Tidak ada alasan bagi Adi untuk menolak permintaan Mang Anji.
Ia terpaksa mengangguk.
“Oh, silakan, Mang Anji. Mari, saya temani,” jawab Adi yang merasa sedikit rikuh. Diisyaratkannya agar Mang Anji mengikutinya.
Maka, berbekal senter yang dipegang oleh Mang Anji, keduanya bergegas mengecek semua ruangan di dalam rumah kontrakan Adi. Mang Anji meneliti dengan saksama setiap sudut-sudutnya, sampai menyenter ke arah kolong meja kerja Adi, seolah sang tertuduh penebar teror sedang bersembunyi di sana. Dia juga memeriksa setiap balik pintu, memastikan tidak ada yang bersembunyi di sana.
"Maaf Pak Adi, kalau sekiranya saya melihat ke lemari Pak Adi, apakah Pak Adi tidak keberatan?" tanya Mang Anji sehati-hati mungkin, setibanya di kamar Adi.
Adi berpikir sesaat.
'Kalau dituruti, Mang Anji pasti akan melihat semua isi lemari pakaianku. Tapi kalau nggak dituruti, yang ada dia bisa curiga. Ya sudahlah, apa boleh buat. Maksudnya dia kan baik,' kata Adi dalam hati.
"Silakan, Mang," Adi mempersilakan Mang Anji masuk ke dalam kamarnya. Dia pula yang membukakan lemarinya.
Mang Anji menyibak kemeja dan celana yang digantung paa hanger satu demi satu. Adi menemaninya dengan sabar.
"Oke Pak, aman ini. Kita ke tempat lain," kata Mang Anji kemudian.
"Baik, Mang," sahut Adi.
Mereka berdua keluar dari kamar Adi.
Sekali lagi, Mang Anji menyenter ke segala arah dan berusaha keras menciptakan keheningan dengan cara melangkah super pelan, sehingga dapat mendengar suara lain yang bukan berasal dari mereka berdua.
Bukan itu saja. Mang Anji juga meneruskan pemeriksaan sampai ke tempat jemuran di belakang dapur. Seringkali dia terlihat berhenti sejenak, seolah menajamkan telinganya. Barangkali Mang Anji berpikir, ada yang bersembunyi dan dia dapat mendengarkan dengusan napas atau suatu pergerakan yang akan menuntunnya menemukan si tertuduh yang tadi mengancam Adi. Itu dilakukan Mang Anji dua tiga kali.
Sejauh itu, Mang Anji belum menemukan hal yang dapat dimasukkannya dalam kategori mencurigakan.
Akhirnya, Mang Anji menuruti ajakan Adi untuk kembali memasuki rumah. Mang Anji masih memasang wajah serius dan tatapan siaga, meski melewati ruangan-ruangan yang telah diperiksanya.
Saat mereka berdua kembali ke area ruang makan, jantung Adi nyaris berhenti berdetak. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan komentar Mang Anji nanti bila sempat melihat tampilan di layar laptopnya. Prasangka buruk langsung hinggap di kepala Adi.
“Waduh, gawat ini! Bisa jadi gosip di kompleks perumahan sini deh,’ pikir Adi dalam resah.
Mang Anji mengamati meja makan dengan pandangan yang membuat Adi merasa agak risi.
“Waduh, lagi ngejar kerjaan, ya, Pak? Itu sampai berjejer empat cangkir kopi. Yang dua sudah tinggal ampas, satunya lagi masih setengah. Dan yang lainnya kelihatannya baru diminum sedikit! Dijaga baik-baik kesehatannya, Pak Adi. Kasihan jantung sama ginjalnya jangan dihajar pakai kopi sebanyak itu. Kasihan juga levernya. Kerja keras banget deh. Yang namanya pekerjaan itu, memang nggak ada selesainya. Nah, setengah jam lagi kan, sudah mau subuh. Sudah terang. Mungkin ada baiknya Pak Adi rehat sebentar buat memulihkan tenaga,” komentar panjang Mang Anji membuat Adi terperanjat.
Pandangan Adi pun tertuju pada apa yang dideskripsikan oleh Mang Anji.
Nyaris jantung Adi mau melompat, minimal bergeser dari tempatnya, melihat keanehan yang teramat nyata.
Mata Adi terbelalak lebar melihat tiga buah cangkir kopi yang entah dari mana datangnya, berada berdekatan dengan cangkir kopinya. Seolah sebuah pesan tertentu, namun sulit diterjemahkan oleh Adi.
'Uf, ini nyata! Gue lagi ditakut-takuti sesuatu yang nggak kasat mata. Gue ingat banget, tadi cuma bikin satu cangkir kopi.Itu pun, baru sempat diminum seteguk,' dumal Adi dalam hati.
Adi tak tahu pasti, keberadaan tambahan tiga buah cangkir tersebut, ‘menggantikan’ tampilan di layar laptopnya, harus disyukurinya sebagai pengalih perhatian yang sempurna, ataukah justru harus membuatnya lebih khawatir lagi.
Maka Adi pun berinisiatif mencermati layar laptopnya dan dia kian penasaran. Yang tampil di sana sama sekali bukan gambar Cewek berwajah melankolis, melainkan spread sheet berisi deretan angka-angka dalam aplikasi Microsoft excell. Ya, semestinya itu memang file yang akan dibukanya sebelum ‘gangguan’ dalam rupa wajah Cewek misterius keburu datang. Bagaimana Adi tidak bingung serta dilanda penasaran, kalau sekarang file yang semestinya dikerjakan olehnya itu telah terpampang di layar laptop?
Adi menahan diri untuk tak berdecak kesal, betapaun geregetannya dirinya.
Nggak lucu! Pikir Adi sebal. Dia merasa dirinya sedang dipermainkan saat ini. Entah oleh siapa dan atas alasan apa.
“Iya Pak, terima kasih,” ucap Adi kemudian mengiringi Mang Anji menuju pintu depan.
“Gimana Pak Opri, ada masalah apa, sama listriknya?” tanya Mang Anji setibanya mereka di depan, tersirat nyata keinginannya untuk memastikan Adi tidak dalam keadaan terancam.
“Ah, nggak ada masalah. Ini, saklarnya cuma turun, kok. Mungkin korslet. Pak Adi habis nyalain apa, tadi, sebelum listrik mati?” tanya Pak Opri.
Adi terdiam beberapa detik. Berlagak mengingat-ingat. Padahal sejatinya dia tengah berpikir, bagaimana bisa saklar itu dalam posisi turun, sedangkan tatkala dia mengecek posisinya jelas-jelas tengah ‘on’.
“Oh, itu, coffee maker Pak. Mungkin gara-gara itu. Barangkali, watt- nya terlalu besar atau ada masalah sama coffee maker-nya sendiri. Jadi anjlok deh, saklarnya. Kebetulan air conditioner dan kulkas sedang nyala semua, saat itu,” terang Adi sekenanya, lantaran tak memiliki pilihan lain.
Pak Opri mengangguk-angguk mendengar jawaban Adi.
“Sudah beres, ya Pak?” tanya Mang Anji, kali ini mulai menampakkan kelegaan.
“Iya, ini sudah saya naikkan kembali posisinya. Tapi kok, masih gelap semua. Pak Adi nggak punya emergency lamp, memangnya?” Pak Opri balik bertanya.
“Ada kok Pak. Tiga malahan. Di ruang tamu, ruang tidur dan ruang makan. Sebentar, saya cek dulu,” kata Adi.
Cowok itu beranjak ke dalam rumah kontrakannya, diliputi rasa ragu. Lalu, segera diperiksanya satu demi satu tombol lampu. Ditekannya satu persatu.
“Nah, itu nyala semua,” kata Mang Anji lega.
Adipun mengarah kembali ke ruang makan. Ditekannya tombol lampu yang ada di sana. Seketika, keadaanpun terang benderang. Adi melirik emergency lamp di dinding. Dilihatnya, lampu itu mati. Stekker dalam keadaan terlepas. Persis yang dilihatnya di ruang tamu sebelumnya.
‘Konyol. Gue nggak pernah mencabut stekker emergency lamp di ruang tamu, ruang makan ataupun kamar tidur. Dan seingat gue, pas gue balik dari dapur tadi, tombol lampu dalam keadaan ‘on’ semua. Jahil banget! Ngajak bercanda tapi garing! Cih! Enggak banget!’ dumal Adi dalam diam.
“Gimana, Pak Adi? Aman semua?” tanya Mang Anji dari arah luar.
“Sebentar, Pak,” Adi bergegas masuk ke kamar dan mengambil dompetnya. Ditariknya beberapa lembar uang dari dalamnya dan segera menghampiri Mang Anji dan Pak Opri.
“Terima kasih banyak Pak Opri, Mang Anji. Ini, sekadar untuk beli sarapan nanti,” kata Adi seraya menyelipkan lembaran uang untuk mereka ke tangan mereka masing-masing.
“Jangan Pak Adi, ini sudah bagian dari tugas kami. Memastikan keamanan dan kenyamanan warga,” tolak keduanya serempak.
“Ayolah Pak, ambil saja. Rejeki tidak boleh ditolak. Terima kasih banyak, ya. Nggak lama lagi sudah aplusan, kan sama bagian keamanan yang masuk pagi?” desak Adi.
Mang Anji dan Pak Opri saling berpandangan. Lalu Mang Anji mengangguk.
“Baik, kalau begitu. Terima kasih Pak Adi. Kami tinggal dulu. Kalau perlu bantuan apa-apa, telepon saja ke pos. Ponsel di sana dinyalakan terus, kok,” kata Pak Opri.
“Sama-sama, Pak Opri, Mang Anji,” sahut Adi.
“Mari, Pak Adi,” kata Mang Anji dan Pak Opri yang segera diangguki Adi.
Selepas kepergian kedua petugas keamanan itu, Adi berbalik badan dan mengunci pintu rumah.
“Hoahem..,” Adi berjuang melawan rasa kantuk yang menyerangnya. Diabaikannya kuapnya yang sambung-menyambung. Dia bergegas kembali ke ruang makan.
Fajar sudah hampir merekah sekarang ini. Sungguh tak mungkin lagi bagi Adi untuk tidur meski hanya satu jam saja. Sebab dia khawatir bila tidurnya terlampau pulas, pastilah dia akan kesiangan untuk berangkat ke kantor. Apalah artinya bunyi alarm dari telepon genggamnya, kalau tidurnya tengah nyenyak-nyenyaknya?
Sambil mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali, Adipun menarik kursi, berniat meneruskan pekerjaannya yang tertunda.
^* Lucy Liestiyo *^