4. Apakah Ini Akhir Hidupnya

1054 Kata
"Aku sudah membawa gadis itu. Sekarang ada di dalam kamar yang telah aku sewa. Kau tenang saja karena gadis itu sudah lelap." "Kau tidak berbohong jika dia masih virgin?" "Tentu saja Marsha masih virgin. Jika tidak ... mana berani aku tawarkan dengan harga fantastis buatmu." Mark yang sedang berada di resto hotelnya untuk makan malam seorang diri, tanpa sengaja mendengar pembicaraan dua orang pria yang duduk di belakangnya. Mendengar nama seorang wanita yang mereka sebut, seolah Mark tidak asing lagi. Memilih memutar kepala ke belakang dan senyum evil tercetak jelas di sudut bibir Mark. Mario rupanya. Begitu pikir Mark dalam hati. Pria itu adalah rekan bisnisnya juga orang yang sama telah menggadaikan padanya sebuah setifikat rumah juga sertifikat sebuah tempat usaha atas nama Marsha Atmaja. Nama perempuan yang Mark yakini sedang mereka perbincangkan. Begitu saja Mark beranjak berdiri, merapikan jas yang ia kenakan lalu dengan percaya diri mendekati meja Mario. "Saya ambil alih wanita itu. Dua kali lipat dari harga yang Mario tawarkan." Mark terkejut karena suara dering ponsel yang berada di atas meja kerjanya. Tergagap dan baru menyadari jika selama beberapa waktu lalu dirinya sibuk melamun. Melongokkan kepala pada ponsel yang masih berkedip dengan suara deringan memenuhi seluruh penjuru ruang kerjanya. "Aku sudah menemukannya, Bos," ucap seseorang terdengar di telinga begitu Mark menerima panggilan telepon tersebut. Pria itu menarik sudut bibir hingga menciptakan sebuah lengkungan senyuman. Pasalnya apa yang Matt laporkan kali ini sesuai dengan apa yang Mark harapkan. "Bagus. Pantau terus dan lapor kepadaku ke mana saja perginya wanita itu." "Siap, Bos." Mark masih menggenggam ponselnya. Mengingat petualangannya selama ini, hanya pada wanita itulah Mark merasa hal berbeda. Entahlah. Mungkin karena dia harus membayar mahal wanita itu atau karena gadis itu masih virgin ketika dia menidurinya. Berbeda dengan w************n yang selama ini bersamanya. Jantungnya yang berdetak begitu hebat untuk pertama kali ketika berjumpa dengan seorang wanita bernama Marsha Atmadja. Wanita yang telah ia renggut mahkotanya. Ini semua karena Mario. Ya, rekan bisnis yang tega mengorbankan gadis itu padanya. Entah apa hubungan yang sebenarnya antara Mario dengan Marsha. Sepasang kekasih atau apa? Mark tak tahu. Dan yang Mark inginkan adalah bertemu dengan gadis itu lagi. Karena setelah pertarungan yang memuaskannya malam itu, Marsha hilang dan pergi begitu saja tanpa sempat Mark mengucap sepatah kata pun. Dia puas? Tentu saja. Ketagihan malah. Beruntungnya ketika itu Marsha jatuh ke tangannya, bukan pada pria lain yang saat itu bersama Mario. Mario, pria sialan yang justru menghilang entah ke mana sekarang. Berhari-hari orang suruhan Mark tak jua menemukan keberadaan pria itu. Namun, justru yang Matt temukan adalah keberadaan Marsha. Tak mengapa. Setidaknya usaha yang ia lakukan membuahkan hasil yang tidak sia-sia. Ketika Mark memutus panggilan teleponnya dengan Matt, di saat itu pula terdengar suara deheman disertai pintu ruang kerjanya yang terbuka. "Ehem! Boleh Daddy masuk?" Mr. Patterson, Ayah kandung Mark masuk dan duduk begitu saja di hadapan putranya. "Ada apa Daddy datang ke sini?" "Memangnya kenapa jika Daddy datang?" Mark mencebikkan bibir lalu menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. "Asalkan tidak ada misi terselubung dengan kedatangan Daddy ... Aku tidak masalah." Mr. Patterson tergelak. "Pulanglah ke rumah. Mommy menunggumu." "Perjodohan dengan gadis mana lagi yang sedang Mommy rancang?" "Jangan terlalu berpikir buruk begitu. Mommy itu berniat baik mengenalkanmu pada para wanita agar kau tak kesusahan mencarinya sendiri. Bukankah kau ini selalu sibuk hingga tidak sempat mencari calon istri?" "Daddy menyindirku?" Mr. Patterson mengangkat bahu. Lalu beranjak berdiri. "Jangan lupa. Makan malam di rumah. Kau tak akan mengecewakan Mommy, bukan?" "Aku akan mengusahakannya." Setelah kepergian papanya, Mark menggelengkan kepala. Ia terlalu malas sebenarnya datang ke rumah kedua orang tuanya. Selama ini Mark lebih suka tinggal di hotel miliknya. Datang ke rumah hanya jika dia rindu keluarganya atau jika sang Mommy memintanya datang sebagai pemeran utama drama perjodohan yang sering mamanya lakukan. Usianya memang sudah tidak muda lagi. Anak pertama dan anak lelaki tertua seharusnya Mark sudah menikah saat ini. Hanya saja ia belum ingin terikat hubungan apapun dengan seorang wanita. Oleh sebab itulah Mark masih suka sekali bersenang-senang. *** Marsha sudah lelah dalam pencariannya. Mario tak ada di mana-mana. Di rumahnya tidak ada. Bahkan kantor milik pria itu sudah didatangi juga olehnya. Namun, hasilnya nihil. Justru yang ada kantor milik Mario telah diambil alih oleh orang lain. Mario sama seperti dirinya. Tinggal seorang diri di kota ini karena keluarga Mario berada di luar pulau. Marsha berpikir, jangan-jangan pria itu sedang mengunjungi keluarganya. Ya, Tuhan! Jika seperti ini Marsha bisa gilaa. Masa depan taruhannya. Semua karena Mario. Marsha yang terlalu percaya pada pria itu bahkan sertifikat rumah juga sertifikat resto miliknya berada di tangan Mario. Waktu itu Mario mengambil dari tangannya dengan niat ingin dipinjam sebagai jaminan sementara pada rekan bisnisnya, selagi Mario masih berusaha mencari dana. Memasuki rumahnya yang sangat sepi. Marsha menjatuhkan diri di atas kursi. Menjambak rambutnya frustasi. Semua cobaan yang datang bertubi-tubi membuat Marsha ingin menyerah saja. Tak sanggup meneruskan hidupnya. Dia tak lagi punya siapa-siapa di dunia ini. Bahkan masa depannya pun hancur dalam sekejap mata. Tak lagi ada yang bisa dia banggakan dalam hidupnya. Keluarga pun ia tak punya. Lantas untuk apa dia bertahan jika semua terlalu rumit untuk dijalani. Marsha kembali keluar dari rumahnya. Berjalan gontai tak tentu arah dan tujuan. Tak ada satu pun barang yang ia bawa. Hanya membawa badan juga baju yang melekat di tubuhnya. Malam semakin beranjak. Langkah kaki Marsha semakin letih. "Papa ... Mama ... Aku ingin menyusul kalian saja," ucapnya. Sefrustasi apa pun Marsha, nyatanya air mata sama sekali tidak menetes. Hanya pikiran kosong juga kebingungan yang ada dalam benaknya kali ini. Entahlah. Ia berpikir hidupnya tak lagi berarti. Bahkan, sahabat dan satu-satunya teman yang telah ia anggap sebagai keluarga juga tega menjebaknya. Lantas ... siapa lagi yang ingin ia percaya sekarang. Mario sudah tak lagi dapat ia temukan. Tega meninggalkan dia dalam keterpurukan. Kaki jenjang itu melangkah semakin jauh. Tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang yang melihatnya. Juga tak ia hiraukan godaan para preman jalanan. Untuk apa juga ia takut jika tak lagi ada yang bisa ia pertahankan dalam dirinya. Hidupnya sudah hancur dan sekarang biarkan saja semakin hancur. Atau ... ada baiknya dia musnah saja dari dunia ini selamanya. Menyeberang jalan tanpa melihat kiri dan kanan. Marsha sudah pasrah akan takdir hidupnya yang mungkin saja akan berakhir sekarang. Silau akan lampu mobil juga suara klakson yang memekakkan telinga hanya ditanggapi Marsha dengan memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN