Sekonyong-konyong, Adi mendapatkan firasat, ada pesan yang terkirim kepadanya. Pesan, yang mengarah pada penuntutan balas. Sesuatu, yang belum terpecahkan oleh Adi, selain membuat Adi bergidik ngeri.
Walau secara diam-diam, Tante Sheila mencermati perubahan ekspresi wajah Adi. Meski dirinya sendirinya tengah bersusah hati, tak urung empatinya timbul.
“Nak Adi, tidak ada yang dapat melawan takdir. Tante mengerti, kamu pasti tidak menyangka mereka berdua pergi secepat itu. Bima dan kami sekeluarga juga terkejut dan berduka mendengar akhir hidup mereka yang setragis itu. Tapi kita manusia bisa apa? Kita sama-sama doakan saja ya, supaya Robby dan Reifan memperoleh kebahagiaan mereka di alam sana,” cetus Tante Sheila getir, seraya menyentuh pundak Adi dengan lembut.
Adi, yang semua meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, perlahan menurunkan kedua tangannya yang segera terkepal. Dia marah sekaligus malu pada dirinya sendiri. Bayangkan saja, seorang anak muda, yang mengabaikan para sahabatnya demikian lama, diberikan penghiburan dan kata-kata bijak oleh ibu dari salah satu sahabatnya, yang justru saat ini sedang menghadapi cobaan hidup yang tidak ringan!
“Tante Sheila.., saya… saya… benar-benar lost contact sama semuanya. Saya… menyesal sekali, karena saat mereka berdua pergi, saya.. bahkan tak bisa mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir.., nggak sempat mengucapkan selamat jalan ke mereka,” kata Adi lirih dan terbata-bata.
‘Dulu aku yang selalu menghindari kalian, betapapun kalian berusaha mengontakku dengan berbagai cara. Aku yang berkeras hati menutup rapat-rapat semua akses kalian untuk menghubungiku. Aku memilih membuang persahabatan kita yang telah bertahun-tahn terjalin. Tapi sekarang? Tidak ada lagi yang bisa kubuat untuk memperbaikinya. Kita sudah berada di alam yang berbeda. Jarak ini nggak mungkin lagi bisa ditempuh. Kita sudah nggak mungkin saling ketemu muka untuk memaafkan satu sama lain,’ sesal Adi tanpa suara.
Tante Sheila dapat merasakan sesal yang mendalam dalam kalimat Adi.
“Saya.., akan mencari waktu untuk segera nyekar ke makam mereka berdua. Saya mau mendoakan ketenangan jiwa bagi mereka..., sekalian meminta maaf,” ucap Adi kemudian dengan bibir gemetar, mengimbangi dadanya yang terasa amat sesak. Andai saja saat ini tak ada orang lain di dekatnya, rasanya dia ingin menangis meraung-raung, melepaskan segala penyesalan dan rasa bersalah yang menindihnya dengan kejam.
‘Robby, Reifan, I am really sorry!’ Jerit hati Adi.
Tidak ada yang menjawab jeritan hati Adi, kecuali senyap.
Perasaan Adi kembali campur aduk. Pikirannya pun nyaris kacau karenanya.
Usai menyatakan keinginannya untuk nyekar ke makam dua orang sahabatnya, Adi terpekur dalam diam. Sejatinya, kedua matanya sudah memanas, tetapi ditahannya sekuat hati. Adi memilih menunduk dalam-dalam, memejamkan mata sekian detik dan menggelengkan kepala. Hatinya terasa berat, bak digayuti beban dengan tonase besar. Adi berusaha mengenyahkan kepedihan berbalut rasa takut yang begitu kompak, menggempurnya secara berbarengan.
Tante Sheila seperti kehabisan kata-kata. Wanita itu sungguh tidak menyangka bahwa ‘persahabatan indah’ empat sekawan yang pernah disaksikannya dulu, berakhir seburuk itu.
‘Ada apa sebenarnya di antara mereka berempat? Apa yang terjadi? Perselisihan sehebat apa?Mengapa Bima tidak mau membahasnya? Bima itu anak kandungku. Aku dapat merasakan betapa dia menyimpan rahasia. Rahasia yang membuatnya menderita,’ pikir Tante Sheila.
“Tante Sheila, Tante tentu tahu letak makam mereka berdua, kan? Boleh saya minta alamatnya?” tanya Adi setelah cukup lama dia dan Tante Sheila tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Oh, tentu, Nak Adi. Nanti Tante informasikan lokasi makam mereka masing-masing ke ponsel Nak Adi, ya. Mereka dimakamkan di tempat yang berbeda. Orang tua Robby memakamkan putranya di Karawang, tepat bersebelahan dengan makam istrinya Robby. Sementara keluarga Reifan memakamkan Reifan di Pondok Rangon,” urai Tante Sheila.
Adi menengarai, suara wanita itu terdengar jauh lebih tenang kini. Sepertinya, kehadiran dan perhatian Adi yang mau menyempatkan menengok Bima putranya, menjadi sebuah penghiburan tersendiri bagi dirinya.
Adi hanya sanggup mengangguk lemah mendengarnya. Lalu, Adi mengangkat sedikit wajahnya. Dia masih berusaha keras untuk meredakan rasa bersalah yang menyudutkan dirinya dan seenaknya mengendap. Rasa bersalah yang begitu meraja lela, menyesaki dadanya. Apa yang menimpa sahabat-sahabatnya sebelum hubungan mereka membaik, sungguh membuatnya dicekam rasa ngeri yang besar.
Lantas, dua orang berbeda generasi itu saling diam. Tampaknya mereka berdua memikirkanhal yang berbeda saat ini. Tante Sheila, tentu saja memikirkan kondisi putranya tercinta, Bima. Adi sendiri melayangkan pirikannya kepada Robby dan Reifan.
“Nak Adi,” panggil Tante Sheila kemudian, memecah senyap yang sempat tercipta di antara mereka.
“Ya, Tante Sheila?” sahut Adi pelan. Hatinya dag dig dug tidak karuan. Tak ubahnya orang yang sedang menonton film thriller, pada adegan sang peneror mengejar-ngejar pelaku pembunuhannya.
Terlihat Tante Sheila menarik napas panjang sebelum memulai perkataannya. Sepertinya, Tante Sheila tengah mengumpulkan segenap kekuatan sekaligus kepasrahan yang lebih dalam.
Adi menunggu dalam was-was. Dia sudah tak tertarik memaksa otaknya untuk sekadar menebak-nebak, apa gerangan yang hendak disampaikan oleh Tante Sheila.
‘Jangan ada hal lain yang lebih mengejutkan, Tante. Jangan! Saya sungguh sedang nggak ingin mendengar apa pun yang berpotensi membuat saya semakin gamang. Apa yang saya dengar hari ini, sudah lebih dari sebuah guncangan besar. Saya..., saya nggak mau mengalami depresi sebagaimana...,’ bisik hati Adi. Merasa tak etis, Adi pun tidak melanjutkan internal dialognya.
“Setelah merenungi rentetan kejadian ini, terus terang Tante jadi menduga-duga, ada sesuatu kesalahan yang pernah dilakukan oleh Bima,” Tante Sheila mengambil jeda barang semenit.
Adi tambah resah saja, tetapi tidak sampai hati untuk mendesak agar Tante Sheila mempercepat apa yang hendak dituturkan kepadanya. Dalam diam, Adi menyabar-nyabarkan hatinya. Namun apa daya, dia toh tak sanggup juga pada akhirnya.
‘Aku nggak bisa dibuat penasaran macam ini,’ pikir Adi.
“Maaf..., maksud Tante apa? Kesalahan macam apa?” akhirnya terucap juga pertanyaan ini dari bibir Adi, setelah merasa tersiksa dalam penantian.
Lagi-lagi, Tante Sheila tidak segera menjawab. Pandangannya menerawang jauh, seakan-akan sedang mengumpulkan segenap memorinya dan mengaitkan setiap peristiwa yang menimpa putranya. Ada pertentangan yang terjadi di hatinya.
‘Bilang. Tidak. Bilang. Tidak...,’ pikir Tante Sheila. Wanita itu menimbang-nimbang di dalam diam.
Kemudian, wanita paruh baya itu menghela napas panjang, menahannya sekian detik sebelum mengembuskannya perlahan.
“Tante berpikir, ada kesalahan yang telah diperbuat Bima, dan kesalahan itu menyebabkan penyesalan mendalam di hatinya. Kesalahan yang membuatnya kian tertekan karena tidak mampu untuk mengungkapkan kepada orang lain, termasuk Tante,” terucap juga akhirnya kalimat ini.
Adi tertegun. Tak pelak, Adi terkenang kembali gambaran Bima yang dulu. Bima yang kerap kali mengeluhkan ‘hal-hal remeh’. Bima yang merasa selalu kurang, dibandingkan saudara-saudaranya maupun orang lain.
Tante Sheila menatap Adi dengan pandangan menyelidik yang tak tersembunyi.
Adi merasa risi ditatap seperti itu. Ah, betapa Adi ingin mengelak dari tatapan Tante Sheila. Jelas terselip permohonan di dalam tatap mata itu. Permohonan agar dirinya berterus terang, entah di bagian mana harus berterus terang. Dan alangkah gentarnya hati Adi. Benar saja, apa yang ditakutkannya, akhirnya toh harus didengarnya pula.
^* Lucy Liestiyo *^