Zizi melongo. Dia tidak mengira sedikitpun, Ryn sanggup berkata se-saklek itu. Seperti luapan kekesalan yang selama ini mengendap, dikemas rapi dalam kata-kata lugas serta tanpa nada. Tanpa memperlihatkan emosi berlebih.
Karenanya, dibisikinya Adi, “Sayang, kamu bilang nggak mau ada rahasia-rahasia lagi? Kamu sudah janji, kan?”
Adi mengeluh dalam diam. Lantas senyap meraja. Tidak ada seorangpun yang tergerak untuk mendahului pembicaraan dan menjadi ice breaker.
Hingga akhirnya, Adi tak tahan lagi. Ditatanya perasaannya baik-baik, mempersiapkan hati untuk kemungkinan terburuk.
“Ryn, aku mau tanya, kalau misalnya ada sekelompok orang melakukan perbuatan jahat pada seseorang, bisakah orang tersebut menuntut balas lewat cara-cara di luar nalar? Maksudku, secara beruntun, teman-temanku mengalami kematian tragis. Robby sama Reifan. Mungkin polanya sama. Diteror, dikacaukan hubungan cintanya, dibuat hancur hidupnya. Kamu ingat Bima? Dia sering mimpi yang aneh-aneh dan memiliki kecenderungan bunuh diri. Biarpun Bima berkeras, bukan bunuh diri, melainkan ada sosok nggak kasat mata yang merasukinya. Aku.. juga mengalami banyak kejadian ganjil, sejak ketemu Bima. Jujur saja, aku sangat terganggu dan makin khawatir,” kata Adi dengan berat hati.
“Di…,” panggil Zizi dengan sorot mata ketakutan. Dicekalnya lengan Adi, dan menyandarkan kepala di pundak kekasihnya itu. Seakan hendak menyampaikan, dia tetap akan bersama Adi, menghadapi berdua semua ini, apapun yang terjadi. Tak peduli Ryn yang bisa saja kian risi menyaksikannya.
“Ryn?” tanya Adi usai mengelus kepala Zizi.
Apa?” Ryn balik bertanya.
“Kamu belum jawab, bisa nggak?” tanya Adi. Hatinya masygul.
“Kamu tahu jawabannya. Bukan jawaban ‘kebetulan’, yang mau kamu dengar, kan?” balas Ryn.
“Di…, memangnya… kamu…, maksudku, kamu dan teman-temanmu itu melakukan apa?” tanya Zizi dengan perasaan bergidik. Adi bungkam seketika mendengarnya.
“Di…,” panggil Zizi memelas.
Adi mencium sekilas rambut Zizi dan berkata, “Zi… itu benar-benar masa yang ingin kulupakan. Aku berjuang menghapus kenangan buruk itu. Sampai aku mengambil langkah untuk memutuskan hubungan dengan mereka semua. Dan sudah berhasil menurutku! Kalau saja.., kalau saja enggak ada permintaan dari Tante Sheila untuk menengok Bima. Yang kamu perlu tahu, aku nggak salah, aku nggak terlibat, Zi.”
Zizi menengadah, meneliti ekspresi wajah Adi. Lantas, pandangannya tertuju pada Ryn yang terlihat menggelengkan kepala beberapa kali.
“Ryn? Kamu dapat penglihatan apa?” tanya Zizi, menebar harap.
Ryn menoleh dan berkata, “Empat anak muda turun dari pesawat, ketawa-ketawa berbarengan. Salah satunya, Adi.”
“Iya, itu waktu aku liburan dengan mereka. Robby, Reifan, dan Bima,” sahut Adi lirih, seolah pada diri sendiri.
“Lalu?” tanya Zizi penasaran.
Ryn menarik napas panjang.
Dia hendak segera menjawab Zizi, “Aku melihat ada seorang Cewek cantik. Dia tampak melakukan perjalanan sendiri. Dia berpakaian minim dan menarik perhatian mereka. Rambut Cewek cantik ini dicat warna coklat tua. Cewek ini berwajah melankolis, rambutnya diikat, tubuhnya ramping, usianya kira-kira 24 tahun atau 25 tahun. Terus.., aku melihat, Ada kamar yang minim cahaya. Aku melihat, mereka.., melecehkan Cewek cantik ini.”
Namun sebelum dirinya berucap demikian, sebuah kilasan peristiwa lebih dahulu tiba, tampak demikian jelas di mata batin Ryn, tak ubahnya sebuah petunjuk, apa yang bakal terjadi.
...Ryn menyaksikan Zizi memandang Adi dengan tatapan kecewa dan terluka. Mata Zizi berkaca-kaca saat berkata, “Aku nggak nyangka, kamu terlibat dengan semua itu! Ternyata, kamu pernah melakukan perbuatan sekotor itu! Selama ini kupikir, kamu Cowok baik-baik! Cowok yang menjaga etika, pekerja keras. Aku kecewa, keliru menilai kamu. Kamu sembunyikan sisi gelap diri kamu, di balik sikap pendiam, serius dan terkesan alim.”
Zizi tampak demikian terguncang dan mengempaskan tubuh Adi dari sisinya.
Lantas ketika Zizi akan beranjak, tangan Ryn mencegahnya disertai ucapan lembut yang menentramkan, “Dia nggak terlibat, Zi. Gue lihat samar-samar, kepalanya dipukul keras. Dia pingsan, Zi. Tubuhnya diseret. Lalu cuma gelap yang terlihat. Terus, yang samar-samar kelihatan sama gue, matahari sudah tinggi waktu Cewek itu terbangun. Dia merasakan sekujur badannya sakit. Badannya terasa lemas. Pakaiannya acak-acakan. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju ke pintu. Dia membuka pintu itu. Dia melihat seorang room service melintas di depan kamar dan bertanya di mana mereka. Jawaban dari room service bahwa keempat kenalan barunya telah check out, selaras dengan apa yang dilakukan room service yang rupanya baru saja membersihkan kamar mereka. Cewek itu nggak bisa ngomong apa-apa lagi kecuali menutup pintu kamarnya sendiri. Lalu Cewek itu histeris dan berlari menuju kamar mandi. Dia membenamkan diri di bath tub, menyalakan airnya sampai meluber ke lantai kamar mandi, berharap cepat mati. Namun, ajal nggak kunjung menjemputnya. Aku lihat ada koper. Ada suasana hiruk-pikuk khas bandara. Cewek itu di dalam pesawat. Tatapannya kosong, menatapnya, tak beda dengan melihat raga tanpa jiwa.”
Ryn menggigit bibirnya, merasakan perih dan keputusasaan yang ditanggung Cewek itu...
“Ryn, lalu apa?” suara Zizi yang teramat dekat membuyarkan potongan-potongan gambar yang beberapa saat lalu berputar-putar di pelupuk matanya, bak sebuah slide film.
Tak ingin membuat bertaruh dengan keharmonisan hubungan Zizi dengan Adi, Ryn mempertimbangkan untuk tidak menyampaikan visi yang didapatnya.
“Oh, enggak jelas, Zi,” elak Ryn.
“Nggak jelas, maksudnya?” korek Zizi tak percaya. Entah pemikiran dari mana, Zizi merasa bahwa Ryn tengah menyembunyikan sesuatu.
Ryn berdeham.
“Semua yang gue lihat itu serba sepotong. Gue sudah bilang kan, gue jarang banget, dapat penglihatan di masa lalu. Maksudnya, apa yang telah terjadi. Biasanya justru dikasih firasat, apa yang belum terjadi. Itupun, karena bentuknya semacam peringatan, bisa tepat terjadi, bisa dihindari kalau masih memungkinkan,” dalih Ryn, bersamaan kemantapan hatinya untuk mengurungkan memberitahu Zizi penglihatan yang didapatnya. Ryn tersenyum kecut ketika membujuk hatinya sendiri, mengatakan penglihatan yang didapatnya keliru, dan peristiwa itu tak pernah terjadi. Secepat itu pula, Ryn bertekad, ingin melupakan detail yang terlalu jelas dan berurutan, yang terkirim padanya.
“Yang penting, lo yakin, Adi enggak bersalah. Dia hanya berada di tempat dan waktu yang salah, makanya kena imbas,” kata Ryn pelan akhirnya, menyerupai sebuah bisikan.
“Terus? Nggak selesai sampai di sini, kan? Ryn, bilang ke gue, tindak lanjutnya apa, setelah ini?” kejar Zizi lagi, selintas mirip tingkah seorang kolektor yang mengingatkan tagihan seseorang telah jatuh tempo dan terlampau sering menunggak.
Ryn menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Gimana, ya? Enggak tahu kenapa, dari awalpun gue sudah yakin, nggak bisa bantu lo. Gue nggak ngerti, harus menelusuri ini dari mana. Barangkali, kalian musti ke orang pintar,” cetus Ryn dalam keraguan yang terbias di parasnya. Bersama melintasnya sebuah nama yang ingin dihindarinya. Azka!
“Hah? Orang pintar? Semacam dosen, gitu maksudnya?” tanya Zizi serius. Dipikirnya, ada sejumlah penelitian serius dan analisa tepat demi memecahkan masalah yang tengah mereka hadapi ini.
Nyaris Ryn tertawa geli mendengar kepolosan pola pikir Zizi. Ya, Zizi yang usianya beberapa tahun di atasnya.
'Hm. Kan? Maturity is not depend on age,' batin Ryn geli.
Setidaknya, Ryn bersyukur, perkataan Zizi barusan membuat tensi ketegangan di ruangan tempat mereka berkumpul agak menurun.
Ryn berdecak gemas dan berkata, “Ck! Ngawur! Paranormal, maksudnya Zi!”
Hatinya cukup tergelitik barusan. Betapa polosnya temannya satu itu.
Tanggapan Ryn membuat Zizi ketakutan.
“Hah? Ngeri amat? Paranormal? Dukun, gitu? Di…?” Zizi memperlihatkan tampang paranoidnya, semakin kuat mencengkeram lengan Adi, seolah minta perlindungan kekasihnya.
“Ya… apa, lah sebutannya. Seseorang yang punya kemampuan supra natural,” kata Ryn enggan.
“Ogah, ah! Di… gimana?” seru Zizi pada dua orang sekaligus, Ryn dan Adi, seolah mnyerahkan keputusan pada mereka berdua.
“Kenapa sih? Bisa jadi, memang itu, pemecahannya,” sela Adi selekasnya.
“Paranormal tuh kan, biasanya aki-aki tua gitu, kan? Yang mukanya serem, sering banget mukanya banyak codetnya gitu. Berjanggut panjang. Rambutnya putih semua. Pakai cincin gede-gede di semua jarinya. Rambut gondrong, kepalanya diikat-ikat. Kalau ngomong nadanya ngebentak, suaranya parau seperti dari alam lain. Badannya bau kemenyan. Baju sama celana serba hitam dan mungkin nggak pernah ganti. Hiii… horror, ah!” cerocos Zizi dengan mimik wajah penuh ketakutan.
Sekejap, Adi sedikit terhibur mendengar ucapan Zizi. Seakan, rasa galau dan takutnya teralihkan sempurna. Tangannya bergerak begitu saja, mengusap-usap lengan Zizi.
“Ngawur! Paranormal jaman sekarang banyak yang penampilan ala oppa korea,” terpancing juga Ryn melempar celetukan ini, walau tetap menahan tawa gelinya. Komentar Ryn ampuh, buktinya, Zizi mendongak, tampak tertarik.
“Yang benar, lo? Nggak bohong? Tapi tetap kan, pakai ritual-ritual gitu,” sahut Zizi, masih menyiratkan keberatan jika harus bertemu dengan orang semacam itu.
“Ya, iya lah,” sahut Ryn jemu, membuat Zizi hampir patah arang, ogah terlibat secara langsung.
“Enggak ikutan ah, gue. Gue takut ngelihat yang begitu-begitu. Lo berangkat bareng Adi, deh. Gue percaya kalian berdua. Yang penting, masalah ini selesai. Gue kepengen masalah ini terpecahkan. Terus, hubungan gue sama Adi kembali normal,” kata Zizi dengan berat.
“Gimana, sih! Ya temenin, dong! Gue pulang dulu ya, nanti gue kasih tahu, kabar selanjutnya,” kata Ryn kemudian, menyembunyikan kegalauan yang melanda hatinya.
‘Akhirnya gue terseret juga. Apa mesti sebesar ini, pengorbanan gue? Harus banget, ya, gue ngalah, dan membuka lagi komunikasi sama orang menyebalkan itu? Hadeh, kalau boleh ngomong jujur, baru membayangkannya saja sudah berat buat gue. Kenapa harus gue, sih? Enggak ada yang lain, apa?' batin Ryn.
Keluh Ryn tertahan, dan betapa itu menghadirkan sesak yang menyenak di benaknya.
Andai dia bisa berteriak, ingin benar diluapkannya perasaan gamang yang membekapnya secara semena-mena ini.
“Lho, jangan! Biar diantar sama Adi dong Ryn,” kata Zizi cepat, dan langsung disambut gelengan tegas Ryn.
“Enggak. Gue naik taksi daring saja deh. Ada yang mau gue urus sepulangnya dari sini,” tolak Ryn seraya membuka aplikasi transportasi online di ponsel pintarnya. Ia menyalakan gps dan segera memesan. Cukup satu kali memesan, sudah ada mitra pengemudi taksi daring yang merespons.
Ryn mengangkat wajah, mengalihkan perhatian dari layar telepon pintarnya ke wajah Zizi.
“Anyway, sedapat mungkin, Cowok lo jangan nyetir dulu, deh, Zi,” bisik Ryn begitu mendapat notifikasi bahwa pengemudi taksi daring yang ia pesan sudah dalam perjalanan dan akan tiba sekitar 3 menit lagi.
“Kenapa, Ryn?” tanya Zizi spontan, meski dia tahu pertanyaannya tak akan mungkin dijawab oleh Ryn yang segera berpamitan pada Adi, bergegas keluar dari ruang tamu untuk menunggu taksi daringnya tiba.
*^ Lucy Liestiyo ^*