“Respons, dong Ryn! Marah kek, ngomel kek, atau maki-maki gue juga boleh. Apa aja deh, gue terima. Asalkan setelah itu, lo janji mau bantuin gue!” kata Zizi.
Terdengar dengusan halus dari Ryn. Gadis itu berjalan beberapa langkah kemudian berbalik lagi. Selintas mirip orang yang tengah memikirkan permasalahan yang luar biasa pelik dan tiada jalan keluarnya.
Mata Zizi mengawasi pergerakan sekecil apapun yang dilakukan Ryn. Zizipun mengingat-ingat kembali rangkaian peristiwa yang dialaminya.
“Ryn, gue yakin lo tahu kan, bakal begini kejadiannya?" tanya Zizi.
Ryn mngembuskan napas dan hanya menatap sahabatnya itu.
Zizi mulai gemas.
"Tolong, Ryn, kali ini kasih tahu gue. Berbagi sama gue. Gue ingat sekarang, waktu di taman rumah sakit jiwa itu, pasti lo melihat dan bahkan mengalami sesuatu yang buruk. Kebayang sama gue, mendadak lo seperti orang yang lagi kesakitan. Lo pasti sengaja kan, mengalihkan perhatian gue dengan nyuruh gue main game? Iya, kan? Dan Adi juga seperti orang dapat ‘serangan’ pas keluar dari gedung,” tuntut Zizi.
Ryn sulit menyangkal, dia tersentuh mendengar perkataan Zizi. Menangkap kebingungan bercampur kecemasan dalam kalimat Zizi, Ryn bersandar ke tembok. Ditekannya perasaannya yang campur aduk, agar tak secuilpun terbaca oleh Zizi.
Miris melihat keadaan Zizi yang tampak terpuruk, Ryn menyadari posisinya saat ini. Ia menghadapi dilema. Sisi hatinya yang satu terdorong untuk melancarkan protes, mengapa dirinya harus terseret, ikut dikejar padahal tiga bulan terakhir ini dia berpikir, dia dapat menghindar, lari sejauh mungkin agar jangan sampai terlibat. Itu sebabnya, dia menjauhi Zizi.
Detik ini, sisi hatinya yang lain berkata, ini lah panggilannya. Dia tak boleh berpangku tangan, mengabaikan Zizi, dan membiarkan kondisi Adi menjadi lebih parah lagi.
“Ryn, tolong, ya? Gue sama Adi yakin, lo bisa bantu. Tolong ya, tolong ungkap ada apa di balik semua ini. Supaya bisa dicarikan solusinya,” pinta Zizi. Memelas sekaligus menuntut. Sorot matanya menyaingi mata bocah yang meminta dibelikan hadiah sebagai apresiasi karena dirinya telah meraih peringkat tertinggi di kelasnya.
Ryn menghampiri sebuah kursi di dekat lemari. Memindahkan boneka panda besar yang berada di atas kursi itu ke peraduannya. Berikutnya, diangkatnya kursi itu, mendekat ke meja tulis. Tak lama setelah duduk, Ryn mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya ke meja tulis. Seperti tengah berpikir keras.
Zizi mengamatinya, menanti dalam harap dan cemas. Disabarkannya hatinya menunggu saat Ryn buka mulut. Detik demi detik yang berlalu, terasa lamban dan menyiksa baginya.
Betapa dia terhibur kala melihat ada pergerakan di bibir Ryn.
Syukurlah, dua menit berselang yang terasa bagaikan seribu tahun bagi Zizi, akhirnya Ryn berdeham, lalu berkata, “Zi, gue mau terus terang ke elo.”
“Apa?” kejar Zizi, tak sabar lagi.
Ryn menelan ludah sebelum memulai uraiannya.
“Sebenarnya gue sudah mendapat semacam peringatan sewaktu kita nunggu di taman itu. Gue dapat sedikit penglihatan. Gue bisa ngeraba, bakal begini kejadiannya. Sayangnya, ini di luar kemampuan gue. Gue kesal dan cuma berharap pertanda buruk itu salah. Makanya, gue berusaha nggak berurusan sama kalian. Gue cuma bisa doain supaya kalian terus terlindung, terhindar dari bahaya. Gue nggak siap, mendapat kabar buruk soal kalian. Sekecil apapun,” terang Ryn, mirip sebuah keluhan tertahan seseorang yang menghindari masalah, tetapi kini justru harus menanggung beban berat.
“Ryn, terus kenapa nggak bilang?” tanya Zizi dengan nada putus asa. Mendadak Zizi teringat dua hal. Yang pertama, adalah ketika Ryn menyuruhnya menyetir mobil Adi sepulang dari menengok Bima. Selanjutnya, dia juga ingat, Adi bilang beberapa kali mengalami kecelakaan.
Terlihat Ryn memejamkan mata sesaat, mengembuskan napas, persis perilaku orang yang hendak melepas impitan beban. Sesaat kemudian, ada senyum samar terukir di bibir Ryn. gadis itu menatap lurus kepada Zizi.
“Kalimat lo itu nggak ubahnya refrain lagu, ya? Teman-teman juga selalu bilang begitu, kan, kalau ada kejadian fatal?” pertanyaan Ryn terdengar pahit.
Bagaimana tidak pahit? Pasalnya, tidak semua yang diketahuinya dapat diberitahukannya pada orang lain. Andai boleh memilih, kerap kali terpikir olehnya, lebih baik dia tak memiliki kelebihan ini. Benar, di saat peringatannya dituruti dan orang terhindar dari masalah, dia terhibur dan lega karena mampu menolong orang. Tapi lain ceritanya jika ketemu orang bandel dan sok logis. Cuma penyesalan menderanya, saat mendengar mereka terkena musibah setelahnya. Ryn merasa bersalah dan terbeban karena peringatannya diremehkan, apalagi dijadikan bahan bercanda.
‘Nggak penting buatku, memikirkan perasaan tersinggung lantaran diejek, dianggap aneh dan halu. Bagi aku, itu nggak perlu kumasukkan ke dalam hitungan. Faktanya, aku sadar kok, aku ini hanyalah manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan. Penglihatan yang melintas sewaktu-waktu itu bukan seturut kemauanku, melainkan datang begitu saja. Itu bisa terjadi, bisa juga meleset, nggak pernah ada jaminan pasti,’ batin Ryn.
“Ryn, sori! Gue benar-benar minta maaf, sekali lagi. Oke, oke, mau seribu kalipun gue minta maaf, mungkin lo nggak bisa terima. Gue bisa ngerti, kok. Tapi satu hal, Ryn, gue yakin lo bisa nolong gue. So please, do help, Ryn!” harap Zizi dengan mata mulai berkaca-kaca, membuat Ryn merasa dituntut.
Ryn mengelak dari tatapan Zizi. Dia paham, hatinya yang lembut, takkan pernah sanggup melihat ada orang menangis di depannya. Apalagi menangisnya itu dalam rangka memohonnya melakukan untuk sesuatu. Dia sangat kenal bagaimana lembutnya perasaannya, betapa mudah tersentuh dan terbeban akan permasalahan orang lain. Segala yang disimpannya rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Ditutupnya rapi melalui sikap tegar, minim ekspresi dan irit kata, yang kadang menimbulkan salah paham dan membuat orang lain menyangka bahkan memberikan stempel kejam, menganggap dirinya tidak pedulian.
“Ryn! Tolong gue!” mendadak, Zizi menubruknya, memeluknya dengan erat.
Ryn mematung, tak segera bereaksi membalas pelukan itu. Diam-diam, dia mengeluh dalam hati, merasa tak bisa menepis lagi, sebuah kewajiban yang tahu-tahu diletakkan di pundaknya.
“Zi, sori, gue paling ogah ngomong terlalu detail begini. Dari awal gue yakin, ini di luar kemampuan gue. Yang gue lihat itu hanya sepotong-sepotong. Serba rancu. Susah diungkapin dan dikait-kaitkan. Gue takut kalau gue salah baca. Soalnya, ini menyangkut sesuatu yang terjadi di masa lalu. Selama ini kan, seringnya gue nerjemahin penglihatan ke depan,” tutur Ryn, berharap Zizi maklum.
Nyatanya, Zizi tidak mau menyerah begitu saja. Walau sedikit mengurai pelukannya, dia malah tambah bersemangat mendengar Ryn menjawabnya dengan kalimat sepanjang itu. Dia melihat, harapan itu ada. Harapan untuk mengurai benang kusut ini.
“Coba dulu dong, Ryn. Gue mau ketemuin lo sama Adi akhir minggu ini. Biar dia bisa cerita. Mau ya, Ryn? Please? Biar gue sama Adi jemput lo. Pakai rumah gue deh buat ngobrol. Kebetulan bokap nyokap lagi di luar negeri. Kakak-kakak gue juga lagi ada outing program dari kantornya, mereka pada nginap di luar kota. Kan paling ada para asisten rumah tangga doang, jadi nggak usah sungkan,” usul Zizi lancar.
Ryn mengeluh dalam hati. Menyesali buah simalakama terhidang di depannya. Dia tidak tahu harus protes pada siapa, karena tiba-tiba berada di posisi sulit macam ini.
“Terserah deh. Tapi, jangan berharap terlalu banyak, ya,” kata Ryn akhirnya, yang bersambut pelukan lebih erat dan tatapan penuh terima kasih dari Zizi.
“Zi, lo mau bunuh gue? Gue sesak napas nih! Lepasin!” kata Ryn, menyuruh Zizi membebaskannya dari pelukan erat itu.
“He he he… sori, sori! Soalnya gue terlalu lega, Ryn! Thanks ya Ryn, akhirnya lo bersedia bantu gue. Elo tuh memang benar-benar teman sejati gue, dari dulu,” sahut Zizi malu-malu, sedangkan Ryn hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Zizi.
Gara-gara kedatangan Zizi dan permintaannya yang pantang untuk ditolak, perasaan Ryn menjadi gamang luar biasa. Di saat yang sama, ia merasakan pikirannya juga begitu penat.
‘Andai lo tahu, Zi, hati gue belum semantap yang lo kira,’ kata Ryn dalam diam.
Ada rasa gentar di hati Ryn, mendapati asa yang berlebihan, di mata Zizi. Seolah, Zizi sudah 'mempercayakan kasus yang dialami Adi' kepada dirinya.
*^ Lucy Liestiyo ^*