Adi meraba sisi luar cangkir kopinya. Masih terasa agak hangat walau telah ia tinggal lumayan lama.
“Syukurlah, soalnya kopi mana enak kalau diminum dalam keadaan dingin,” kata Adi pelan.
Adi pun mengangkat pegangan cangkir, bermaksud hendak menyesap kopinya hingga tuntas.
Malangnya, belum sempat cangkir itu menyentuh bibirnya, Adi telah mendengar bunyi ‘krak’ yang terlalu keras untuk ukuran sebuah pegangan cangkir berbahan keramik.
“Aduh! Sial!” pekik Adi kaget.
Ia merasakan cipratan air kopi di t-shirt putihnya, bersaman datangnya rasa nyeri dan lembap di bagian dalam jari telunjuk kirinya. Adi mencoba menerka-nerka apa gerangan yang terjadi, tetapi konsentrasinya terpecah. Badan cangkir meluncur cepat bersama isinya, tepat di atas laptopnya. Sontak Adi terkesiap.
“Oh, s**t!” seru Adi dengan kepanikan yang berada di level tertinggi.
Lekas diangkatnya badan cangkir, disingkirkannya dari atas bagian keyboard laptopnya. Kemudian, dia buru-buru mengangkat dan memiringkan laptopnya agar air tidak tergenang di atas laptop. Seolah itu belum cukup, sebelah tangannya sekaligus menarik tissue untuk mengelap sisa genangan air kopi yang tampak meresap di sela huruf keyboard laptopnya. Adi bergerak extra cepat, demi mengantisipasi kerusakan pada laptopnya. Ia memilih mengesampingkan rasa perih yang berasal dari bagian telunjuknya, di samping darah kental yang mulai menetes dari sana.
“Please, please, jangan ada yang rusak!” ucap Adi berkali-kali, seolah tengah mengucapkan mantra sakti yang dapat menghindarkannya dari masalah.
Apa daya, rupanya mantranya tak bekerja dengan baik. Semuanya telah terlambat! Ketika Adi berusaha menyalakan kembali laptopnya, laptop itu tidak menyala.
Pantang menyerah, Adi mengulanginya. Akan tetapi, dia gagal dan gagal lagi. Hasilnya masih sama, laptop tetap pada posisi mati.
Adi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dalam risau bercampur jengkel, dijambakinya rambutnya.
“Gila! Data gue ada di situ semua!” seru Adi gemas, ditingkahi pukulan keras ke meja makannya. Keputusasaan ditambah rasa dongkol berbalut kepanikan, mengerubutinya secara serempak. Tak ubahnya kawanan perampok yang menyerang sang korban tanpa ampun. Otak Adi terasa buntu, sulit diajak berpikir untuk mencari solusi.
Begitu merasakan nyeri yang sangat pada telunjuknya yang ikut beradu dengan meja makan, dia baru tersadar, ternyata jari telunjuknya tergores lumayan dalam. Ini membuatnya berhenti sesaat untuk mengurus luka itu. Dia tidak mau ada ‘masalah’ baru. Bagaimanapun, dia tetap memerlukan jari itu untuk mendukung pekerjaannya, toh?
“Ya ampun, kenapa bisa begini sih!” keluh Adi frustasi.
Tangannya bergerak, menjambaki rambutnya sendiri.
Apa boleh buat, kini tidak ada lagi punya pilihan lain baginya, selain menunggu pagi datang dan segera berangkat menuju ke kantor. Dibayangkannya seseorang. Ya, dia berharap orang itu akan dapat membantunya mengatasi persoalan yang datang tak diundang ini.
“Harus bisa! Biasanya juga dia bisa,” cetus Adi yakin.
Adi mencoba memusatkan konsentrasi pada data-data yang tersaji di layar laptop cadangan yang selama ini disimpannya di kantor, tetapi sering kali dia mengerling ke arah Sammy Rahadian Nurhadi yang sedang menghadapi laptopnya. Hati Adi tidak tenang, itu pula yang menyebabkannya meminta agar Sammy tidak membawa laptopnya yang tak sengaja kena tumpahan kopi, ke ruangan IT. Dia mau mengetahui ‘perkembangan pemeriksaan’ yang dilakukan Sammy, dari waktu ke waktu, malah kalau perlu dari detik ke detik.
Rasa risau menyapa Adi, melihat Sammy mengerutkan kening.
Adapun Sammy itu adalah bagian IT yang paling dapat diandalkan oleh Adi dan rekan-rekan mereka di kantornya. ‘Pakarnya’ pakar IT, kalau istilah mereka, sebab selama ini kendala yang berhubungan dengan urusan hardware, dapat ditangani dengan baik, walau di saat bagian IT yang lain telah angkat tangan, menyerah.
“Hei, kenapa? Belum ketemu, penyakitnya?” tanya Adi.
Sammy tak berkata apa-apa setelah lebih dari satu setengah jam mengecek kondisi laptop Adi.
“Gimana, Sam?” desak Adi tak sabar. Dari tadi ia hanya dapat menanti seraya berharap-harap cemas saja.
Sammy mengangkat wajah dan menatap Adi dengan ragu, seakan tidak tega menyampaikan berita buruk kepada Adi.
Cukup sudah. Melihat ekspresi Sammy saja, Adi langsung mendapatkan firasat buruk.
“Ngomong jujur saja deh. Nggak usah ada yang ditutupi. Separah apa,” kata Adi, mirip keluhan.
Sammy diam sesaat, sepertinya hendak mempersiapkan kata-kata yang paling menghibur. Di saat yang sama, dia juga tak mau memberikan harapan kosong kepada Adi.
“Sori banget nih Bos, setelah gue cek, kecil kemungkinannya data-data di sini bisa diselamatkan. Lagi pula, kalaupun bisa gue selamatkan, gue tetap membutuhkan waktu beberapa hari untuk memperbaiki ini semua, sambil menunggu suku cadangnya datang,” perkataan Sammy dari benar-benar kabar buruk bagi Adi. Pernyataan yang membuatnya lemas jiwa maupun raga. Dia butuh waktu beberapa menit untuk menenangkan pikirannya yang mendadak kalut.
“Bos, ada cadangan data di laptop lain, kan? Itu, di laptop yang lagi elo pakai? Di laptop tim-nya elo? Di email, external hard disk, barangkali? Atau di server? Di cloud, mungkin?” tanya Sammy.
Adi meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Gue enggak begitu yakin,” desis Adi.
Pikirannya langsung terasa ruwet, mirip benang kusut.
“Tenang ya Bos, sambil mengingat-ingat, data yang sdah mendesak untuk dipakai, disimpan di mana saja,” ujar Sammy hati-hati.
“Tolonglah Sam, usahakan yang terbaik! Ya, let say sebagian besar data memang ada di Cloud dan server. Mungkin tim gue juga ada yang punya salinan beberapa data lainnya. Tapi masalahnya, beberapa data yang super duper penting, termasuk materi buat rapat lusa sama draft laporan ke Board Of Directors, seingat gue, cuma ada di situ. Gue nggak begitu yakin, pernah gue share ke tim gue karena sifatnya juga belum final,” sahut Adi dengan lesu.
Sammy menatap Adi dengan pandangan prihatin.
“Ya, ya, pasti gue bantu sebisanya. Dibantu doa, ya, Bos!” kata Sammy.
Adi tidak menyahut.
“Eh, mau ke mana, Bos?” tanya Sammy kala mendapati Adi beranjak dari tempat duduknya. Dari gelagatnya, Sammy menduga bahwa Adi akan pergi dari ruangan itu.
“Gue tinggal dulu ya, Sam,” kata Adi.
Sammy terperangah.
“Hah? Lo mau kemana Di? Kalau begitu, gue kerjain di ruangan IT saja deh. Enggak enaklah, gue di sini. Yang punya ruangan aja enggak ada,” Sammy mencabut stekker laptop dari panel listrik.
“Gue mau keluar sebentar, mau cari udara segar Sam. Nggak apa elo kerjain di sini boleh, di ruangan IT juga boleh. Senyamannya elo deh. Terserah, yang penting kabari terus perkembangannya,” sahut Adi pula. Wajahnya demikian keruh.
Sammy manggut.
“Iya, lo butuh banget itu. Sekalian di-setrika deh, itu muka. Lecek banget. Nah, makan dulu gih, entar sakit lagi, kepikiran data-data elo yang raib,” kata Sammy penuh empati.
“Gue bawa aja laptopnya, ya. Tenang, gue usahakan yang terbaik dan nggak ngerjain yang lain dulu. Ini prioritas utama,” kata Sammy yang bangkit dari duduk dan mengangkat laptop Adi.
Adi mengembuskan napas dengan berat, sudah mirip sebuah sebuah dengusan kesal campur putus asa saja.
“Thanks ya Sam,” ucap Adi singkat dan berlalu, melintasi pintu kaca ruang kerjanya. Di belakangnya, Sammy mengambil langkah serupa, meninggalkan ruang kerja Adi.
- Lucy Liestiyo -