CHAPTER TIGA PULUH DUA : Kotak Kenangan (2)

1587 Kata
               “Iya, Mbak Zizi, segera saya kirim alamatnya. Ini saya juga mau menyusul ke sana, kok. Nanti kita ketemu di sana, Mbak,” pungkas Wenda.                 “Oke, thanks ya Wen,” ucap Zizi yang segera mematikan laptopnya dan menyimpannya ke dalam laci meja. Pantang membuang waktu, Zizi  lekas menemui supervisornya. Beruntung, Zizi diijinkan pulang cepat tanpa banyak ditanya ini dan itu setelah menyebutkan alasan bahwa dirinya barusan mendapatkan kabar ada kerabatnya pingsan. Barangkali hati sang supervisor tengah bergembira hari ini.                  Kemudian, di rumah sakit, dalam keresahan menanti Ferdi usai mengurus kamar perawatan untuk Adi, Zizi menimang-nimang bingkisan berupa kotak di tangannya.                  Sekian menit sebelumnya, Wenda yang berjalan tergopoh, menyambutnya di depan ruang instalasi gawat darurat, menyerahkan kotak itu padanya dan menjelaskan, “Mbak, ini sudah dibuka. Mungkin Mas Adi sudah melihat isinya. Tapi sungguh, saya nggak keisengan dan nggak berani lihat, kok. Swear, Mbak.” Demi mendukung ucapannya, Wenda membentuk huruf V dengan dua jarinya.                  Zizi mempercayai ucapan Wenda.                  Namun, kini dia sendiri terusik. Dibukanya penutup kotak yang diikat pita itu dengan mengurai simpul pita. Sebuah album foto dan buku harian langsung menyita perhatiannya. Diangkatnya kedua benda itu. Sebuah surat yang tampaknya telah dibaca oleh Adi, terletak di dasar kotak, tepat di atas amplopnya. Zizi menengarai, Adi belum memasukkan lagi surat tersebut setelah membacanya. Tak sabar, Zizi segera membaca surat itu.                   Nak Adi, melalui surat ini, Tante mau mengabarkan tentang Bima. Bima sudah berpulang dua hari yang lalu setelah mengalami koma tiga hari lamanya. Malam sebelum ia mendadak koma, Bima mengamuk hebat. Menurut keterangan para pekerja di rumah sakit, tenaga Bima besar sekali, lebih besar dari yang sudah-sudah. Akibatnya para pekerja di rumah sakit kerepotan menanganinya. Mereka bilang, Bima berlari keluar dari ruang perawatannya, lalu menerjang pintu kaca, hingga kaca yang tebal itu hancur berkeping-keping. Tak lama setelahnya, Bima jatuh pingsan setelah mengerang lemah. Masih menurut keterangan para pekerja di rumah sakit tersebut, akibat menabrak pintu kaca, darah bercucuran di sejumlah luka di tubuh Bima, beberapa pecahan kaca juga menancap di kulitnya. Rasanya sakit sekali saat Tante menuliskan ini semua.                 Kami yang dikabari oleh pihak rumah sakit langsung shock. Sebab, sore hari ketika kami tinggalkan, tidak ada sesuatu hal mencurigakan. Tidak ada firasat buruk yang melintas. Kami malah berpikir, kemajuan Bima sungguh  luar biasa, melebihi ekspektasi kami yang hampir putus harapan. Seingat kami, itu adalah bentuk komunikasi Bima yang paling tenang dan ‘nyambung’ selama dia mulai dirawat di sana.                  Nggak selintas pun kecurigaan yang membersit di pikiran kami, bahwa itu bisa saja merupakan pertanda, bahwa Bima mau mengucapkan selamat tinggal kepada kami semua.                 Jujur saja, kami malah berpikir dan berharap, ada keajaiban besar yang terjadi pada Bima, justru di saat kami telah terpuruk dan nggak punya daya untuk bangkit dan berjuang lagi.                 Ya, jujur saja, meihat ‘perkembangan pesat’ itu, kami menabur harap lagi, berpikir bahwa keadaan mentalnya sungguh-sungguh sudah sehat.                 Apalagi, saat dia berpesan agar kami menyampaikan album foto dan buku harian-nya yang dikunci pada Nak Adi. Buku harian itu, adalah sarana menampung rasa takut, galau, cemas, sedih dan berbagi perasaan yang mencekamnya semenjak mengalami banyak kejadian aneh. Betul, buku yang pernah Tante Sheila singgung saat Nak Adi menengoknya, yang berdasarkan saran psikiaternya.                Dengan bercanda, Bima berkata, supaya Nak Adi bisa tertawa-tawa geli kala membacanya, juga melihat-lihat foto kenangan kalian saat liburan terakhir.                Sepulang menengok Bima, Tante langsung mencari dua benda yang dimaksud Bima. Untungnya, mudah menemukannya. Keduanya terletak di laci meja Bima.                 Maaf, sekiranya kami terlambat mengabari Nak Adi mengenai kepergian Bima. Segalanya serba mendadak dan mengejutkan buat kami sekeluarga. Sampai saat inipun, kami masih larut dalam duka mendalam.                     Bima telah dimakamkan, Nak Adi. Kalau nak Adi sudah ada waktu, tolong sempatkan nyekar di makamnya, ya, di tempat pemakaman umum Kenanga blok 1A unit 6. Terakhir, tolong maafkan kalau Bima ada kesalahan sama nak Adi. Tolong dibantu doa juga, supaya dosa-dosa Bima diampuni Tuhan, dan Bima mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Terima kasih banyak, Nak Adi sudah menyempatkan menengok Bima waktu itu.                 Salam,                 Tante Sheila.                     Tangan Zizi gemetar ketika melipat kembali kertas itu, menaruhnya dengan hati-hati di dasar kotak.                  “Bima? Meninggal?” ucapnya lirih, seolah ditujukan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar kala mengucapkannya. Masih terkenang olehnya bagaimana suasana pertemuan Adi dengan Bima di rumah sakit Jiwa Cempaka kala itu.                   Benak Zizi dipenuhi perasaan gundah. Disentuhnya gembok kecil yang mengantung di buku harian Bima. Dicari-carinya, adakah sebuah kunci di dasar kotak. Tidak ditemukannya.                    “Kira-kira, apa saja yang sempat dituliskan sama Bima di dalam buku ini?’ gumam Zizi.                 - Akhir Dari Kilas Balik -                 Kini, kotak yang sama telah berada di tangan Zizi. Sesuai pesan Ryn sebelum mereka kemari tadi, Zizi diminta membawa kotak tersebut ke rumah beraura ‘ganjil’ ini. Meski dia tidak terlalu paham untuk apa, Zizi memilih menurutinya. Dia tak punya pilihan lain kan? Daripada Ryn mundur dan tak mau menolongnya lagi?                 Zizi memegang erat kotak di tangannya selama menanti di ruang tamu yang memberi aura asing padanya. Berada di ruang tamu dengan langit-langit tinggi ini, Zizi kian gelisah.                 Dipegangnya erat-erat lengan Ryn dan berbisik, “Ryn, serius nih, gue takut! Serem banget suasananya. Spoky! Haduh, merinding gue. Kalau gue tahu rumah paranormal teman lo itu seseram ini, nggak bakal gue mau kesini. Ryn, kita pulang sekarang, yuk! Gue takut mimpi buruk, kalau kelamaan di sini.”                   Ryn memalingkan wajah kepadanya dan balas berbisik, “Namanya juga rumah tua, rumah jaman belanda. Diam deh! Tenang dan dengarin gue. Lo, cinta, kan, sama Adi? Mau hubungan lo sama dia terselamatkan?”                   “Ya, iya lah,” sahut Zizi, merasa tiada pilihan selain pasrah.                   Mendadak, Ryn bergeser sedikit, membuat pegangan Zizi otomatis terlepas.                   Saking terkejut, Zizipun bergerak refleks, lekas menarik ujung blus Ryn. Kecurigaan yang besar terbayang di mata Zizi.                   Ryn tak memedulikan hal itu, dia menempelkan isyarat dengan telunjuk di bibir.                   “Ryn, sumpah, ini, badan gue merinding semua. Ruangan ini kelihatan biasa. Tapi nggak tahu kenapa, kaya’nya gue ini ngelihat banyak benda-benda misterius. Sebagian melayang-layang begitu di depan mata gue. Gue juga ngelihat sepintas lalu, ada sosok besar berdiri di depan gue, ngawasin gue, tapi terus hilang begitu saja. Aduh, boleh nggak, gue merem? Tapi janji, lo jangan ninggalin gue,” keluh Zizi, tak sedikitpun direnggangkannya remasannya pada ujung blus kawannya itu. Zizi tak peduli, ujung blus Ryn menjadi kusut dibuatnya.                 “Iya.  Sekarang diam. Mau merem, ya merem deh, situ,” kata Ryn, merasa iba. Dia maklum, bagi Zizi, hal-hal yang diungkapkan barusan jelas menakutkan. Sedangkan bagi dirinya saja yang terbilang sulit mengelak dari hal-hal gaib macam itu, terkadang masih kerap terkejut. Pasalnya, penampakkan para makhluk tak kasat nyata itu tidak selamanya cantik atau ganteng sebagaimana di film lawas 'Charmed'. Ada kalanya mereka berupa sosok seram, tinggi, besar, dan muncul tiba-tiba, semau mereka. Dan tidak jarang, bentuknya berupa binatang atau juga monster.                 Ryn menatap sekilas pada Zizi.                 "Beneran ya, gue merem nih," kata Zizi.                 "Iya," sahut Ryn singkat.                 Mendapatkan jawaban dari Ryn, Zizi segera menerapkan saran Ryn. Celakanya, baru sekian menit ia memejamkan mata, dia sudah mengeluh lagi.                    “Ryn, merem juga nggak nolong, nih, makin takut malah. Aduh, malah jadi kepengin pipis ini. Pipis di sini saja ya,” bisik Zizi polos.                      Sepasang kaki Zizi mulai bergoyang, seiring ekspresi wajahnya yang terkesan menahan hasrat untuk membuang air kecil.                 Ryn bagai tersengat lebah memergoki hal tersebut. Dia segera teringat, mantan teman kuliahnya yang satu ini terkadang bertindak semaunya. Tentu saja Ryn terkaget.                 “Eh, gila! Jangan sembarangan Zi! Tahan dulu sebentar lagi. Tunggu yang punya rumah keluar,” cegah Ryn cepat.                                                                                                                                                                - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN