalu dalam perkembangannya, ada saat-saat di mana Adi merasa janggal dan ada yang kurang, kalau satu hari saja tak berkomunikasi dengan gadis itu.
Adi pun berdeham pelan.
“Cuma lupa sama teman-temanmu. Kalau sama kamu sih, nggak mungkin, lah, Zi,” rayu Adi pula, dibarengi cubitan sayang di pipi Zizi.
Zizi setengah mencibir mendengarnya, meski hatinya jelas berbunga-bunga mendengar perkataan Adi. Parasnya sedikit memerah lantaran merasa tersanjung.
“Zi, mau pesan makanan apa lagi?” tanya Adi kemudian, berusaha mengalihkan pembicaraan sepenuhnya.
Sekarang Zizi menanggapi Adi dengan gelengan kepala, lalu mengamati ekspresi wajah Adi dengan saksama. Sepuluh bulan sudah mereka menjalin hubungan. Selama itu pula lah, Zizi mengenali perasaannya lebih dalam, bagaimana dia menjadi kian posesif, hari demi hari. Zizi senantiasa ingin tahu apapun tentang Adi-nya tercinta. Karenanya, tak heran, bila perasaannya mengatakan, jika ada hal berat yang tengah mengganggu pikiran Adi, ataupun saat-saat dirasanya Adi ‘bersikap tidak seperti biasanya’. Ya, sebagaimana saat ini. Semakin mengenal Adi, dia bertambah paham pula, bagaimana cara tepat untuk mengoreknya. Segera, diterapkannya taktik jitunya.
“Kita nggak usah nonton ya, Di, hari ini. Mendingan kita langsung pulang saja setelah makan,” ucap Zizi kemudian, membuat Adi terperangah.
“Lho, kok gitu, Zi? Kenapa sih? Kamu bukannya kepengen banget nonton film ini? Kita baru bisa beli tiketnya hari ini, lho, soalnya keburu habis terus, sebelumnya. Jangan begitu dong!” bujuk Adi sabar.
Zizi tak menanggapi, dia justru diam membisu. Berlagak kehilangan berminat. Zizi menundukkan kepalanya, mengelak dari tatapan Adi. Zizi tahu apa arti tatapan itu, sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban.
“Zi,” panggil Adi pelan seraya menyentuh rambut panjangnya.
Lama tak berjawab, sebelum akhirnya Zizi mengangkat wajahnya dan berkata singkat, “Kita pulang saja. Yuk!”
Adi menyabarkan hati, berusaha membujuk dengan berkata pelan, “Bilang, Zi, ada apa?” namun tak berjawab jua.
“Zi, ayolah! Bilang kamu kenapa,” kata Adi datar. Masih berusaha selembut mungkin pada gadisnya, meski mulai sedikit terganggu sikap kekenakakannya.
“Kamu nggak mungkin begini, Zi, kalau nggak ada apa-apa,” bisik Adi persuasif, berharap hati Zizi lumer. Ditatapnya secara intens kedua bola mata Zizi. Lantas dengan tangannya, ditangkupnya paras Zizi.
Hati Zizi tersentuh diperlakukan semanis itu. Ini yang selalu dipujinya dari Adi, sang pujaan hati. Kesabaran Cowok itu. Ketenangan yang melekat padanya. Ya, Zizi mengenal Adi sebagai sosok yang enggan terpancing dengan orang yang ingin mencari gara-gara. Berpikir demikian, Zizipun tak berniat menguji kesabaran Adi lebih jauh. Ah, bukan tak berniat, sebetulnya, dia enggak sampai hati saja. Hatinya terlalu lemah kalau Adi sudah sebaik ini padanya.
“Adi sayang, aku tahu dan bisa ngerasain, pasti ada yang lagi bebanin pikiran kamu, kan, sekarang ini? Jadi buat apa kita nonton, bersenang-senang? Kalaupun memang kamu belum mau ceritain ke aku sekarang, nggak apa-apa, kok, Di. Mendingan, kita pulang saja, sekarang. Terus kamu ambil waktu dulu, nenangin pikiran kamu, buat cari jalan keluar dari masalah kamu. Itupun, kalau memang, kamu berpikir bahwa aku nggak boleh tahu,” tandas Zizi kemudian.
Sedapat mungkin Zizi menata perasaannya, menekan secuil ketersinggungan, karena menganggap Adi menyembunyikan sesuatu darinya. Pada usia hubungan yang tergolong baru ini, mereka memang selalu membiasakan saling terbuka satu sama lain.
Adi terusik mendengar perkataan sang kekasih. Ia merasakan sebuah ketulusan dari kalimat Zizi. Terdengar dewasa dan ‘berbobot’ malahan.
Maka, Adi pun meraih tangan Zizi. Digenggamnya erat tangan halus itu. Lalu, dikecupnya punggung tangan Zizi.
“Zi, ini hanya masalah kecil kok,” kata Adi kalem, sejurus kemudian.
Sontak Zizi mengerutkan keningnya. Menelisik, mengukur seberapa besar kadar kebenaran dalam kalimat Adi barusan. Sungguh-sungguh dicermatinya perubahan air muka Adi, sampai-sampai membuat Adi sedikit salah tingkah dan grogi.
“Kalau masalah kecil, ini muka nggak mungkin sekusut itu. Aseorang Adi Surachman nggak mungkin bisa dikalahkan sama masalah kecil,” Zizi mengelus pipi Adi dengan sayang dan mengecupnya sepintas lalu.
Adi langsung menoleh akibat gerakan singkat dan mendadak tersebut. Tatapan mata mereka saling tertaut, bercakap tanpa kata.
'Apa boleh buat. Kalau memang harus,' keluh Adi dalam hatinya.
Adi menyempatkan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya amat perlahan.
Lalu, Adi mengelus lembut punggung tangan Zizi, lantas berpikir sejenak sebelum berucap, “Zi, begini saja. Kita nonton dulu ya, sesuai rencana semula. Setelah itu, baru aku bilang ke kamu, apa yang bikin aku resah.”
“Janji?” tanya Zizi antusias.
Mendengarnya, Adi mengangguk dengan sepenuh hati, membuat hati Zizi terasa kian tenteram. Hati Adi tersentuh melihat harapanyang berpijar di mata Zizi.
“I promise you,” sahut Adi kemudian, sembari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus, membentuk huruf V.
Ada gerakan di sudut bibir Zizi mendengarnya. Dan sebentar saja, bibir Zizi sudah melengkung ke atas. Gadis itu tersenyum lega.
“Nah, sekarang dihabisin makannya, ya. Kasihan makanannya dicemberutin,” kata Adi.
Sedikit tersipu, Zizi mengangguk lalu menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Masih agak lama tapi pemutaran filmnya, Di. Aku mau pesan dessert lagi. Boleh ya?” tanya Zizi meminta persetujuan.
Adi tersenyum tipis.
“Ya jelas boleh dong. Kamu boleh pesan apa pun yang kamu suka, Zi,” kata Adi, dan mengangguk dengan matanya. Mata yang menatap Zizi dengan lembut. Ah! Tatapan yang selalu membuat Zizi merasa terlindungi.
Mata Zizi mengerjap.
“Thanks ya Sayang,” ucap Zizi ceria.
*^ Lucy Liestiyo ^*