"Hahaha, berhasil." Kedua gadis itu tertawa di depan toilet. Menertawakan Minah yang kini berteriak minta tolong di dalam toilet.
Mereka sangat senang karena misi mereka berhasil. Mereka juga berhasil mengunci pintu kamar mandi dari luar. Dan sekarang gadis kampung itu pasti tengah panik di dalam sana. Mereka yakin jika Rachel akan puas dengan hasil kerja mereka.
Mereka berdua segera memasang tanda toilet dalam perbaikan agar tidak ada yang membuka pintu kamar mandi untuk Minah. Setelah semua beres, mereka segera meninggalkan tempat itu.
"Aku heran, kenapa ya semua yang dikatakan Rachel benar. Tanpa pikir panjang, gadis katrok itu langsung berlari ke kamar mandi. Wajahnya juga panik, sepertinya benar-benar mengkhawatirkan Rachel," ucap Erina sambil berjalan meninggalkan toilet.
"Itu karena dia gadis bodoh," jawab Vita asal.
"Tapi kan Vit ...."
"Sudah Rin, yang terpenting kan kita akan mendapatkan imbalan kita. Oh tas Channilku." Vita sangat bahagia karena akan mendapatkan tas Rachel yang sudah lama ia idamkan.
"Benar juga kamu Vit, akhirnya aku dapat SuperM album tanpa harus merogoh kocekku."
"Bodoh kamu Rin. Kenapa tidak minta tas atau sepatu Rachel yang dia beli di Singapore? Yang mahal begitu. Tapi kamu malah minta barang murahan seperti itu."
"Jangan katakan apa yang aku sukai itu murahan. Dan album itu begitu berharga bagiku. Oh oppa-oppaku yang tampan."
"Ya ya ya, terserah kamu deh."
"Ayo kita menyusul Bos kita yang lagi makan enak di kantin." Vita merangkul Erina dan mengajaknya ke kantin untuk mencari Rachel.
Dan di kantin, Rachel sedang menikmati makanannya bersama Dafa, kekasihnya.
"Minggu ini keluar yuk, sayang."
"Tapi, nanti mamamu mengusir aku lagi?"
"Tidak akan, Mama dan Papa akhir pekan ini mau ke luar kota."
"Okay, kita pergi. Mau ke mana sayang?"
"Kita nonton yuk. Ada film seru yang ingin aku tonton."
"Its ok."
Rachel melihat kedatangan kedua anak buahnya. Tak sabar lagi ia bertanya tentang misi mereka.
"Gimana, beres?" tanya Rachel setelah melihat mereka berdua.
"Tentu beres Bos. Siapa dulu." Keduanya bergabung di meja Rachel dan Dafa.
"Bagus."
"Jangan lupa janjimu Chel."
"Iya, tenang saja. Besok aku bawakan."
"Bagus, tak sia-sia kami bersusah payah."
"Susah payah? Idenya saja aku yang pikirkan."
"Iya, iya Bos." Erina dan Vita tak mempermasalahkan lagi karena Rachel adalah pemimpin mereka, yang tak pernah bisa dibantah.
***
"Meja siapa itu yang kosong?" Tanya Bu Mila.
"Minah Bu," jawab mereka serentak. Erina, Rachel dan Vita saling berpandangan dan tersenyum.
"Ada yang tahu Minah ke mana?" Semua orang bungkam tak menjawab.
"Hah, kemana teman kalian? Kalau ia pulang, kenapa tasnya masih di sini?"
"Bu, sejak istirahat kedua, gadis kampung itu tidak ada. Tapi tadi saya lihat dia berbicara dengan Erina sebelum pergi," ungkap Andy seraya memainkan pulpen miliknya.
"Kamu tidak bohong?"
"Tidak Bu. Untuk apa saya berbohong. Coba tanya Erina Bu."
"Benar Erina?"
"I-iya Bu." Erina terpaksa mengiyakan atau semua orang akan mencurigainya.
"Saya hanya berbicara sebentar. Menanyakan kalau-kalau dia butuh sesuatu, karena ia terlihat bingung. Tapi setelah itu saya tidak tahu lagi dia ke mana Bu," bohong Erina.
"Ya sudahlah. Kita mulai saja pelajaran kita. Mungkin dia di UKS atau di mana."
"Baik Bu," jawab mereka serentak.
***
Gadis itu terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandi yang basah. Keningnya membengkak sebesar kelereng karena terantuk lantai. Sudah satu jam berlalu, gadis itu tak juga bangun. Padahal satu jam lagi pelajaran akan usai.
Sungguh kejam apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Untuk kategori bercanda, hal itu keterlaluan. Mereka tega mengerjai Minah yang bahkan tak ada salah apa pun pada mereka.
Waktu berlalu dan bel berbunyi tiga kali, tanda sekolah telah usai. Semua murid menghambur keluar kelas. Ingin segera pulang ke rumah, tempat orang tua menantikan mereka. Tapi ada juga yang pergi entah ke mana. Bermain bersama teman atau bahkan pacar.
Dan hari itu adalah jadwal latihan basket untuk Raditya. Ia segera mengganti pakaian dan melakukan pemanasan seadanya. Merenggangkan seluruh otot di tubuhnya. Kadang-kadang lelaki itu juga berlari-lari kecil. Menunggu anggota timnya datang. Karena baru tiga orang termasuk dirinya yang datang.
Di sela-sela pemanasan, tiba-tiba Raditya merasa ingin kencing. Padahal latihan hampir dimulai. Sebagian dari teman-temannya sudah datang. Tapi karena tak tertahankan lagi, akhirnya Raditya pamit kepada teman-temannya. Ia segera menuju ke toilet yang letaknya terdekat dengan lapangan basket.
Setelah menuntaskan hasratnya, Raditya berniat kembali ke lapangan basket. Dan ketika ia melewati toilet putri, Raditya mendengar suara yang sangat lirih dari arah sana. Bulu kuduk lelaki itu berdiri karena suara aneh itu. Bagaimana tidak, jam sekolah sudah berakhir dan ada suara seorang wanita dari dalam toilet. Tentu saja Raditya sedikit ngeri membayangkan hal-hal yang horor.
"Tolong ... tolong ...." Suara wanita terdengar lagi dari dalam toilet, sangat lirih dan lemah.
Raditya penasaran, walau masih sedikit takut. Lelaki itu mengendap masuk ke toilet wanita. Ada tanda perbaikan di depan pintu. Namun anehnya, pintu dikunci dari luar dengan ditahan menggunakan gagang pel. Raditya membuang gagang pel ke sembarang arah. Ia membuka lebar-lebar pintu toilet. Dan di sanalah, Minah duduk lemas menyandar di dinding.
"Ka-kamu Radit kan? Akhirnya ada yang datang menolongku," gumam Minah lirih. Pandangan Minah sedikit kabur, namun ia yakin yang datang adalah Raditya.
"Dit, tolong aku ...," ucap Minah dengan mata yang berkunang. Kepalanya terasa sakit dan berdenyut.
Radit beringsut mundur dan berbalik meninggalkan Minah seorang diri.
"Dit, kenapa kamu tidak mau menolongku? Apakah aku semenjijikan itu? Kenapa kalian sangat membenciku?" ucap Minah lirih. Air mata tak tertahankan lagi membasahi pipinya.
Dan perlahan mata gadis itu tertutup kembali. Minah hilang kesadarannya.
Raditya berlari dengan tergesa. Seolah ia baru saja bertemu dengan hantu.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan? Hah ... hah ...." Raditya merasakan perasaan yang tidak karuan. Ia tak ingin berurusan dengan Minah kampung itu. Tapi bayangan Minah yang kesakitan dan tak berdaya di toilet bermain-main dalam benaknya. Mengganggu Raditya hingga lelaki itu merasa bersalah karena tidak menolongnya.
"Sialan! Menyusahkan saja." Langkah Raditya membelok menuju loker. Ia mengambil tas dan barang-barangnya. Ia segera mengetikkan pesan pada kapten timnya dan meminta izin untuk pulang.
Ia meraih jaket miliknya dan juga menyandang ranselnya. Dengan langkah ragu ia menuju toilet tempat Minah pingsan. Sesaat ia ingin pergi saja tanpa menolong Minah. Tapi sisi kemanusiaannya membisikkan agar ia menolong gadis malang itu.
Akhirnya nuraninya yang menang. Setelah beberapa lama ia berpikir, ia harus menolong Minah, si gadis kampung. Ia kembali ke toilet dan melihat gadis itu sudah tak sadarkan diri. Bibirnya membiru dan wajah gadis itu terlihat sangat pucat.
"Hahhh, menyusahkan saja!" Raditya mengusak wajahnya dengan kasar.