Bab 11

1004 Kata
Seperti biasa, Minah harus turun di sebuah halte yang berjarak sekitar lima ratus meter dari sekolahnya. Ia harus menuruti semua perkataan Rachel. Agar hati gadis itu senang. Minah berlari penuh semangat menuju sekolahnya. Namun baru dua puluh meter berlari, tiba-tiba sebuah motor berhenti di sampingnya. Dan orang itu membuka helm-nya. "Kamu Minah kan? Anak yang kemarin?" ucap lelaki tampan disertai senyuman. "Eh, iya ... Kakak ... Kak Andra yang kemarin menolong Minah ya?" tanya gadis itu bahagia. Ia mengingat Andra yang sudah berbaik hati menolong dirinya. Ia berhenti sejenak untuk berbicara pada kakak kelas yang menolongnya kemarin. "Iya, rumah kamu dekat ya? Kok kamu jalan kaki?" tanya Andra keheranan. "Ah, eh iya rumah Minah di sekitar sini," bohong gadis itu. Karena tak mungkin ia mengatakan jika ia tinggal di rumah Rachel. "Rumah kamu di mana memangnya?" "Ya sekitaran sini Kak. Minah baru di sini, jadi belum mengenal lingkungan ini dengan baik," bohong Minah lagi Gadis itu terpaksa harus berbohong demi Rachel yang malu padanya. "Oh begitu, ayo naik!" ajak Andra dengan nada perintah namun terkesan lembut. "Hah?" "Ayo Kakak bonceng! Daripada kamu terlambat," tawar Andra dengan nada memerintah. "Ta ... tapi ...," ucap Minah ragu. "Sudahlah ayo!" paksa lelaki itu. "Minah tak ada helm Kak." "Dekat saja. Jadi tidak apa-apa. Cepatlah naik atau kita akan terlambat." Akhirnya Minah menuruti kata Andra. Motor Andra melaju dengan kencang, Minah yang ketakutan tak dapat menyampaikan protesnya. Karena ia tak enak hati pada orang yang sudah menolongnya. Tangan Minah berkeringat dingin karena takut. Ingin rasanya ia memeluk perut Andra, tapi Minah malu. Takut dikira mencari kesempatan. Lagi pula mereka baru saja kenal. Karena Minah sudah merasa sedikit nyaman akan kehadiran Andra yang begitu care padanya. Hingga ia tak ingin Andra menjauhinya karena canggung. Setelah lima menit motor melaju, mereka sampai di sekolah. Tak lantas menurunkan Minah di gerbang, Andra mengajak serta gadis itu sampai ke tempat parkir. Dan ketika motor memasuki area sekolah, puluhan mata menatap kehadiran mereka berdua. Dan mungkin saja mereka akan menjadi bahan gosip yang panas di hari itu. "Kak, kenapa tidak menurunkan aku di depan saja? Banyak yang melihat. Kakak tidak malu berteman denganku?" "Tidak, kenapa harus malu?" ucap Andra seraya memarkirkan motornya. "Minah kan anak udik. Anak desa." "Tidak ada yang namanya udik dan kota dalam pendidikan. Semua punya hak sama. Dan yang penting dalam belajar adalah ini." Andra menunjuk ke kepalanya. Membuat Minah tak dapat membantah perkataan Andra lagi. "Sudah sana masuk ke kelasmu. Kita berpisah di sini. Karena kelas kita arahnya berlawanan." "Iya Kak. Terima kasih ya," ucap Minah kepada Andra yang sudah berjalan ke kelasnya. Andra hanya memberi kode 'ok' tak mau menoleh. Tapi Minah tahu, jika lelaki itu baik hati. Minah tersenyum dan segera menuju kelasnya sendiri. Di dalam kelas Rachel sedang mengobrol bersama Vita. Dan tiba-tiba Erina yang baru datang mengejutkan mereka dengan menggebrak meja Rachel dengan keras. "Apa-apaan sih kamu Rin?" ucap Rachel kesal. "Guys, ada berita panas pagi ini." "Apa Rin?" tanya Vita dengan mata berbinar. "Si anak kampung berangkat bersama Kak Andra, cowok terkeren di sekolah ini." "Ya nggak mungkin lah ... Katrok berangkat sama Kak Andra, orang dia berangkatnya sama aku. Eh, tapi ...," batin Rachel tiba-tiba kesal. "Seriusan?" tanya Vita menganga tak percaya. "Heem, hah ... hah ...." Erina menjawab dengan napas terengah-engah. Karena gadis itu berlari dari pintu gerbang, ingin segera bergosip bersama Rachel. "Sialan, kenapa sih itu anak mujur terus," batin Rachel marah. "Beruntungnya si anak udik itu. Padahal biasanya Kak Andra dingin pada semua orang. Guys, gimana kalau kita beri pelajaran pada anak udik itu?" ucap Vita. "Oke, ayo ...." "Stt ... dia datang. Dia datang." Ketiganya langsung bungkam begitu Minah masuk kelas. Minah berbasa-basi tersenyum pada semua teman sekelasnya. Namun semua orang memalingkan wajah, seakan dia adalah makhluk tak kasat mata. Minah sudah terbiasa, ia tak memasukkan ke dalam hati. Yang terpenting adalah belajar dengan baik. Ia sadar, ia tak selevel dengan mereka. *** Ketiga gadis itu sibuk mempersiapkan jebakan di kamar mandi dekat kelasnya. Setelah mereka menaruh tanda sedang dalam perbaikan, mereka mulai menjalankan aksi mereka untuk mengerjai Minah. "Kita siapkan air di atas pintu ini. Lalu nanti kalian katakan saja pada Minah, kalau aku pingsan di kamar mandi. Agar dia terpancing ke sini." "Kamu yakin trik ini berhasil?" tanya Erina meragu. "Yakin seratus persen. Bahkan tak perlu menunggu sampai lima detik dia akan berlari kemari." "Kamu kok yakin banget Chel?" "Ada deh. Nggak usah kepo. Lakukan saja apa yang aku perintahkan." "Kalau dia tak datang?" "Sudah kubilang, tidak akan gagal." "Ya sudah. Kami percaya dengan rencanamu." "Okay, aku ke kantin dulu ya? Mau makan, kalian jalankan rencana kita." "Siap Chel. Tapi ingat imbalanku ya Chel." "Iya, cerewet! Tenang saja! SuperM album untuk Erina. Dan tas Channilku untuk Vita. Puas?" "Iya Chel. Percaya pada kami. Kami akan melakukan yang terbaik." Rachel segera menuju kantin, untuk mengelabuhi Minah. Sementara itu Vita menunggu di depan toilet menjaga tanda perbaikan. Dan Erina mengatakan pada Minah kalau Rachel pingsan. "Hei anak baru! Nama kamu siapa? Ah iya Minah. Itu ... itu ... Rachel pingsan di toilet." "Apa? Di mana?" "Di situ, kamar mandi ujung." Tanpa pikir panjang Minah berdiri dan berlari menuju toilet. Gadis itu sangat mengkhawatirkan keadaan Rachel. "Chel, rachel," panggil Minah lirih. Hening, tak ada jawaban. Ia memeriksa satu per satu bilik kamar mandi. Hampa, tak ada siapa pun. Minah melihat salah satu pintu toilet tertutup. Ia panik, jangan-jangan Rachel benar-benar pingsan di dalam. Ia segera menarik pintu toilet yang tertutup itu dan ... Byuurr. Satu ember air menyiram tubuh Minah hingga basah kuyup. Gadis itu terkejut dan hanya bisa menghembuskan napas panjang. Rupanya semua hanya jebakan untuknya. Ia yakin semua ini rencana Rachel. "Ya Allah beri Minah kesabaran." Minah membalikkan badan ingin keluar dari toilet. Sayang pintu toilet yang semula terbuka lebar kini tertutup rapat. Dan pintu dikunci dari luar. "Loh, kenapa tidak bisa dibuka? Bagaimana ini?" Minah memutar kenop beberapa kali. Namun nihil, pintu tetap saja tidak terbuka. "Tolong ... tolong!!" Minah teriak seraya menggebrak pintu toilet Berkali-kali. Namun, tak ada seorang pun yang datang menolongnya. Minah lemas, ia merasa teman-temannya keterlaluan. Sampai setega itu melakukan hal ini padanya. Minah melangkahkan kaki ke wastafel, ingin membasuh wajahnya yang berantakan. Sial, air yang menggenang membuat lantai licin dan Minah terpeleset hingga pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN