“Di, kalau kamu nggak mau cerita sejelas-jelasnya, gimana caranya aku bantu kamu? Paham maksudnya, kan?” tanya Ryn.
Terbias ketegasan nyata, dalam suaranya yang minim perbedaan intonasi di setiap katanya.
Adi langsung terbungkam mendengarnya.
Dia menatap bimbang ke arah Zizi. Dirasakannya dilema yang demikian hebat. Sekilas, seraut wajah bagai melesat di hadapannya. Teramat gesit dan cepat, seolah berpacu dengan kecepatan angin. Sungguh sulit dipercaya, dalam satu kedipan mata saja, Adi sudah tak melihatnya lagi. Kemunculannya yang singkat dan mendadak, mungkin di hitungan sepersekian detik, seolah hanya bermaksud membawa pesan sekaligus peringatan, menegaskan bahwa dia benar-benar ada, dan terus memantau gerak-gerik Adi.
Kendati belum sempat melihat secara jelas tampilan sosok barusan, dugaan Adi akhirnya mengarah kepada satu sosok yang sama, sosok wanita dengan raut wajah melankolis yang makin sering sembarangan muncul itu. Raut wajah yang sesekali terbayang di saat Zizi tak menyadari bahwa dirinya tengah kesurupan.
Adi langsung bergidik ngeri membayangkan sorot mata yang dimiliki oleh Cewek berwajah melankolis itu. Sorot mata yang nyalang, penuh dendam kesumat, seakan hendak membunuhnya. Adi berusaha mengingat-ingat, siapakah nama Cewek itu. Lalu mendadak, telinganya mendapat bisikan keras, yang lebih mirip bentakan, “Lyra!”.
Bisa jadi, sosok itu sudah dongkol tingkat dewa, sehingga harus meneriakkan namanya sekeras itu. Sejujurnya, bulu kuduk Adi meremang seketika mendengar bentakan lantang di telinganya. Nyalinyapun kian menciut.
Apa yang menimpanya ini sangat ganjil, di luar nalar. Segala logika yang dipunyainya terasa tak berguna untuk memahami rentetan peristiwa aneh yang telah dialaminya. Semua buku teori yang menjadi andalannya semasa kuliah maupun yang dijadikan referensi pendukung dalam pengambilan keputusannya di kantor, tak dapat diterapkan, demi menyibak misteri yang berlangsung.
“Ryn, apa mungkin, ada semacam roh halus yang meneror Adi? Soalnya..., teman-teman akrabnya juga meninggal dunia secara tragis,” pertanyaan tak terduga dari Zizi, mau tak mau mengingatkan Adi pada ketiga kawannya yang telah mendahuluinya.
Alih-alih menjawab, Ryn diam saja. Senyap yang cukup lama, untuk membuat Adi teringat, dua malam berturut-turut, Bima mendatanginya melalui mimpi.
- Kilas Balik -
“Gara-gara elo, Di! Kalau elo lebih sungguh-sungguh mencegah, nggak akan pernah terjadi peristiwa seperti itu, dan rentetannya. Elo yang seharusnya menanggung akibat paling berat!” kata-kata cercaan Bima dalam mimpinya terngiang lagi di telinganya.
Dalam mimpi itu, Adi menggelengkan kepala kuat-kuat dan bergumam, “Gimana mau mencegah kalian yang mabuk berat begitu?”
Jawaban Adi justru membuat Bima kian gusar. “Cuci tangan ya? Justru karena elo itu satu-satunya yang nggak mabuk, sudah semestinya mengerahkan segala daya, menghalangi Roby, Reifan dan gue,” sentak Bima, yang kemudian berteriak-teriak seolah membela diri, mengatakan bahwa dia tak bersalah dan tak patut disalahkan sebab dia tak mengambil bagian dalam kejahatan itu. Bima juga bilang, akibat terlalu mabuk dan kelelahan usai mematahkan perlawanan Adi, dia jatuh tertidur di dekat pintu.
Mimpi itu terputus ketika Ferdi membangunkan dirinya, yang ternyata tertidur di meja kerjanya, tepat saat dirinya berteriak-teriak membela diri, mengatakan bahwa dia tak mengingat apapun lagi akibat pukulan teman-temannya. Tinggallah Ferdi yang terbengong, menatapnya dengan prihatin seraya menaruh styrofoam berisi bubur ayam Cikini yang berjualan nonstop selama 24 jam itu.
Ferdi yang datang menemuinya mengenakan kaus oblong dan celana training itu mengatakan, dia baru akan lari pagi, namun mengingat Adi tengah menginap di kantor, dia sengaja membelikan bubur untuk sarapan nanti dan menyempatkan singgah ke kantor barang sejenak. Penuh kesungguhan, Ferdi bilang, dia pasti akan membantu Adi semampunya. Tampaknya dia sungguh maklum kesulitan yang dihadapi Adi.
“Gue ngerti betapa berartinya data-data itu buat elo. Secara, elo kan kerjanya serba pakai data. Tenang, Di, gue akan bantu sebanyak yang gue bisa,” janji Ferdi pula.
“Thanks, Fer,” sahut Adi. Ya, betapa Adi terhibur mendengarnya. Tak ada kata apa pun yang sanggup diucapkannya lagi sebagai ungkapan terima kasihnya atas dukungan dan perhatian yang ditunjukkan oleh Ferdi. Bahkan hingga hari-hari selanjutnya. Meski Ferdi dan dirinya mempunyai fungsi yang dapat dikatakan berbeda bahkan cenderung berlawanan kepentingan, di mana Ferdi adalah Profit Center sedangkan Adi merupakan Pengendali Cost Center, toh di luar urusan pekerjaan, mereka dapat bersahabat bahkan saling mendukung.
- Akhir Dari Kilas Balik -
“Gue pulang dulu deh, Zi. Kaya’nya percuma juga, gue di sini. Mending kalian lanjutin malam mingguan berdua deh,” kata Ryn tiba-tiba, sambil bangkit dari duduknya. Kejemuan tergambar nyata di parasnya.
Lamunan Adi terputus, sementara Zizi bagai disengat lebah mendengarnya.
“Ryn, jangan gitu dong! Yang lo lihat apa?” dalam kagetnya, Zizi buru-buru mencegah kepergian Ryn dari rumahnya. Beruntung, Ryn mau mendengarkannya. Gadis itu membatalkan niatnya dan duduk kembali.
"Sabar Ryn, mungkin Adi perlu sedikit waktu buat menceritakan ke elo. Elo minum dulu deh, makan kuenya. Santai aja Ryn," bujuk Zizi.
Ryn hanya mengangguk kecil.
Zizi menatap Adi dengan pandangan memohon.
“Sayang, kamu tahu kan, nggak gampang ngajak Ryn kemari? Tolong kerjasamanya, Di!” bujuk Zizi di telinga Adi kemudian.
Adi tak menyahut, melainkan hanya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Dia menghela napas panjang berkali-kali. Sepertinya, Adi tengah mengalami pertentangan batin saat ini.
“Di, ayolah! Aku mau ada solusi dari semua ini. Aku nggak rela kamu begini terus,” bujuk Zizi, meraih tangan Adi dan membawanya ke pipinya, meresapinya, lantas menciumi tangan itu dengan sayang. Seolah tidak ada Ryn di ruangan yang sama, pandangan mesra Zizi menyapu wajah Adi.
Ryn menahan napas melihat pemandangan di depannya. Andai bisa, mau rasanya dia rabun sesaat, sehingga tak perlu menyaksikan semua itu. Oh bukan, bukan perkara cemburu. Memangnya boleh, mencemburui pacar orang? Dia merasa jengah, that’s all. Wajar, kan?
Sementara itu, Adi balik menatap wajah Zizi.
Melihat kecemasan membayang di paras sang kekasih, rasa bersalahpun menegur Adi.
“Zi, boleh tinggalin aku sebentar nggak, sama Ryn? Ya… mungkin sekitar lima, sepuluh menit?” tanya Adi ragu, sesaat kemudian.
“Ber.. dua? Berdua doang, maksudnya?” Zizi menatap wajah keduanya berganti-ganti. Keraguan campur kecurigaan membayang di wajahnya. Hatinya galau seketika melihat anggukan mantap dari Adi. Jelas dia kian keberatan.
'Lima menit? Sepuluh menit? Itu waktu yang terlalu lama! Mereka bisa ngomong bahkan ngapain saja dalam waktu selama itu. Gimana kalau mereka berdua memanfaatkan celah waktu itu untuk berselingkuh?’ Protes Zizi dalam hati.
Zizi digoda rasa cemburu berlapis curiga yang melintas tanpa diundangnya. 'Sejarah' masa lalu, ketika dirinya serta Ryn sama-sama kuliah dan ia kerap memergoki Ryn tengah mencuri pandang ke arah Adi yang tengah menyampaikan materi kuliah di depan kelas, terbayang olehnya. Rasa insecure serta merta menyerangnya.
Lalu Zizi menoleh ke arah Ryn, mencemati raut wajah Ryn yang minim ekspresi, malah menyiratkan kesan tak acuh.
Pandangan Zizi beralih ke wajah Adi dan menemukan mimik muka Adi yang jauh dari perkiraannya. Ada keresahan, keraguan dan beban yang menggayut di sana.
“Di, aku nggak mau ikut campur urusan kalian lebih jauh. Apalagi bikin keadaan semakin keruh. Masalahnya akan melebar ke mana-mana nanti. Oke gini, Zi, ada yang Adi mau sampaikan, tapi dia takut berakibat kehilangan lo,” cetus Ryn tak sabar.
Jauh di lubuk hati Ryn, ada yang meronta-ronta. Sekuat hati ditekannya segenap rasa yang tengah berebut agar mendapat porsi terbesar untuk diperhatikannya. Rasa tak nyaman, cemburu, terabaikan, sedih, cemas dan memuja, cinta yang terlalu dalam, sampai ingin segera terbebas dari belenggu ini.
‘Ini salah, Ryn! Kamu nggak boleh begini! Ini bukan kamu. Kamu nggak biasanya begini,’ suara hatinya menegur Ryn.
Zizi terkejut mendengarnya, dan nyaris mempertanyakan, “Ryn? Lo, bisa ngomong se-frontal ini? Bukan Ryn banget!”
Bagai baru tersadar, Ryn mengeluh di dalam hati.
Namun setelahnya, dia membela diri.
'Kadang-kadang kalau dalam keadaan terdesak, seseorang bisa ‘menjelma’ menjadi sosok asing, apalagi sekadar cara bicara. Masalahnya apa?' pikir Ryn.
Ryn melirik arlojinya dan berkata, “Sori, gue nggak mau ada prasangka baru. Ditambah bumbu-bumbu kecemburuan yang nggak pada tempatnya. Jadi Di, ngomong saja. Gimana Zizi nanggapin nantinya, itu urusan kalian berdua.”
*^ Lucy Liestiyo ^*