4. Move On

1730 Kata
Lima bulan sudah berlalu sejak acara tangis menangis macam serial India kesukaan Bunda, di secret rooftop bersama Kakakku tersayang. Aku juga sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan baru kantorku. Semuanya baik-baik sama aku. Waktu awal-awal masuk aku kira pegawai di Direktorat ini isinya adalah bapak dan ibu telat gaul. Ternyata banyak juga anak muda di sini, ada yang seumuran denganku, atau hanya terpaut beberapa tahun saja dariku. Menteri nya juga ramah. Nggak jarang juga aku menghabiskan waktu pulang dari kantor untuk sekadar nongkrong bersama rekan-rekan sesama pegawai sipil. Gisel protes karena aku sekarang sibuk banget katanya, dia jadi nggak punya teman curhat setiap kali lagi libur terbang. Iya, Gisel sudah menyerah, dia akhirnya memilih salah satu maskapai penerbangan swasta karena harapannya untuk masuk ke maskapai plat merah sudah pupus. Seperti siang ini, dengan ego tingkat propinsinya dia meminta diajak ke Epicentrum. Katanya ada sate enak disana. Beruntung sekarang hari Jumat, jadi nggak terlalu sibuk karena ini adalah hari pendek bagiku, juga bagi para pegawai sipil seperti kami. Sebelum pergi, segala bentuk laporan sudah aku siapkan. "Lo dateng kan reuni SMA kita tiga minggu lagi?" tanya Gisel saat kami sudah berada di restoran Sate Khas. "Reuni apaan? Kapan emang?" "Ah, elah, elu mah sibuk move on sih, sampai nggak ngikutin perkembangan berita di group wa alumni SMA kita." "Paansi lo? Gue beneran sibuk kali. Lagian handphone gue tuh sekarang lebih banyak silentnya, jadi kadang nggak kedengeran kalau ada notif chat group masuk." "Ngeles aja lo." "Ya udah sih nggak usah diributin." Gisel manyun tapi pada akhirnya menyampaikan juga soal informasi acara reuni yang dia sampaikan tadi. Reuni akan diadakan di rooftop salah satu hotel di Jakarta Pusat. Acaranya masih beberapa minggu lagi. Masih banyak waktu untuk berpikir dan memutuskan akan datang atau tidak ke acara itu. Aku begitu enggan bertemu siapapun yang berasal dari masalalu, apalagi mencatatkan hal buruk di benakku. Reuni adalah jalan pintas menuju itu. Aku memang tipe anak kurang berbaur saat SMA, temanku hanya Gisel, Tasya dan Gea. Semenjak tamat SMA yang dua orang sudah tidak tinggal di Jakarta lagi. Hingga detik ini tinggal Gisel saja yang paling dekat. Kalau yang lain, hanya sekedar say hay saja di media sosial. Di group alumni yang dibuat oleh salah satu teman satu angkatan pun aku tidak aktif mengikuti perkembangan apa pun. Bahkan aku sudah berulang kali left dari group itu, karena beneran berisik dan ganggu banget. Apalagi kadang yang dibicarakan hal-hal yang sama sekali nggak sejalan dengan pikiranku. Aku juga selalu dicap sombong oleh teman-teman seangkatan karena sikap pendiamku. Aku remaja yang nggak terlalu banyak omong saat itu, nggak berisik selayaknya remaja pada umumnya, aku hanya membuktikan kemampuan melalui berbagai prestasi yang aku ukir selama sekolah. Sebenarnya, saat kelas sepuluh aku pernah memutuskan untuk mengikuti salah satu klub ekskul elite di sekolah, apalagi kalau bukan cheerleader. Karena postur tubuh dan wajahku yang sedikit berbeda dengan teman-teman yang lain, aku bisa masuk dalam group paling disegani seantero sekolah itu dengan mudah. Justru hal itu malah bikin aku semakin nggak punya teman, terlebih lagi berkumpul lama-lama dengan orang-orang yang ada di dalam group itu, seperti mengharuskan anggotanya untuk selalu mengikuti acara hangout nggak jelas yang nggak jarang juga ganggu aktifitas belajar di sekolah. Disitulah aku mulai merasa nggak cocok dan memutuskan untuk keluar dari group gadis-gadis famous itu. "Bisa nggak lo?" Pertanyaan Gisel berhasil membawaku dari dimensi waktu masa lampau kembali ke dimensi waktu real kita. Lama juga ya, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan baik. Apalagi kejadian di tahun saat aku hampir diperkosa oleh teman sekolahku, membuat aku semakin trauma untuk bertemu dengan orang-orang di masa itu. "Lo tenang aja, Steven nggak akan datang, dia udah ada di ujung belahan dunia sana, nggak akan punya muka dia untuk datang ke acara reuni itu," ucap Gisel sekali lagi, seolah sedang menjawab keraguanku. "Nanti gue kabari dah. Eh cabut yuk, gue mesti absen nih, trus pulang. Gue ada janji sama kakak ipar gue, mau nemenin dia belanja keperluan calon bayinya." "Kenapa nggak sama suaminya aja sih belanjanya?" Aku tak menjawab apa pun, segera menyambar hand bag ku dan melangkah meninggalkan restoran. Aku nggak peduli dengan wajah masam Gisel. Aku harus segera sampai gedung Plaza Centris sebelum keduluan Kabag aku. Nggak bakal dimarahin, paling cuma ditegur, tapi ditegurnya di depan orang banyak, kan keki. Gisel menghidupkan radio untuk menghilangkan suntuk menghadapi kemacetan. Saat radio dihidupkan langsung melantunkan lagu Cinta Melulu dari Efek Rumah Kaca. "Lagu wajib lo nih." "Bukan gue tapi Alvin. Dan elo udah bikin usaha gue beberapa bulan ini untuk move on, bakal gagal total abis dengerin lagu ini." Gisel hendak mematikan radio, tapi aku justru menghalangi tangannya, seraya menggeleng. "Elegi patah hati, ode pengusir rindu, atas nama pasar semuanya begitu banal. Ho ho.... Lagu cinta melulu, kita memang benar-benar merayu, suka mendayu-dayuuu...." Aku menyanyikan bagian reff lagu itu. Sambil sesekali mengetuk-ngetukkan jari diatas stir mobil. Gisel hanya tersenyum iba. Lalu mengedikkan kedua bahunya saat aku melempar senyum yang mengisyaratkan bahwa--aku baik-baik aja kok--lalu Gisel membalas dengan tersenyum lembut. Terima Kasih Tuhan karena Engkau masih mengirimiku sahabat terbaik seperti Gisel. Ternyata aku tidak baik-baik saja. Sepulang dari kantor aku mengurung diri di kamar dan menuju secret rooftop. Aku bahkan membatalkan acara belanja bareng mbak Kiara malam ini. Dia tidak keberatan sama sekali dan kembali membuat janji besok siang sekalian makan siang di luar, untunglah aku mempunyai kakak ipar sebaik dia. Aku membawa ponsel, laptop beserta gitarku ke tempat ini. Mulai aku buka satu persatu kenangan-kenanganku dengan Alvin yang sempat aku abadikan dalam bentuk video. Aku tertawa, menangis, tertawa lagi, tersenyum, menangis lagi ketika melihat semua foto dan video dari laptopku. Ada sebuah video yang sangat aku suka, aku ambil secara candid, saat dia bermain gitar dan menyanyikan lagu Cinta Melulu yang diputar siang tadi di radio mobil Gisel. (***) Sabtu sore begini Alvin selalu menyempatkan ke Bandung. Benar saja, baru juga dipikirin, Rush Silver milik Alvin sudah terparkir di depan kosan. Kebetulan kamar kos yang aku tempati berada di deretan paling depan lantai kedua, dan menghadap ke jalan yang selalu dilalui kendaraan manapun yang melintas di kompleks ini. Setiap kali ditanya apa alasan dia sering datang ke Bandung? Jawabannya pasti bikin hati dongkol. 'Ya karena pengin aja, kamu juga nggak punya pacar ini, yang bakal ngamuk-ngamuk kalau kak Al sering nemuin kamu.' Menyebalkan sekali bukan, jawabannya. Aku serta merta turun dari lantai dua kosanku, untuk menyambut kedatangan Alvin. Dia sudah tampan sore ini. Ach, dia memang selalu berusaha sebersih mungkin jika akan bertemu denganku, minimal sudah mandi. Alvin menyodorkan sekantong keresek berisi camilan dan minuman kemasan kepadaku. "Makasi, duduk Kak." Aku mempersilakannya duduk di teras depan kosanku, di sebuah kursi rotan yang dikhususkan bagi pengunjung laki-laki selain keluarga. Alvin hanya menjawab dalam gumaman. "Ambil gitar gih." Aku hanya menuruti saja perintahnya dan masuk kembali ke dalam untuk mengambil gitar di kamar. Setelah menerima gitar dari tanganku, dia mulai menyetel bunyi melodi yang dihasilkan oleh senar-senar gitar. "Nggak setel gini sih? Jarang kamu maenin ya?" tanyanya sambil melirik ke arahku. "Iya, akhir-akhir ini sibuk ikut dosen riset," jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari aktifitas laki-laki yang sedang serius dengan gitarnya, dia benar-benar menganggap seolah-olah aku nggak ada di sini. Buat apa kemari kalau tujuannya cuma ngecengin gitar. Alvin mulai menyetem gitar yang ada dipangkuannya, sesekali telinga kanannya di dekatkan ke lubang resonansi, memastikan apa nada yang dihasilkan oleh gitar sudah sesuai dengan yang diinginkannya. Jari-jari panjangnya dengan lihai memutar tuner, mengendurkan juga mengencangkan satu persatu senar gitar, kemudian pindah lagi ke fretboard, keempat jari tangan kirinya menekan papan jari itu membentuk sebuah kunci gitar. Jemari tangan kanannya mulai memetik senar gitar,dari petikan santai hingga genjrengan dengan tempo terjaga. Alvin mulai menyanyikan sebuah lagu band indie Efek Rumah Kaca yang judulnya Cinta Melulu. Aku merekam aksinya ini tanpa sepengetahuannya. "Kak Al, pernah ngerasain jatuh cinta nggak sih, sama seorang cewek?" tanyaku ketika dia mengakhiri aktifitas bermain gitarnya. "Hah? Kalau ''bobok' sama cewek sih pernah." Alvin menjawab dengan tampang flat nya. Aku mendengus kesal. Tangannya langsung mengacak puncak kepalaku. "Serius aku kak, ish." Aku bersendekap karena melihat tak ada perubahan ekspresi apapun di wajahnya. "Ya kakak serius juga. Nanti kalau udah nikah kali ya baru aku tahu jatuh cinta itu apa." "Emang kamu mau nikah sama siapa, Kak?" "Yang jelas bukan sama kamu. Kalau sama kamu berasa bobok biasa, kayak sama adik kak Al nanti, ha ha ha...." Alvin terbahak seolah ada yang lucu dari pembicaraan ini. "Kamu kenapa nanya gitu? Lagi jatuh cinta ya?" Aku menggeleng kesal. "Maaf deh, kakak cuma bercanda. Kakak tuh nggak kayak Dastan yang bisa tahu apa itu cinta dan rasanya jatuh cinta. Kalau Dastan ketemu cewek, trus dia naksir itu cewek pasti dibilangnya dia jatuh cinta sama cewek itu." "Trus kira-kira perempuan seperti apa yang bisa membuat kak Al jatuh cinta?" tanyaku mengejar orasi yang ia sampaikan barusan. "Siapapun perempuan yang menjadi pasangan hidup kak Al, dialah yang otomotis akan bisa membuat kakak merasakan jatuh cinta." Aku mengembuskan karbondioksida dari kedua lubang hidungku. Sesak, itu yang tengah aku rasakan saat ini, seolah paru-paruku kekurangan asupan oksigen. Aku pamit ke dalam untuk buang air kecil. Di balik pintu kosan yang baru saja aku tutup ini, cairan bening mengalir tanpa permisi dengan kurang ajarnya. Aku pun mengurungkan niat untuk membatalkan beasiswa ke Jermanku. Fix aku akan menerima tawaran beasiswa itu. Kalau perlu aku akan pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun pada Alvin. (***) Setelah puas melihat dan terbang ke dimensi waktu masa indah itu, aku menghirup oksigen dalam-dalam hingga memenuhi rongga paru-paruku. Ini adalah cara terberat untukku, tapi harus segera aku lakukan. Setelah mengumpulkan seluruh file ke dalam satu folder, aku segera memejamkan mata, dan menghapus segala file yang berisi semua hal tentang Alvin. Setelah terhapus dari dekstop, aku memindahkan kursor ke arah recycle bin, lalu menghapus folder tadi dari sana. Aku harus punya kehidupan baru setelah ini. Aku mulai lelah menghadapi patah hati yang ngga ada juntrungan-nya. Dan sekarang aku cuma bisa menangis sejadi-jadinya. Tak apa, ini akan menjadi tangisan terakhirku--untuknya. Aku menyeka air mata yang terus menetes dari kelopak mata. Lalu memindai semua barang-barang yang aku bawa tadi ke tempatnya semula. Setelah mematikan lampu kamar, aku bergabung dengan bantal dan guling lalu bergelung di bawah selimut, membiarkan mataku yang tak hentinya menghasilkan cairan bening bersama gelapnya kamar, hingga aku terlelap begitu saja karena kelelahan akibat menangis. Nyatanya nggak segampang itu, mengubah masa lalu menjadi masabodoh. Terbukti melupakan Alvin seperti aku sedang berlari di tempat, tidak bergerak barang seinci pun. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN