“Ada apa?” kalimat tanya itu terdengar amat singkat, dingin, serta tak bersahabat.
Akibatnya, Zizi langsung salah tingkah mendengarnya. Dia jadi grogi dan meremas-remas jari jemarinya sendiri. Tekad besar dan rasa percaya diri yang telah susah payah dipupuknya, rasa gengsi yang telah dengan kesadaran penuh disingkirkannya demi membulatkan niatnya menemui sang empunya suara, rasanya sedang mendapat ujian berat. Sialnya, ini bukanlah sesuatu kemungkinan yang sempat dipikirkannya. Ya apalagi mempersiapkan tindakan antisipasi. Tentu saja belum.
'Gue nggak boleh mundur. Gue nggak boleh putus asa. Sudah sampai sini ya artinya harus berhasil,' bisik hati Zizi, menyemangati dirinya sendiri.
Sekuat hati, Zizi menekan perasaan jengkel serta resah yang menggayuti benaknya. Zizi mendongakan kepalanya, menatap wajah sang penanya dengan intens, berharap sambutan yang lebih ramah dan manis. Malangnya, tidak ada perubahan ekspresi pada wajah di depannya. Sang pemilik wajah tampaknya konsisten, memasang mimik muka yang datar, macam papan luncur saja. Betapa Zizi ingin mengeluh.
Zizi memenuhi rongga dadanya dengan udara, lantas mengembuskan napas kuat-kuat.
Diundangnya ketenangan, pantang membiarkan dirinya terpancing kemarahan. Sofa ruang tamu pondokan Ryn yang sejatinya empuk, tak ubahnya sebuah kursi panas buatnya. Kursi panas yang terasa demikian keras dan berduri, siap melukai pantatnya.
“Ryn, ke mana aja sih, lo? Susah banget buat ditemuin. Setiap kali gue telepon ke ponsel elo, kalau nggak masuk mailbox, nggak dijawab. Kalau gue telepon ke kantor, selalu dibilang lagi on the line lah, lagi nggak di kantor lah. Terus pas gue sempatin ke kantor elo, tetap nggak bisa ketemu elo. Orang kantor lo bilang, lo lagi tugas keluar kota. Beneran, elo sesibuk itu, Ryn? Sampai nggak sempat buat telepon balik atau sekadar kirim sms ke gue?” tanya Zizi dengan gaya menuntut campur memohon. Hapannya, hati Ryn luluh dan segera mendengarkan permintaan tolongnya.
“Ada apa?” ulang Ryn acuh tak acuh, mengabaikan semua pertanyaan Zizi. Dia merasa tidak ada satu pertanyaan yang dilontarkan Zizi kepadanya, yang harus ia jawab.
Tidak ada gerakan menyolok dari Ryn, kecuali jemarinya yang menyugar rambut dengan santai.
Zizi disapa oleh rasa kecewa. Untuk datang kemari saja, dia sudah mati-matian mengalahkan egonya. Mana dia tahu, kalau sambutan Ryn akan sedingin ini? Zizi menggoyangkan kepalanya, membujuk dirinya sendiri.
‘Sabar, sabar, Zizi. Ini demi Adi. Demi kelangsungan hubungan kalian,’ suara hatinya membujuknya lagi.
Mata Zizi memejam sesaat.
“Ryn, gue, tepatnya gue sama Adi, butuh banget bantuan lo,” ujar Zizi penuh penekanan pada setiap katanya, seolah takut ada satu kata yang terlewat atau tak tersampaikan kepada Ryn. Zizi juga sengaja langsung ke inti persoalan, ketika menangkap kesan bahwa Ryn sedang tidak tertarik berbasa-basi.
“Gue enggak bisa,” tolak Ryn menyaingi kecepatan cahaya.
Kalimat yang begitu saklek, tanpa basa-basi.
Mendapat jawaban sefrontal ini, sontak Zizi terperanjat. Kedua alis Zizi nyaris tertaut satu sama lain. Dia terdiam, mencari-cari cara untuk melunakkan hati Ryn, sekaligus membujuk dirinya sendiri agar tetap bersabar dan bertahan di depan Ryn, sampai dia mendapatkan jawaban ‘ya’ atas permintaan tolongnya.
Dua teman sepondokan Ryn melewati ruang tamu, menyapa mereka berdua. Ryn menyahut singkat.
Ia memang termasuk penghuni paling lama di pondokan khusus putri tersebut. Tepatnya, Ryn tinggal di situ sejak keluarganya memutuskan pindah ke luar kota dan menyewakan rumah luas mereka. Berbeda dengan kakak dan adiknya, Ryn menolak ikut pindah saat itu, sebab bertekad akan kuliah di Jakarta. Pilihannya waktu itu, tentu saja mencari rumah pondokan yang nyaman dan menentramkan hati orang tuanya.
“Ryn, gue kan belum bilang mau minta tolong apa. Kenapa langsung disahutin nggak bisa?” tanya Zizi setengah berbisik, bermaksud agar suaranya tak terdengar oleh kawan Ryn. Ditekannya protes yang ingin mencuat dari mulutnya.
Ryn bergumam tak jelas, lalu melayangkan pandang kepada dua kawannya yang rupanya tahu diri, memilih beralih ngobrol di beranda rumah pondokan itu. Suara canda mereka begitu ceria. Kontras benar dengan aura kebekuan di ruang tamu.
“Ngobrol di kamar gue aja, deh,” berkata begini, Ryn segera melangkahkan kaki menuju ke kamarnya. Hati Zizi bagai tersiram seember es, mendengarnya. Adem.
Walau ajakan Ryn belum sepenuhnya mengandung keramahan, Zizi menangkap sikap Ryn berangsur mencair. Apa boleh buat, dia benar-benar sedang sangat membutuhkan bantuan Ryn sekarang ini. Ia mengekor di belakang Ryn, sampai Ryn membuka pintu kamar dan mempersilakannya duduk di kursi yang terletak di depan meja tulis.
“Mau minum apa?” tanya Ryn pendek. Ia membuka kulkas satu pintu yang terletak di sudut kamar kost-nya, mengambil dua gelas kosong dari atas kulkas. Diletakkannya di atas meja tulis.
“Apa aja, Ryn. Thanks,” sahut Zizi.
Ryn mengambil sebuah wadah air dari dalam kulkas, menuangkan isinya ke gelas. Sisi luar wadah itu tampak berembun.
“Kebetulan tadi gue bikin jus tomat. Minum, Zi,” suruh Ryn sembari mengangsurkan gelas yang telah diisi jus tomat itu ke ahadapan Zizi.
Zizi menyambutnya dengan anggukan kepala. Rupanya dia tak seketika tergoda aroma kesegaran dari jus yang tersaji itu. Mungkin di kepalanya hanya berisi Adi, Adi, dan Adi!
“Lo mau ngomong apa?” tanya Ryn setelah Zizi meneguk minumannya.
“Gue perlu bantuan lo, Ryn, penting,” jawab Ryn.
“Kan tadi gue bilang, nggak bisa,” sahut Ryn. Nada suaranya terdengar melunak.
Zizi tak patah arang, apalagi bayangan wajah Adi yang berbeban berat, melintas.
“Ryn, tolonglah! Lo tega ngebiarin gue dalam masalah, sementara lo bisa bantu? Tahu nggak, gue berkali-kali celakain Adi. Sekarang Adi dalam bahaya! Bertubi-tubi masalah menimpanya. Di kerjaan, di kesehariannya. Termasuk, hubungan kami. Karena lo menghilang dan susah dikontak, gue sempat curiga bahwa…,” Zizi menggantung kalimatnya.
“Bahwa itu perbuatan gue?” potong Ryn cepat.
Tiada kesan sinis ataupun pahit, suara Ryn demikian hambar.
Zizi menundukkan wajah mendengarnya. Rasa malu, bersalah dan tak enak hati menggempurnya bersamaan.
“Sori, Ryn! Ya, lo tahu lah, gimana gue. Susah berpikir jernih. Jadinya ya gue menghubung-hubungkan sendiri. Rentetan kejadian buruk ini kan terjadi semenjak kita menengok Bima ke rumah sakit jiwa kapan hari,” Zizi berusaha membela diri, padahal Ryn sama sekali tidak menyerangnya.
Sekarang saja Ryn hanya diam.
Zizipun melanjutkan penuturannya.
“Ryn, semuanya terasa asing buat gue, ganjil. Seperti ada invisible thing yang melakukannya. Dalam kebuntuan pemikiran itu, satu-satunya yang gue anggap berkepentingan sama rusaknya hubungan gue sama Adi, ya …” kembali Zizi menggantung kalimatnya, menanti komentar Ryn. Dengan rasa takut dan tak enak hati, ditatapnya sahabat lamanya.
Di dekatnya, Ryn melipat tangannya ke d**a.
Ekspresi wajah Ryn sungguh datar. Tapi Zizi menduga, ada kemarahan besar yang siap menggelegak. Sekian menit, dinantinya reaksi Ryn. Ia pasrah, sekiranya Ryn akan mencercanya, memakinya.
Nyatanya, Zizi keliru. Ryn hanya menatapnya lurus-lurus. Nyaris tiada bedanya dengan sebuah manekin. Bedanya, manekin satu ini bernapas, dan suhu badannya juga normal.
“Ryn, gue benar-benar mau minta maaf. Sori banget, ya, atas kesalahan gue. Gue ngaku, gue ini picik, pikiran gue sempit, sori,” cetus Zizi penuh sesal.
Zizi tersadar, dirinya telah salah menilai Ryn selama ini. Begitu besarnya kesalahan itu, hingga Zizi berpikir, mungkin Ryn takkan pernah mau memaafkannya.
Ryn masih saja belum bereaksi.
Saat inilah, dalam kegelisahan yang memuncak, mendadak timbul pemikiran lain di hati Zizi.
Zizi membela dirinya sendiri, dan menyalahkan sikap misterius Ryn yang sulit dimengertinya. Zizi ingat, dulu, setiap kali Ryn disudutkan teman-temannya karena dianggap terlambat memberikan peringatan, alih-alih membela diri atau sekadar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Ryn justru menampilkan wajah yang penuh sesal, seolah dialah yang paling bertanggungjawab atas apa yang menimpa kawan-kawan mereka.
Dan satu hal yang mengganjal perasaan Zizi, apalagi jika bukan menyangkut Adi, sang asisten dosen idola semasa dia kuliah dulu. Zizi yakin, sebagaimana dia dan teman-teman lainnya, tentulah Ryn juga jatuh cinta pada Adi. Keyakinan yang sempat membuatnya berpikir terlalu jauh, menuduh Ryn memakai kekuatan gaib untuk merebut Adi dari sisinya. Berhadapan dengan Ryn saat ini, dia merasa dirinya kerdil. Dia merasa malu menyadari bahwa prasangka buruknya itu amat keterlaluan. Dan masih diamnya Ryn, betapa itu menyiksa perasaan Zizi!
“Ryn, kok lo nggak mau ngomong apa-apa, sih? Nyahutin gue, kek! Jangan kacangin gue begini, tolong,” desak Zizi. Nadanya sungguh memelas.
“Lo mau gue ngomong apa?” Ryn balik bertanya. Mungkin diamerasa iba juga karena Zizi sibuk bicara panjang-panjang dan tak berbelas olehnya. Namun, nada suaranya masih tetap sedatar tadi. Juga terasa hambar. Bak sayur tanpa garam.
- Lucy Liestiyo -