CHAPTER SEPULUH : Serangan Pertama

2049 Kata
             Ternyata, amat mudah mencari serta menemukan keberadaan bangunan luas bercat putih itu. Titik yang ditunjuk oleh gps menunjukkan secara akurat lokasinya. Letaknya di pinggiran kota yang relatif tenang dan agak berjauhan dengan bangunan-bangunan lain, tampaknya disengaja oleh pihak pengelola demi memaksimalkan perawatan pasien yang tentunya membutuhkan suasana yang kondusif.              Halaman depan gedung bernuansa putih yang khas ‘rumah sakit’ itu terkesan ‘penuh’ serta rapat, lantaran banyak ditumbuhi pepohonan rindang, hamparan rerumputan nan hijau serta deretan bangku taman bercat putih yang keras. Halaman itu berada tepat di sebelah area parkir. Lantas, ada pagar tinggi yang juga berwarna putih bersih, membatasi halaman depan dengan area lokasi utama.              Siapa sangka, rasa bimbang kembali menggoda Adi saat dirinya akan melangkahkan kaki, mengarah ke pintu masuk menuju bangunan utama? Berbagai pemikiran buruk serta merta mengintimidasi dirinya. Kemantapan niat yang telah dipupuk dan dijaganya semenjak pembicaraan dengan Zizi dalam perjalanan sepulang dari acara menonton film tempo hari hingga beberapa detik lalu, mendadak goyah.              Dan sebagai orang terdekat Adi, tentu saja Zizi mencermati ekspresi wajah serta gerak-gerik sang kekasih.              “Mau Aku temani, Di?” tanya Zizi khawatir. Gadis itu menangkap keresahan yang membayang di wajah Adi. Teramat nyata dan sulit untuk disembunyikan. Sebagai kekasih, tentu saja berat bagi Zizi untuk membiarkan Adi sendirian, tanpanya.             Sejujurnya, Zizi sangat mencemaskan Adi, biarpun dia juga mendapati bahwa Adi berusaha bersikap setenang mungkin. Lihat saja, Adi lekas menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas tawarannya barusan.              Zizi menatap Adi dengan pandangan memohon.              “Nggak usah, Zi. Sebaiknya kamu tunggu di sini saja, sama Ryn. Aku belum tahu seperti apa situasinya di dalam sana. Takutnya, nggak aman buat kamu. Nah, aku tinggal ke dalam dulu,” ucap Adi sedatar mungkin, demi menenangkan perasaan Zizi. Padahal kalau saja dia bisa jujur, jantungnya bagai bekerja keras saat ini, memompa darah dengan kecepatan dua kali lipat dari biasa.              Adi meraih kedua tangan Zizi lantas menepuk-nepuk punggung tangan gadisnya dengan lembut. Seolah ingin berkata, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.              Zizi menarik napas lega.             “Iya deh. Tapi kamu juga hati-hati, ya di dalam sana,” Zizipun mengangguk menanggapi Adi, dan berusaha melepas kepergian Adi dengan senyum tipisnya. Senyum yang susah payah diulasnya di saat hatinya terasa berat, macam mau melepaskan orang tersayang ke medan perang.              Adi menganggukinya.             Kemudian, langkah-langkah lebar Adi kian menjauh dari pandangan Zizi. Zizipun membalikkan badan, bermaksud mendekati salah satu bangku taman dan duduk di sana. Namun, sontak dia terkejut luar biasa, mendapati Ryn berjongkok sambil memegang kepalanya, seolah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa.              “Ryn! Kamu kenapa?” tanya Zizi dengan panik, sembari membantu Ryn untuk berdiri tegak kembali. Mujur, tubuh Ryn yang lebih mungil darinya, memudahkan gerakannya menahan beban tubuh Ryn.              Ryn tidak menjawab. Gadis itu diam saja. Tetapi Zizi memergoki temannya itu tengah meringis, seolah menahan sakit yang tak terganggungkan. Duh, Zizi auto khawatir, deh menyaksikannya!              “Ryn! Gue telepon Adi, ya? Biar dia bantuin kita dulu, baru balik ke dalam lagi, buat ketemuin temannya itu,” kata Zizi lagi, melihat keadaan Ryn yang tampak payah dan mengkhawatirkan.             Zizi merasakan lengan Ryn amat dingin dan basah oleh keringat. Dilihatnya pula, Ryn memejamkan mata dan menggenggam erat tangannya sendiri, seolah berusaha meredam rasa sakit yang entah berpusat di mana.              Kalau tadi Ryn diam, sekarang dia mau buka mulut.              “Jangan! Jangan! Ayo, bantu gue ke bangku yang di sana Itu, yang di ujung!” cegah Ryn, sekuat mungkin menahan rasa pening di kepalanya. Digoyangkannya telapak tangannya untuk mempertergas larangannya pada Zizi.              Zizi terperangah mendengarnya.             'Kenapa juga harus yang di ujung? Itu kan, paling jauh dari sini! Yang enggak-enggak aja deh, si Ryn ini!'  Protes Zizi tak terucap, hanya diwakili oleh kerutan di dahinya. Di tengah kebingungannya mendengar permintaan Ryn yang dirasanya aneh serta begitu sulit dinalar, Zizi tak punya pilihan selain menurut.             Zizi bergegas memapah tubuh kawannya tersebut. Langkah kaki keduanya sedikit terseret-seret. Zizi dapat sedikit menarik napas lega sesampainya ke tujuan yang dimaksud oleh Ryn. Sayangnya, baru dua detik Zizi merasa tenang, dia telah dikejutkan suara empasan tubuh Ryn yang jatuh terduduk.              “Ryn! Ryn!” teriak Zizi sambil mengguncang pundak Ryn.             Kepanikan Zizi memuncak seketika, seiring ketegangan yang mewarnai wajahnya. Dengan jarak yang begiti dekat antara mereja berdua, Zizi dapat melihat mata Ryn terpejam lagi. yang membuatnya kian khawatir adalah ekspresi wajah Ryn! Ekspresi yang tak ubahnya menunjukkan orang yang tengah kesakitan. Namun entah, sakit di bagian mananya.              Di kala Zizi sedang bingung harus berbuat apa, dia memergoki sebelah tangan Ryn menutup telinganya, sementara tangan satunya dikibaskan lagi ke arah Zizi, memberi isyarat agar dirinya tidak cemas berlebihan.              ‘Ya, dia pasti tahu betapa aku cemas, walau matanya tengah terpejam begitu,’ pikir Zizi, teringat gambaran yang melekat pada sosok Ryn.              Cukup lama Zizi menanti dalam diam. Dia memberikan waktu pada Ryn, sembari menyimpan banyak tanya yang mendesak-desak di kepalanya.              Dan sekonyong-konyong, suasana terasa teramat senyap. Senyap yang aneh dan sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Senyap yang membawa perasaan seolah mereka tengah berada di dunia lain. Alangkah ganjil. Asing.              d**a Zizi berdebar demikian kencang, tanpa dia tahu secara pasti, apa gerangan alasannya. Mulutnya seolah terkunci begitu saja, hendak bertanya tetapi tak terucap. Dalam usahanya meredakan rasa penasarannya, Zizi hanya mampu menunggu seraya memperhatikan sekitarnya, tanpa bersuara.              Zizi tak sabar untuk menarik napas lega, tatkala mendapati keadaan Ryn berangsur membaik. Terlihat olehnya, mata gadis itu terbuka.              “Aaah, syukurlah! Ryn! Tadi itu apa yang terjadi, sebetulnya? Elo sakit, ya? Di sebelah mananya, Ryn?” tanya Zizi beruntun.              Dan belum juga Ryn menyahut, Zizi sudah memberondongnya dengan sederet pertanyaan berikutnya, “Ya ampun, sini, gue bantu hapus, kok jadi banjir keringat begini? Ryn, jawab gue, elo sakit? Demam? Lagi kurang sehat, ya? Aduh, mustinya bilang dong, sebelum pergi, jadi kita bisa ganti waktunya atau gimana.”              Terbersit sesal dalam kalimat yang diucapkn Zizi. Kini tangan gadis itu bergerak menghapus butir-butir keringat di dahi Ryn dengan sapu tangannya, meraba-raba dan menempelkan punggung tangannya pada dahi serta lengan teman kuliahnya itu, seolah hendak mengecek suhu badan Ryn.              Sesaat kemudian, Zizi menarik napas lega, mendapati dahi Ryn tidak hangat. Hanya saja, Zizi mendapat kesan, wajah lelah Ryn menggambarkan bahwa dirinya baru melalui sebuah pertempuran berat yang menguras banyak energi. Atau minimal, menahan rasa sakit yang tinggi kadarnya. Sulit bagi Zizi untuk menyangkal rasa penasarannya yang besar.              “Terima kasih, Zi. Tadi tuh, kepala gue terasa berat. Itu doang, masalahnya,” ucap Ryn menjawab Zizi.              Zizi manggut kecil.             “Oh, itu aja, Ryn? Jadi elo baik-baik aja kan? Gue pakein minyak angin aja gimana? Mau gue ambilin minuman manis di mobil? Biar agak mendingan gitu,” tawaran Zizi ini hanya berbalas gelengan kepala dari Ryn.             Gadis berwajah sendu itu segera tersenyum, demi menenteramkan perasaan Zizi. Lebih dari itu, kemudian dia memberi isyarat pada Zizi, menyarankan agar temannya itu memainkan game kesukaannya di tablet agar tidak bosan selama menunggu Adi kembali.               “Ah, lo itu memang paling ngerti deh Ryn!” sambut Zizi dan tertawa kecil. Segera diikutinya saran Ryn, mendadak terlupa dengan banyak pertanyaan yang ingin diutarakannya pada Ryn. Begitu memegang tablet, perhatiannya memang langsung terfokus ke sana.              Sedangkan Ryn, termangu seorang diri. Bak baru mendapatkan pesan penting yang mendesak untuk diurainya, dia memperhatikan daftar kontak di telepon genggamnya. Azka Mahardhika Setiyadi, putra sulung dari keluarga Burhan Erawan Setiyadi. Lama matanya tertuju pada nama itu. Hatinya gamang beberapa detik. Namun kemudian ditepisnya cepat-cepat hasrat yang timbul.              'Enggak. Enggak akan! Lagian, kenapa sih, gue harus berurusan sama yang model beginian lagi? Padahal gue sudah berusaha melepaskan diri dari hal-hal seperti ini. Kalau ini cuma jadi beban, kenapa nggak diambil saja dari gue,' protes Ryn dalam hatinya. Mata Ryn lantas memejam.              Tanpa diundang, rasa galau menyapa Ryn.              Kemudian, jemarinya indah Ryn bergerak asal, menelusuri berbagai situs, demi mencari petunjuk yang diperlukannya. Dengan pikiran yang mengawang-awang dan kurang yakin dengan apa yang dilakukannya, berkali-kali dimasukkannya kata kunci berbeda. Biarpun dirinya berusaha mengabaikannya, dia toh, terdorong ingin tahu, teriakan melengking siapa yang tadi bertubi-tubi menyerangnya, seolah ditembakkan tepat di kepalanya.              Bukan itu saja. Teriakan nyaring itu disambung pula dengan tangisan pilu dan menyayat, yang seolah-olah, bermaksud merobek gendang telinganya, merasuk jauh ke dalam kalbunya. Itu jelas tangisan seorang wanita dewasa. Ryn menaksir, usia wanita itu sekitar 26 tahun. Di luar kendali Ryn, ditangkapnya ancaman berbalut dendam yang terkirim melalui ratapan yang didengarnya. Ryn sontak bingung, sebab tidak mendapatkan petunjuk tentang jati diri si wanita. Dia sungguh paham, dia membutuhkan bantuan orang lain, untuk mengungkapnya. Dia tahu, kepada siapa harus minta tolong, sebenarnya.               Baru saja sebuah pemikiran bodoh menuntunnya membuka dan membaca sejumlah artikel berthemakan hal mistis serta klenik, selanjutnya berniat menghubungi alamat email para penulisnya, nalarnya bicara. Belum sempat dilanjutkannya dengan membuka sekian banyak channel youtube para pembaca kartu tarot.               ‘It will not help,’ batin Ryn.             Terpikir oleh Ryn, tak mungkin dia menempuh jalan tersebut, sementara mereka begitu banyak, dan tak satupun dari mereka yang dikenalnya secara pribadi. Kredibilitas merekapun sulit ditebak apalagi dipercayanya. Sedangkan untuk memilih secara acak bahkan dengan cara cip cip cup seperti dilakukan anak kecil dalam permainan kanak-kanak merekapun, sama dengan pilihan bodoh.              Lantas, ketika terpikir olehnya untuk menghubungi saja satu dari sekian banyak tokoh yang namanya familiar dengan dunia supranatural, keengganannya lekas menyeruak. Dia sudah dapat menduga, mereka yang telah tenar namanya dan punya jam terbang tinggi, takkan semudah itu ditemuinya untuk segera meminta pertolongan. Sudah begitu, pastinya mereka punya tarif tertentu yang pastinya ‘menggetok’. Itu pun, belum tentu bisa mentingkap misteri yang ingin diketahuinya. Uh, baru membayangkannya saja, Ryn sudah muak.              “Ini soal berjodoh atau enggak,” ucap Ryn dalam gumaman yang tidak jelas.             Sesudah itu, dia melirik dan bersyukur, sebab Zizi yang larut dalam keasyikannya mencapai level lebih tinggi pada permainan di tabletnya, tak mendengar gumamannya barusan.              Semilir angin yang berembus setelahnya, sukses melambungkan rasa curiga Ryn. Bukannya apa, sekitarnya teramat hening dan relatif tenang, tiada daun yang bergoyang maupun bergemerisik. Sah-sah saja bila Ryn menengarai, bukan angin biasa yang dirasanya barusan, melainkan dengusan napas yang kuat, dan sengaja diarahkan ke tengkuknya.              Ryn merasakan desakan yang kian hebat saja. Serasa ada peningkatan intensitas desakan di setiap kejapnya. Sesuatu, seseorang, atau apa pun itu, zat yang tak terlihat tampaknya sedang mengincarnya, minimal meminta perhatiannya.             Terdorong oleh rasa peduli, Ryn segera memusatkan perhatiannya, mempertajam mata batin agar memperoleh bisikan gaib yang dapat memberi tanda, kepada siapa dia harus meminta bantuan demi membuka misteri ini.              Ryn menepis keengganannya untuk menyapa dan bertanya dalam diam, siapakah yang sedang hadir di dekatnya? Diam-diam, sesungguhnya dia mengeluh tanpa suara, mengingat betapa telah lama dirinya tidak melakukan hal-hal semacam ini. Dia mengerling sesaat kepada Zizi.              Beruntung, Zizi yang berada di dekatnya tampak tenang saja, tidak menyangka sama sekali apa yang tengah dilakukannya. Bisa jadi Zizi terlena, sesudah menaklukan dua tiga level pada game favorit di tabletnya dalam tempo cukup singkat.                                                                                                                                                            *^ Lucy Liestiyo ^*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN