Getaran ponsel di atas meja cukup membuyarkan pikiran yang sepenuhnya terpusat menatap layar monitor di hadapanku.
Bunda is calling...
Ternyata nama Bunda yang muncul di layar ponsel. Suara Bunda terdengar gusar saat mengabarkan kalau mbak Kiara mau melahirkan. Seingatku usia kandungan mbak kiara baru masuk tujuh bulan. Acara baby shower-nya juga baru ini. Pantes, kemarin peralatan dan perlengkapan bayi yang baru dibeli langsung dia cuci. Firasat kah seperti itu?
Hell yeah. Kenapa juga pekerjaan hari ini seolah nggak ada habisnya, menguji banget pokoknya hari ini. Ada saja yang salah. Membuat aku nggak bisa segera mengakhiri hari penuh penat dan meluncur ke rumah sakit setelah Bunda menelepon tadi. Padahal aku pernah berjanji sama mbak Kiara dulu, kalau akan menemani dia di ruang bersalin saat melahirkan. Dan sekarang di mana aku saat ini?
Pukul 18:00, rekor termalamku meninggalkan kantor. Aku sudah malas melanjutkan pekerjaan hari ini. Kuletakkan semua pekerjaan di atas meja, biarlah apa kata besok saja. Setelah merapikan meja, aku bergegas meninggalkan lantai tempat kubikelku berada.
"Kok buru-buru mbak?" seru mbak Bella salah satu senior di Departemen Teknik dan Lingkungan, usianya sudah masuk kepala tiga tapi belum menikah.
"Kakak ipar saya mau melahirkan Mbak," jawabku. Langkahku semakin panjang agar segera sampai di area parkir.
Satu lagi cobaan terberatku petang ini, mobilku harus berjuang melawan macet yang semakin membuat frustrasi. Sesampainya di rumah sakit, mobilku berpapasan dengan mobil Ayah yang ternyata juga baru sampai di rumah sakit.
"Kok pada baru sampai sih? Bunda teleponnya dari sore tadi kan? Trus sekarang Kakak sama mbak Kia sendirian aja?" tanyaku kesal. Pasti Ayah yang bikin ngaret kayak gini. Padahal menantunya itu masuk rumah sakit sejak sore. Belum sempat orang tuaku menjawab, aku sudah meninggalkan mereka berdua dan bergegas mencari kamar mbak Kia. Syukurlah tidak perlu kerepotan mencari, karena Kakak sudah memberitahukan lokasi kamar rawatnya.
Cobaan Kakakku kayak nggak ada habisnya, udahlah anaknya lahir prematur, istrinya pendarahan. Ya Tuhan, semoga nggak terjadi apa-apa terhadap salah satu makhlukMu yang terbaik, mbak Kiara. Aku begitu menyayangi perempuan itu. Mbak Kia butuh darah saat ini, dan nggak ada satupun di antara kami--aku, Kakak, Bunda, Ayah, bude Mayang dan mas Andra--memiliki darah yang sama dengan mbak Kiara. Kata bude Mayang--mamanya mbak Kia--darah kakak iparku itu sama seperti golongan darah almarhum papanya. Yeah, apa bedanya dengan diriku.
Aku sudah berusaha menghubungi orang-orang kantor, tapi nggak ada yang memiliki golongan darah sama dengan mbak Kiara. Wajah Kakak kelihatan banget kusutnya. Sampai-sampai aku nggak berani mendekatinya sedikitpun semenjak perawat tadi memberitahukan bahwa, mbak Kiara masih membutuhkan darah lagi, karena darah yang sudah di transfusi dari istri Alvin ternyata masih kurang, mbak Kia kembali mengalami pendarahan hebat. Apa yang bisa aku lakukan untuk kedua kakakku ini Ya Tuhan?
Dengan langkah gontai, aku keluar memisahkan diri dari keluarga yang sedang berdiri di dekat kaca untuk menatap keponakanku yang baru lahir. Bayinya mungil sekali. Dia masih ada di incubator, nggak sembarang orang bisa masuk dan berinteraksi langsung dengan bayi mungil itu.
Langkahku yang tertunduk terhalang oleh sepasang kaki jenjang yang dibalut dengan celana slim warna hitam. Kakinya beralaskan sepatu pantofel mengkilap warna coklat tua. Ketika aku memilih jalan ke kiri, orang yang aku tebak laki-laki ini mengikuti juga ke kiri. Aku ke kanan pun begitu. Menyebalkan sekali. Tapi bukannya mendongak untuk melihat siapa orang yang dengan sengaja menghalangi langkahku, aku malah menggerutu nggak jelas.
Orang itu menyerukan namaku. Suaranya berat, khas laki-laki dewasa pada umumnya. Semacam de javu dengan suara itu.
Aku menatap laki-laki di hadapanku ini tanpa mampu mengerjap. Napasku seolah tercekat di tenggorokan. Dunia ini begitu lebar, kenapa aku mesti ketemu dia di sini Ya Tuhan. Aku berharap ini sekadar mimpi.
"Kamu kok ada di Jakarta? Bukannya sedang kuliah di Jerman?" tanyanya lagi. Aku bergeming menanggapi pertanyaannya.
"Jawab pertanyaan saya!" nada bicaranya sedikit tinggi kali ini. Setelah menatap penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki, saat ini masih mengenakan pakaian kerja lengkap, karena belum sempat pulang ke rumah untuk mengganti pakaian.
Kuputuskan untuk melangkah lagi tanpa menjawab pertanyaannya. Saat tubuhku melewatinya, dia menahan lenganku.
"Jangan kemana-mana. Tunggu saya di kantin rumah sakit!" ucapnya dengan tegas, nada bicaranya tidak berubah sama sekali.
"Mau apa?" cicitku. Dia lalu menarik ponsel di tanganku dan menukar dengan ponsel miliknya, tanpa perlawanan dariku. Bodoh, memang seharusnya ponsel itu di letakkan di dalam tas, bukannya di tenteng gini.
"Saya masih ada urusan darurat. Nanti kalau sudah selesai, kamu saya hubungi. Kamu jangan ke mana-mana,urusan kita belum selesai."
"Urusan apa lagi sih?"
"Kita punya banyak urusan yang belum selesai. Maaf, saya buru-buru." Laki-laki bermata sendu itu menepuk pelan lenganku, kemudian segera berlalu dari hadapanku.
Apa lagi ini?
Aku melangkah gontai menuju kantin rumah sakit. Setengah mati aku menghindari laki-laki itu. Laki-laki yang pernah, ralat sering menolongku dulu, sekaligus menawariku hal tergila menurutku. Dia mengajakku menikah diusia ku yang masih baru memasuki 20 tahun, gila aja.
"Terima kasih sudah menunggu." Tiba-tiba dia yang sudah memenuhi pikiranku hampir satu jam terakhir, kini sudah berada di hadapanku. Wajahnya tampak pucat. Lengan kemeja yang tadinya terkancing rapi di bagian pergelangan lengannya, kini sudah terlipat hingga ke siku.
"Saya senang ketemu kamu di sini. Meski sedikit heran, gimana kamu bisa ada di Jakarta?" tanyanya, seraya bibir mungil untuk ukuran laki-laki itu tersenyum tipis.
"Aku nggak melanjutkan kuliah."
"Lalu? Kenapa kamu nggak ngabarin saya?" Wajahnya terlihat mengeras, kedua bibirnya terkatup menahan emosi.
"Untuk apa?"
"Untuk apa kamu bilang? Saya nggak akan pernah lupa janji kamu ya!"
"Janji apa sih?"
"Janji kalau kamu sudah pulang dari Jerman, kamu mau menikah dengan saya."
Sial, bagaimana dia bisa ingat janji itu? Itu kan hanya janji tergila yang pernah aku buat dalam hidupku. Janji seseorang yang tengah dilanda kekesalan setengah mati.
"Regio! Kamu mau apa?" Tiba-tiba dia sudah berada di sampingku lalu menarik lenganku.
"Bagus, kamu masih ingat nama saya. Saya mau ketemu orang tua kamu!" Dia lah Regio, sebuah nama yang dulu Alvin pernah tanyakan. Laki-laki baik, tampan juga tentunya yang aku kenal ketika kuliah di Bandung. Dia kini terlihat lebih tampan dari terakhir pertemuan kami saat aku berpamitan untuk melanjutkan kuliah di Jerman, sekitar 1,5 tahun yang lalu.
"Apaan sih, nggak ada!"
Sekali hentak aku bisa melepas cekalannya. Aku segera berlari meninggalkan kantin menuju area parkir. Regi meneriaki namaku sekali lagi.
Sayang sekali, langkahku kalah panjang dengan langkah Regi, dia terlebih dahulu sampai lalu menutup kembali pintu mobilku yang telah terbuka.
"Let me go!" Aku takut dan hampir menangis saat ini. Jangan sekarang, jangan.
"Kali ini saya nggak akan melepas kamu. Demi Tuhan, kamu sudah bikin hidup saya jungkir balik."
"Aku nggak cinta sama kamu. Aku masih ingat kamu pernah menghinaku anak kecil nggak tahu diri."
"Maafkan saya. Kamu juga salah waktu itu. Ingat, kamu membuat onar di hari saya sedang presentasi dengan calon nasabah besar saya. Pencairan kredit 1,5miliyar itu sangat besar bagi seorang marketing bank seperti saya, dan kamu sudah membuat rencana kredit calon nasabah itu batal begitu saja." Regi menjelaskan dengan nada bicara yang begitu lembut kali ini. Dan aku tersentuh.
Aku hanya bisa diam, merenungi kesalahan fatal yang membawaku mengenal sosok Regio, laki-laki yang berusia kira-kira sepuluh tahun lebih tua dariku dan alasan kenapa Alvin lebih memilih perempuan berjilbab itu, karena Alvin merasa telah dikhianati tanpa mau mendengarkan sedikit saja penjelasan dariku.
Arr sial, ini juga gara-gara aku mau saja diajak Lusi, teman kuliahku, melabrak laki-laki tua yang katanya menghancurkan masa depan Lusi. Dan aku baru tau pada akhirnya, ternyata justru Lusi lah yang menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga om-om gendut bertampang sangar yang katanya adalah calon nasabah Regi itu.
Saat menangkap basah pekerjaan sampingan Lusi adalah w*************a, ternyata aku kembali berurusan dengan Regi. Dari situlah awal perkenalan kami. Dia mengatakan bahwa begitu mengagumi karena aku benci terhadap hal-hal berbau orang ketiga dan perselingkuhan. Bukannya apa, karena aku bisa mengingat dengan baik keluargaku dulu hancur berantakan karena hal seperti itu. Hal yang kubenci itu jugalah yang membuatku mengambil keputusan untuk nggak lagi mengganggu kehidupan Alvin yang sudah menikah, meskipun sampai detik ini luka itu masih terasa perih.
"Ya?" aku terkesiap saat dia menyentuh bahuku.
Hening ... Hanya itu yang terjadi di antara kami saat ini. Mata sendu dan tajam itu seolah benar-benar ingin menerkamku saat ini. Lututku lemas ketika dia memandangku dengan cara begini. Aku tertunduk semakin dalam, tak berani menatap sorot mata itu.
"Kasih saya kesempatan." pintanya dengan lembut seraya meraih kedua tanganku, meremasnya perlahan seolah sedang memberikan sebuah isyarat pengharapan yang begitu besar.
"Aku pikir-pikir dulu. Sekarang aku mau pulang. Ini ponsel kamu." Aku menyodorkan ponsel tipis berwarna perak miliknya, lalu meminta kembali ponselku.
Regi membukakan pintu mobil dan mempersilakanku masuk, setelah sebelumnya kami sudah bertukar nomor ponsel.
Ternyata nomor kontaknya masih tetap yang dulu dan tersimpan di daftar kontakku dengan nama 'Aa Regi', meski ponselnya sudah berganti ke tipe ponsel terkini. Regi tersenyum melihat nama kontaknya yang tertera di layar ponselku, ketika dia mencoba melakukan panggilan pada nomor kontak yang aku beri, memastikan bahwa nomor kontak yang kuberikan bukan nomor yang salah.
---
^makvee^