CHAPTER TIGA PULUH SATU : Kotak Kenangan (1)

1507 Kata
                Sesungguhnya ruang tamu itu tidak berbeda jauh dengan ruang tamu pada umumnya. Terbilang luas walau agak terkesan lebih temaram. Tidak banyak furniture yang mengisinya. Hanya sebuah lemari kaca di sudut, sofa letter L, meja tamu serta beberapa pajangan di dindingnya.                 Namun untuk alasan yang sulit dimengertinya, perasaan asing segera menyergap Zizi, membekuknya tanpa ampun. Tepatnya, semenjak dirinya melewati pagar rumah yang hitam pekat, kemudian melintasi pekarangan depan yang teramat jauh jaraknya untuk mencapai teras, apalagi menuju pintu ruang tamu.                 Pekarangan luas yang dilewatinya menerbitkan selaksa tanya yang memenuhi kepalanya. Berbagai pepohonan yang aneh di mata Zizi, membuat dirinya ingin memalingkan wajah ke arah lain saja. Beberapa meter sebelum mencapai teras tadi, dia melihat ada dua buah pohon mangga yang batangnya saling membelit satu sama lain, menerbitkan tanda tanya yang luar biasa besar di kepala Zizi. Tidak jauh dari itu, terdapat pula sebuah pohon belimbing yang cukup lebat. Yang mengusik perasaan Zizi adalah, beberapa batangnya menjulur ke samping, bukannya ke atas. Seumur-umur, belum pernah Zizi mendapati keanehan macam ini. Bukan itu saja, Zizi juga melihat adanya pohon kamboja.              ‘Oh my God! Bukannya pohon kamboja itu identik dengan kawasan pekuburan? Keisengan amat pemilik rumah ini menanam pohon kamboja di pakarangannya? Nggak bisa milih pohon lain apa?’ Itu lho, kalau kekurangan ide untuk memilih tanaman bunga, di rumah ada banyak. Tinggal bilang, langsung bisa kirimkan.  Gratis pula. Ryn, Ryn, ternyata ada yang  lebih aneh dari elo?" tanya Zizi dalam hati ketika tatapnya terbentur ke arah pohon kamboja tadi, serta beberapa pepohonan lain yang rasanya juga kurang familiar dengannya.               Ternyata, ‘sapaan’ itu baru ‘sapaan’ awal.              Selanjutnya, Zizi merasakan jantungnya berdegup demikian kencang tatkala tatapannya mendarat tanpa sengaja, ke atap rumah. Sekelebat, terlihat olehnya seorang gadis bule berparas menawan, berpakaian tradisional negeri kincir angin. Gadis itu tampak duduk di atas ayunan dan memangku seekor kucing besar, berbulu putih bersih. Wajah gadis tersebut sepintas terlihat sedang melamun sembari mengelus-elus badan kucing di atas pangkuannya. Yang Zizi lakukan, tentu saja mengerjapkan mata dua tiga kali, demi mengusir penampakkan tak wajar itu.              ‘Aduuuuh, mata, tolong deh. Nurut kataku, jangan jelalatan kemana-mana. Cukup lihat jalan saja supaya nggak kesandung,’ bujuk Zizi dalam diam, seakan-akan, kalau dia berkata begitu maka matanya akan menurutinya.              Bagaimana tidak, dia merasa logikanya tengah diacak-acak, menyaksikan tampilan yang serba aneh. Sebut saja, sebuah ayunan di atas atap, kemudian seorang Cewek muda dengan gaun warna hitam yang serba ribet dan penutup kepala khas negeri Belanda. Zizi tak habis pikir, apakah si Cewek tidak kegerahan, di siang terik begini memakai gaun berwarna hitam yang dipastikannya paling sempurna menyerap panas matahari, sedangkan angin saja rasanya malas bertiup? Terakhir, Zizi merasa ngeri melihat tatapan mata kucing yang tampak garang, seolah mau menembus jantungnya. Padahal, di mata Zizi, kucing itu nyaman-nyaman saja dipangku si Noni Belanda. Zizi sudah agak khawatir, kalau dia berlama-lama di rumah ini, dia bisa gila lantaran ketakutan dan merasa akal sehatnya dijungkirbalikkan.              Lalu semerbak wangi melati menerpa indra penciumannya, tanpa dia tahu di mana letak bunga melati itu sebenarnya. Semakin dia berusaha mengabaikan aroma bunga melati itu dan sesekali berusaha menahan napasnya, anehnya aromanya justru kian kuat saja.              Alangkah ingin Zizi lari sekencang mungkin, menjauh dari tempat ini buat selamanya. Tetapi sebelum dia menoleh lagi ke belakang, ke arah pagar hitam yang tinggi itu, sejumput kesadaran didapatnya seketika. Benar, dia tak memiliki keberanian menelusuri kembali jalan dari teras tempatnya berpijak saat ini, menuju pagar depan, walau di siang hari yang terang begini. Alhasil, Zizi tak mempunyai pilihan lain kecuali berusaha fokus pada tujuan utamanya datang 'ke tempat aneh' ini.              Dalam bayangan saja, Zizi merasa jaraknya demikiaan jauh dan takkan sampai-sampai. Tentu saja dia tiada pilihan lain, dia hanya sanggup mengeluh dalam hati dan menyemangati dirinya, menegaskan semua ini demi Adi-nya tercinta, yang kemarin sore dilarikan ke rumah sakit oleh rekan kerjanya lantaran pingsan di kantor.              Di sini lah dia berada sekarang, tempat yang membuat bulu kuduknya meremang. Semua demi Adi, demi kelangsungan hubungan cinta mereka.              Di tengah rasa prihatin, cemas, sedih, dan takut yang menyapanya berbarengan, Zizi teringat penuturan Wenda kemarin, ketika berhasil menghubunginya melalui telepon genggam Adi.              - Kilas Balik -              “Hallo Sayang, ada apa?” sapa Zizi yang cukup terkejut karena Adi menghubunginya pada ‘jam-jam kritis’ yang kerap dilontarkannya kepada Adi. Waktu antara jam setengah empat sore hingga jam setengah lima sore, yang identik dengan kesibukan berlebih lantaran biasanya supervisornya mendadak mendapat ide untuk memberikan tugas tambahan kepada para anggota tim-nya. Jam-jam yang dikatakannya sebaiknya dihindari Adi, dan selama ini juga dipahami dengan baik oleh Adi.               ”Halo, maaf, dengan Mbak Zizi, ya?” sapa Wenda begitu suara Zizi.               Zizi mengernyitkan dahi, bingung mengapa ada seorang wanita yang menghubunginya memakai telepon seluler kekasihnya. Lebih heran lagi, sebab tidak ada kesan bahwa sang penelepon merasa bersalah, telah ‘mengganggu’ kekasihnya.               Selagi Zizi sibuk menerka-nerka berbagai kemungkinan berbalut kecurigaan, Wenda sudah menyambung pembicaraan.              “Mbak Zizi, ini dari Wenda, stafnya mas Adi. Maaf saya lancang, menghubungi Mbak Zizi memakai ponsel-nya Mas Adi. Ini juga karena kebetulan beberapa menit lalu, Mas Adi baru saja menggunakan ponselnya, jadi kelihatannya, belum otomatis terkunci lagi,” terang Wenda.               “Oh, Wenda?  Yang waktu itu sempat ngobrol di dekat resepsionis kan ya? Ada apa Wenda?” tanya Zizi yang mendadak merasa hatinya kebat-kebit. Rasa curiga tentang kemungkinan adanya 'orang ketiga yang menggoda Adi', mulai tersingkir dari benak Zizi. Sebaliknya, dia lantas mengira-ngira, mengapa Wenda menghubunginya, memakai telepon genggam Adi, pula!              ‘ Pasti ada yang penting, ini. Kalau nggak, mana mungkin dia seberani ini,’ pikir Zizi.                “Maaf ya, Mbak, saya mencari-cari nama Mbak di ponsel Mas Adi. Mas Adi itu orangnya agak tertutup soalnya, kalau menyangkut keluarganya, dan nggak pernah cerita tentang mereka. Jadi saya kepikir, Mbak Zizi adalah orang yang harus saya hubungi,” sambung Wenda.               Zizi merasakan debaran kencang di dadanya.              “Iya Wen, ada apa?” potong Zizi tak sabar. Dia tidak sanggup dibuat bertanya-tanya tanpa jawab begini.             “Eng, begini Mbak Zizi. Tadi itu, Mas Adi mendadak pingsan, Mbak, di ruang kerjanya. Kami semua kaget dengar suara seperti orang jatuh, terus langsung lari ke ruangan kerjanya. Kami pikir, pasti Mas Adi kelelahan dan stress. Belakangan ini kan, Mas Adi sering lembur di kantor Mbak. Sering enggak pulang. Kadang dibantu beberapa kawan kami juga. Entah kenapa, sejak kejadian laptopnya rusak, mendadak ada beberapa data lainnya yang juga lenyap secara misterius dari server. Kami sampai panik,” urai Wenda.              “Hah? Adi pingsan? Kok bisa sampai pingsan? Sekarang belum siuman? Gimana keadaannya sekarang Wen?” tanya Zizi khawatir.              “Tadi itu, biarpun mukanya Mas Adi sudah mulai pucat karena kurang tidur, Mas Adi masih berusaha menimpali candanya Mas Ferdi waktu dia terima paket. Mas Ferdi sempat pikir, paketnya itu dari Mbak Zizi. Makanya Mas Ferdi bilang, biarpun  ada segudang masalah di kerjaan, nggak bakalan terasa kalau terus-terusan diperhatiin pacar,” tutur Wenda, runut.              Zizi terperanjat.             “Apa? Paket? Saya nggak kirim paket apa-apa, kok. Mana Adi-nya? Parah nggak keadaannya? Saya... saya minta ijin ke atasan saya deh. Bisa tolong, dibawa sekalian ke rumah sakit?” berondong Zizi. Entah pemikiran dari mana, dia langsung curiga saat Wenda menyinggung tentang paket.              ‘Jangan-jangan...’ pikir Zizi ngeri.              “Mas Ferdi sama supir kantor, sudah membawa mas Adi ke rumah sakit terdekat. Mas Ferdi juga barusan ngabarin bahwa mas Adi sedang ditangani di unit gawat darurat,” jelas Wenda.              Zizi mengurut keningnya yang mendadak terasa pening. Rasa cemas sepertinya telah menjalar ke seluruh sel-sel tubuh gadis itu.              “Adi dibawa ke rumah sakit mana, Wen? Tolong kirimi alamatnya sekarang! Saya segera kesana!” sahut Zizi tak sabar. Dia sudah tak menunggu lagi jawaban-jawaban atas pertanyaannya yang terabaikan oleh Wenda, bahkan dia juga tidak memikirkan apakah supervisornya mau memberikannya ijin untuk pulang lebih cepat hari ini. Yang terpikir olehnya hanya satu hal : dia harus melihat sendiri keadaan Adi!                                                                                                                                                               *^ Lucy Liestiyo ^*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN