“Nak Adi, sekiranya Nak Adi tidak keberatan, tolong luangkan waktu untuk menengok Bima lagi di lain waktu, ya. Tante pasti akan beritahu, bila kami jadi memindahkannya dari sini, ke tempat perawatan yang lebih memadai. Terima kasih banyak Nak Adi atas dukungan moralnya ke Bima,” kata Tante Sheila penuh kehati-hatian.
Tenggorokan Adi serasa tercekik. Spontan, Adi menelan ludah demi membasahi kerongkongannya. Apa yang didengarnya barusan, sungguh permintaan yang sulit ditolaknya. Bahkan mustahil! Mana mungkin dia sanggup mengecewakan ibu dari sahabatnya, yang telah dengan sangat rendah hati mengungkapkan permintaan macam itu padanya? Permintaan yang dibalut dalam kata-kata yang tertata begitu apik, menggambarkan betapa Tante Sheila menjaga perasaan dan privasinya? Padahal..., keadaan sang putra sendiri juga teramat mengkhawatirkan di dalam sana!
Berhadapan dengan seorang ibu senantiasa membuat diri Adi merasa kecil.
‘Duh, Tante, bagaimana bisa saya sanggup membuat Tante kecewa? Saya tahu, keadaan sekarang pasti amat berat buat Tante sekeluarga. Tetapi saya melihat sendiri, sepanjang pembicaraan tadi Tante berusaha tegar, tidak mengumbar kesedihan dan stress-nya Tante. Alangkah berdosanya saya, kalau tetap egois dan berkeras hati, tidak mempedulikannya hanya karena memikirkan ketentraman pribadi saja,’ keluh Adi dalam hati.
Berpikir demikian, pikira Adi melayang kepada sang Ibu yang tinggal di desa.
“Saya akan usahakan, Tante. Sekarang, saya pamit dulu. Tante dan keluarga yang sabar dan tetap semangat ya, supaya semangat itu menular pula ke Bima. Kita percaya saja ya, Tante, Bima pasti sembuh. Semua penyakit itu ada obatnya, kan?” pesan Adi, memerangi kisruh di hatinya. Sesungguhnyalah, dia tengah mengafirmasi pada diri sendiri.
“Amin. Terima kasih sekali lagi Nak Adi,” Tante Sheila mengangguk.
Wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi setelahnya, selain melepaskan kepergian Adi dengan tatap mata lelah.
Dan Adi segera melangkah, seolah ingin lari sejauh mungkin dari perangkap bernama mimpi buruk. Pantang baginya untuk menoleh ke belakang lagi. Bisa jadi, keputusannya ini tepat. Sebab tanpa setahunya, di belakang sana, Tante Sheila tidak segera menengok putranya, namun terus menatap punggung Adi yang menjauh, kemudian menangis dalam keputusasaan. Ya, tangis yang sejak tadi mati-matian dibendung wanita itu di depan Adi, akhirnya tumpah juga. Segala ketegaran serta kesabaran yang diperlihatkannya di hadapan sahabat dari putranya, ternyata ada batasnya. Dia merasa amat lemah saat ini, dan tergoda keinginan untuk mengangkat kedua tangannya, menyerah bulat-bulat, membiarkan semesta yang mengambil alih seluruh masalahnya.
Beberapa langkah lagi, Adi akan melewati pintu untuk pengunjung. Dipikirnya, pasti setelah melalui pintu itu, hatinya akan berangsur tenang. Pasalnya, sedari tadi dia terpaksa beberapa kali memalingkan wajah kala melihat beberapa pasien rumah sakit gangguan mental yang berada di luar ruang perawatan ditunggui oleh tenaga medis. Dia tidak tega dan tidak rela, membayangkan Bima sahabatnya bakal seperti mereka.
“Tatapan mereka kosong. Perilaku mereka... menyedihkan dan sulit dipahami. Sebentar tertawa terbahak-bahak, lalu dalam sekejap seperti sedang merenung, lain kali menangis atau marah-marah nggak jelas. Terus, ada juga yang berebut boneka dengan pasien lain, mengatakan bahwa itu adalah anaknya. Ada pula yang mendadak menyerang pasien lain yang sedang menyisir rambut dan menyanyi-nyanyi sendirian, lalu menjambak dan mengata-ngatai pasien lain, menuduhnya sebagai 'pelakor', yang telah menghancurkan rumah tangganya. Padahal gue yakin, belum tentu mereka saling mengenal satu sama lain. Bim, berjuang Bim, elo harus cepat sembuh!” gumam Adi sedih. Ia mempercepat ayunan langkahnya. Ingin benar dihapusnya dari memori otaknya, semua yang dilihatnya dengan matanya sendiri, hari ini.
“Gue cuma mau lihat Bima yang dulu. Janji sama gue untuk sembuh Bim!” kata Adi pada dirinya sendiri.
Sesampainya di luar, Adi celingukan sebentar. Adi menoleh ke kanan dan kiri, mencaritahu di manakah keberadaan Zizi dan Ryn lewat pandangan matanya. Secuil kelegaan menyapanya kala melihat dua gadis itu sedang duduk di bangku taman. Dia ingin secepatnya menghampiri Zizi dan Ryn, lantas mengajak keduanya selekasnya pergi dari tempat ini.
Baru saja dia akan mendatangi mereka, dirasakannya sekujur tubuhnya melemas secara mendadak. Tulang-tulangnya seolah dilolosi satu demi satu. Dan bagian belakang kepalanya bak terhantam benda keras, menyebabkan pandangan mata Adi kian memburam. Adi berusaha bertahan, hanya berbekal tekad di hatinya. Sementara raganya, tampak sedang mengkhianatinya saat ini.
Beruntung, seperti menangkap signal bahwa keadaan Adi mempersulit Cowok itu untuk berjalan ke arahnya, Zizi kebetulan juga tengah menatap ke arah di mana Adi berada. Seketika, kekasih Adi itupun terkesiap.
“Ya ampun, kok Adi pucat begitu? Dia kenapa? Diapain sama Bima di dalam sana?” teriak Zizi.
Tanpa berpikir panjang, diulurkannya tangannya, dan langsung menarik Ryn sekeras mungkin, mengajak sahabatnya itu berlari agar dapat mencapai tempat Adi berada secepat mungkin.
Ryn tersentak. Dia pasrah setengah diseret oleh Zizi.
Zizi dan Ryn sampai di depan Adi. Napas keduanya terengah-engah setelah berlari barusan.
“Di, Sayang, Kamu kenapa? Kok meringis seperti orang kesakitan gitu? Apanya yang sakit?” tanya Zizi penuh perhatian seraya memegangi lengan Adi, menahan agar sang kekasih tidak terjatuh. Tatap matanya menyapu wajah Adi, menerka-nerka dalam diam, apa yang tengah dirasakan oleh Adi.
Dalam suasana begitu, Zizi melirik Ryn. Dilihatnya, Ryn menatap tanpa ekspresi. Hampir saja Zizi tersulut jengkel dan menegur sahabatnya itu secara frontal, yang dianggapnya tidak punya perasaan dan kepedulian sama sekali. Namun sebelum dia sempat melakukannya, suara Ryn terdengar lebih dahulu.
“Zi, elo yang nyetir, ya! Antar Adi ke rumah kontrakannya. Gue ikut sampai persimpangan jalan depan saja,” suruh Ryn datar, tak ubahnya sebuah kalimat berita semata.
Zizi tidak tahu, saat memberikan semacam instruksi pada dirinya barusan, sebenarnya Ryn sedang mengelak menatap langsung sebuah siluet yang tertangkap oleh mata batinnya. Ryn melihat sosok itu tengah berdiri, tepat di belakang Adi dan mengawasi setiap pergerakan Adi. Bukan mustahil, bila sosok itu tengah mengincar Adi.
Mendengar kalimat Ryn yang datar yang terkesan tak terbantah, Zizi mengerutkan kening dan berbisik pelan, “Kenapa Ryn? Lo dapat firasat apa?”
Jangankan bereaksi, menyahut saja, Ryn merasa enggan.
Dirinya justru sibuk menyambungkan antara siluet yang dilihatnya, serta suara-suara ancaman yang tadi didengarnya selama menunggu kembalinya Adi.
Zizi gemas jadinya. Ia mencondongkan wajahnya pada Ryn. Zizi terang-terangan mengamati mimik muka Ryn. Zizi berusaha keras mencari-cari adakah sesuatu yang dapat ‘dibacanya’ dari sana. Namun tindakannya sia-sia belaka. Didapatinya, tatapan Ryn justru terkesan acuh tak acuh. Kesal rasanya.
“Lakukan saja Zi. Lagi pula, wajar dong, kalau elo nolongin pacar lo. Orang kelihatannya lagi nggak sehat begitu, kok, masa dipaksain buat nyetir. Boleh jadi, dia terguncang, sedih melihat temannya tadi. Logis, kan?” perkataan Ryn yang telak, ampuh membuat Zizi tak bisa membantah sedikit pun. Mulut Zizi langsung terbungkam.
Well. Logis, itu kata kuncinya. Gue sering bilang begitu, kan? Dan sekarang gue kena batunya, kemakan sama omongan gue sendiri. Ryn, kenapa elo setega ini? Nggak bisakah elo ucapin ini di momen lainnya? Bisa nggak sih, berempati sedikit, pahami kondisi gue saat ini? Pacar gue, kesayangan gue keadaannya lagi nggak baik! Sesal Zizi dalam hati.
Zizi berpikir bahwa Ryn tengah menyindirnya.
Detik ini pula, ia merasa ada jarak yang terentang antara dirinya dengan Ryn.
Jarak yang sulit untuk direngkuhnya. Sangat sulit.
*^ Lucy Liestiyo ^*