CHAPTER SEMBILAN : Percakapan

1812 Kata
            Celakanya, lain yang direncanakan oleh Adi, lain pula yang kemudian terjadi.             Janji yang telanjur diucapkan oleh Adi, ternyata menjadi semacam beban baginya. Sedangkan di pihak Zizi, harap-harap cemas untuk mengetahui apa gerangan yang telah mengusik kedamaian hati sang kekasih.              Yang terjadi kemudian, sepanjang pemutaran film yang telah sekian lama mereka nantikan itu, keduanya tidak banyak bicara.             Zizi tenggelam dalam pemikirannya sendiri, tak sabar menanti hingga film tersebut usai. Minatnya yang menggebu-gebu untuk menonton film yang dibicarakan oleh teman-temannya itu, seketika menguap entah ke mana. Pikirannya lebih terpusat pada selaksa tanya yang menyesaki benaknya.             ‘Duh, jangan sampai Adi-ku tersayang kenapa-napa,’ batin Zizi dalam cemas yang menggayuti pikirannya.              “Ini ceweknya kenapa nggak terus terang aja, ya, Zi?” bisik Adi, adegan yang menunjukkan bagaimana si peran utama wanita depresi berat karena menyimpan rahasia besar kepada pacarnya. Maksud hati, ingin sedikit meredakan keresahan hatinya. Apa daya, pertanyaannya itu justru menjadi bumerang baginya.              Respons dari  Zizi seolah menyudutkannya. Walau dia tahu, Zizi pasti tak bermaksud begitu.              “Wajar kalau dia stress. Dia takut, Di. Takut cowoknya ninggalin dia kalau tahu kebenarannya,” tak disangka, balasan Zizi justru membuat nyali Adi ciut.             Mulut Adi langsung terbungkam, sementara pikirannya mengira-ngira, apa gerangan reaksi Zizi jika tahu permintaan dari Tante Sheila.              Rasa ragu itu tetap menggayuti pikiran Adi. Karenanya tidak heran, begitu pemutaran film usai dan lampu-lampu di dalam studio bioskop kembali terang, Adi menatap gelisah ke arah para penonton yang bergerak menuju pintu keluar. Seakan-akan, dia sengaja mengulur waktu, agar Zizi melupakan apa yang telah dijanjikannya sebelum mereka menonton film tadi.             'Kira-kira, Zizi setelah aku cerita, apa Zizi akan terkejut luar biasa dan memintaku berterus terang mengenai hubunganku sama Bima dan yang lainnya dulu? Atau, dia menahan diri untuk sementara, tidak banyak bertanya dulu, hanya menyarankan supaya aku menemui Bima? Aku harus bagaimana menanggapinya? Aku belum sepenuhnya siap melihat keadaan Bima. Buatku, ketemu Bima sama artinya dengan membuka lagi kisah lama yang sudah kututup, pikir Adi dengan perasaan lelah, terkenang kejadian yang sama sekali hendak dihapusnya dari ingatannya, seandainya mampu.              “Yuk, kita pulang sekarang, Di,” Zizi menggoyangkan tangannya yang berada di genggaman Adi.              Adi tergeragap sekian detik mengangkat wajahnya. Dia terpana, mendapati Zizi sudah berdiri tegak di depannya. Barangkali karena telah menunggu cukup lama.              “Oh. Ayo,” ajak Adi pula. Lantas, Adi bangkit dari duduknya. Pikirannya masih mengawang-awang, seperti orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari dan tengah mengumpulkan segenap nyawa agar utuh kembali. Beruntung, keadaan demikian tidak berlangsung lama. Senyuman di bibir Zizi menyadarkannya akan keberadaan mereka dalam gedung bioskop yang berangsur sepi.              Bergegas, Adi menggandeng tangan Zizi, terus melangkah bersama melewati pintu keluar studio bioskop, menuju tempat parkir yang berada di lantai dasar gedung.              “Di, belum siap buat cerita, ya?” tanya Zizi setibanya mereka berdua di tempat parkir.              “Apa, Zi?” tanya Adi macam orang linglung.              Sebuah senyum maklum terulas di bibir Zizi. Terbit rasa ibanya melihat air muka Adi.              “Di, kalau memang belum bisa cerita ke aku hari ini, enggak apa-apa kok. Aku bisa ngerti. Aku juga nggak akan mendesak. Serius. Tapi..., aku cuma minta satu, ini muka jangan kusut lagi, ya, please?” pinta Zizi.             Belum sempat Adi menyahut, Zizi kembali berkata selagi Adi membukakan pintu mobil baginya, “Tolong bagi, sedikit beban kamu ke aku, begitu kamu merasa siap nanti. Dan sementara belum, eng.. kamu..  banyak doa saja, supaya bebanmu jadi ringan. Jangan terus-terusan dipikirin begini.”              Seketika hati Adi menghangat, mendengar perkataan yang berbalut ungkapan perhatian serta ketulusan itu. Adi pun menatap secara intens gadisnya tercinta. Tangannya bergerak, menyentuh sekilas rambut tebal Zizi.              'Zizi yang unik, penuh perhatian, fokus dalam mengejar sasaran. Zizi yang sensitive dan terkadang terlalu polos. Kemanjaan yang kamu tunjukkin selama ini belum over dosis, malahan bikin aku telanjur nyaman. Tapi apa jadinya hubungan ini ke depannya, kalau kamu tahu, dengan orang-orang macam apa diriku berteman dulu,’ keluh Adi dalam diam.              Hati Adi kembali ciut. Rasa bimbang itu sontak menyapanya lagi. Lagi-lagi melintas godaan di hatinya, untuk menutup rapat-rapat kisah masa lalu yang hendak terkuak. Bagaimanapun, Adi takut citra baiknya, yang setahunya demikian dikagumi Zizi, lenyap dalam sekejap, tidak berbekas. Mendadak dia terpikir olehnya, betapa rapuhnya hubungan mereka.              “Hei..., mana dong, senyumnya?” Zizi mengelus pipi Adi dengan tatapan penuh cinta.              Merespons perkataan Zizi yang setenang itu, Adi seketika terdiam. Sejenak, dibiarkannya saja pertentangan yang terjadi dalam batinnya. Perlu waktu sekian menit baginya untuk meredakan semuanya itu. Setelah merasa lebih tenang, Adipun menatap dalam-dalam wajah Zizi.              “Kamu baik banget, deh Zi. Dewasa banget,” Adi setengah bergumam.              “Apa, Di?” tanya Zizi, yang tak dapat menangkap dengan jelas gumaman sang kekasih.              Adi menggeleng pelan, dan kembali ke bahasan awal.              “Kata siapa aku nggak mau cerita, Zi? Aku kan, sudah janji, tadi. Begini saja, biar gampang, nih, kamu baca sendiri isi pesan teks yang aku terima kemarin lusa,” sahut Adi seraya mengangsurkan ponselnya pada kekasih hatinya dan memasukkan pin-nya. Tanpa menghiraukan pandangan bertanya Zizi, Adi langsung menutup pintu  mobil dan beralih ke pintu di sisi pengemudi. Adi membuka pintu itu dari luar, masuk ke dalam kendaraan, duduk di belakang kemudi menyalakan mesin. Lantas, ia melajukan kendaraannya. Semua berlangsung cepat, tanpa kata-kata.              Zizi sempat tercenung sesaat melihatnya, tetapi enggan membiarkan rasa penasarannya kian memuncak tanpa jawab. Zizi segera membaca isi pesan yang memang telah sengaja dibukakan oleh Adi.              “Ngomong-ngomong, Bima itu siapa sih, Di?” tanya Zizi usai  membaca pesan dan mengembalikan ponsel Adi, membuat Adi menoleh sekilas padanya.              Adi memalingkan wajah ke samping barang dua detik, lantas kembali menatap lurus ke depan. Sepertinya Adi sengaja mengambil jeda. Mungkin sekaligus memberi waktu bagi dirinya sendiri untuk menetralkan segala perasaan yang tengah berkecamuk di hatinya.              “Dia itu salah satu teman kuliahku dulu. Kamu mungkin nggak kenal Bima atau teman-teman kuliahku yang lainnya,” jawab Adi kemudian.              Zizi manggut-manggut.              “Oh gitu. Terus?” tanya Zizi. Dia mulai mengira-ngira dalam diamnya, apa gerangan yang paling membebani pikiran pujaan hatinya ini.              ‘Cuma teman kuliah. Kok sebegitu terusiknya? Ada apa di balik semua ini? ' tanya Zizi dalam hati.              Adi mengembuskan napas.              “Zi, sebenarnya aku merasa nggak enak hati, soalnya belum memenuhi permintaan Tante Sheila sampai sekarang. Hari inipun, beliau menghubungi aku lagi, tapi nggak kejawab sama aku. Aku lagi rapat, tadi. Tapi, aku sudah sempt cek posisi rumah sakit dan jam bezuknya sih,” jawab Adi. Seolah, sebagian beban yang menindih di dadanya sedikit terangkat, selepas mengungkapkannya pada Zizi.              Di lain pihak, Zizi mengamati benar perubahan air muka Adi. Gadis itu merasa  lega campur senang melihatnya.              “Gimana menurutmu, Zi?” tanya Adi kemudian, meminta pendapat Zizi.              Zizi mengelus lengan sang pacar dengan lembut. Dia tak menyangka, ternyata permasalahan yang membebani Adi cuma sekecil ini.             Ah, dia juga ngerti sih, enggak gampang memutuskan mau membezuk seseorang yang sedang depresi. Dirawat di rumah sakit gangguan mental, pula. Pasti enggan dan canggung, apalagi sudah lama nggak ketemu. Zizi pun berpikir, ini memang bagiannya sebagai orang dekatnya Adi, yakni untuk memberikan dukungan.              “Kalau menurutku sih, temui saja, Di. Apalagi yang meminta ibunya, yang kelihatannya juga sangat mengenalmu. Ya, sekadar memberi dukungan moral, supaya enggak terbeban terus dan merasa bersalah karena menunda-nundanya,” kata Zizi.              “Begitu ya?” Adi memijat pelipisnya.             ‘Saran’ Zizi barusan sungguh di luar dugaannya. Semula dia sempat berpikir, Zizi bakal melarangnya menemui Bima dan menyarankan padanya untuk melupakan saja pesan teks dari Tante Sheila.              ‘Kamu punya hati yang lembut, Zi. Aku beruntung, mempunyai kamu,’ batin Adi.              Mendapati keraguan yang masih tercermin dari sikap sang kekasih, Zizi merasa prihatin.              “Eng… Di, kamu nggak keberatan, kan, aku temani kamu kesana? Aku bakal ajak Ryn juga. Supaya saat kamu menemui Bima dan ngobrol sama dia, Ryn bisa menemani aku ngobrol di luar. Dengan begitu, kamu enggak akan terganggu sama keberadaan kami. Gimana, Di?” pinta Zizi kemudian, lebih ke bentuk dukungan sebetulnya. Dia ingin memastikan sang kekasih ‘baik-baik saja’ setelah menengok sahabat lamanya.              Adi tak segera menjawab. Dia memperhatikan keadaan jalan raya yang mulai lenggang. Sejurus kemudian, dia mengangguk menyetujui. Didengarnya helaan napas lega dari Zizi.              “Secepatnya, aku akan hubungi Ryn. Dia pasti mau kok, menemaniku,” kata Zizi pula.              Adi menggumam tak jelas mendengarnya.             Dalam diamnya, Adi berpikir, apa boleh buat, toh kini semua sudah kepalang tanggung bagi dirinya.             Posisinya saat ini sudah berada di tengah-tengah. Posisi yang sulit, yang tak memungkinkannya untuk mundur lagi, meski bila dia maju pun, tetap ada resiko yang tak terselami bagi kelanjutan hubungannya dengan Zizi.             Dalam gundah yang merundungnya, Adi berusaha menenteramkan hatinya.             Dia mengerling ke arah Zizi, seiring rasa takut yang melintas.             ‘Seandainya Zizi harus tahu apa yang selama ini aku tutupi darinya, aku yakin, aku toh sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Logika aja deh, karena selama apa pun selama apapun rahasia ini tersimpan, kapanpun bisa terkuak, entahkah dari mulutku sendiriri, atukah dari otang lain.,’ pikir Adi.              Adi tampaknya tersadar, ini persis bom waktu. Dan ketimbang terus dikejar rasa bersalah, melakukan apapun dirinya merasa tidak tenang, maka diputuskannya untuk memilih salah satu dari dua pilihan sulit yang terhidang di depannya.              Pilihan Adi sudah jelas, akan mempersiapkan hati atas segala kemungkinan yang menjelang di depannya setelah ini. Berat memang, dan dia pun belum seyakin itu sebetulnya. Masih ada kegamangan di hatinya.             Akan tetapi, saat ini hati kecil Adi berbisik, dia harus tahu apa yang menimpa Bima, sesegera mungkin.                                                                                                                                                             *^ Lucy Liestiyo ^*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN