"Kemana sih gadis udik itu? Sialan aku harus menunggunya selama ini. Mana perutku sudah lapar lagi. Awas saja kalau dia datang akan aku omeli," keluh gadis itu kesal.
"Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Minah kampung itu ya? Ah tidak! Tidak mungkin hanya terkunci di dalam toilet bisa mengakibatkan hal buruk. Pasti dia sudah keluar dong? Tapi jika benar ia belum bisa keluar dari toilet maka ... hahaha rasakan Minah." Sebuah seringaian terbentuk di bibir gadis itu.
"Pak, Minah tadi tidak ada di kelas. Mungkin dia sudah pulang duluan. Ayo Kita pulang saja," ajak Rachel kepada sopirnya.
"Tapi Non ... saya takut nanti Nyonya marah." Pak Tono memberi alasan karena sudah dipesan oleh Rasti agar menunggu Minah.
"Jadi Bapak tidak takut jika saya yang marah?" ucap Rachel kesal.
"Tapi nanti saya harus bilang apa sama Nyonya?" tanya Pak Tono yang juga takut jika Rachel marah.
"Tenang saja. Rachel yang akan menjelaskan pada Mama. Sudah jalan cepat!" perintah gadis itu.
"Ba-Baik Non." Mobil meninggalkan halte bus tempat biasa Minah menunggu Rachel.
"Rasakan kamu Minah," batin Rachel menyeringai.
***
Raditya menepuk-nepuk pipi Minah beberapa kali. Namun gadis itu diam tak bergeming, enggan membuka mata.
"Ish, bagaimana caranya membangunkan gadis ini." Raditya menatap wajah Minah yang pucat dan bibirnya membiru. Raditya lantas memegang tangan Minah. Dingin. Tangan gadis itu dingin sekali. Raditya jadi panik. Ia memegang kening gadis itu yang terasa panas.
"Huh, dia benar-benar tidak baik-baik saja. Haruskah aku menggendongnya? Kenapa aku jadi kesusahan begini gara-gara gadis ini? Tapi kasihan sekali ...," gumam Raditya seorang diri.
"Lagi pula aku kan naik motor. Bagaimana aku membawanya pulang? Apa aku tinggalkan di sini saja ya? Nanti dia juga bangun sendiri," gumam Raditya meragu.
"Benar-benar sialann!" Raditya mengambil ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang.
"Pak, tolong jemput kami di SMA Tunas Bangsa. Cepat datang ya Pak." Raditya langsung mematikan panggilan teleponnya.
Raditya mengambil jaket miliknya yang tadinya tersampir di pundaknya. Dan memakaikan ke Minah yang basah kuyup. Ia segera menaikkan Minah ke punggungnya dan menggendong gadis itu keluar dari toilet.
"Kecil-kecil berat juga ya ...." Raditya kehabisan napas karena menggendong Minah. Dan seketika senyumnya terbit ketika taksi langganannya sudah datang. Ia segera memasukkan Minah ke dalam taksi. Dan ia duduk di depan dekat sopir.
"Mas, temannya kenapa?"
"Itu Pak. Dia jatuh di kamar mandi dan pingsan. "
"Aduh, kalau begitu Mas jagain dong. Kasihan nanti tak ada yang memegangi kalau Mas duduk di sini. Kalau dia terjatuh bagaimana?"
"Ya sudah saya pindah ke belakang." Raditya mengiyakan dan pindah ke tempat duduk belakang dan memangku kepala Minah.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan?" batin Raditya kesal pada dirinya sendiri.
***
Dengan terseok-seok Raditya menggendong Minah dan membawanya masuk rumah.
"Dit, apa yang terjadi?" Dengan wajah panik Rasti menyongsong kehadiran putranya yang menggendong Minah.
"Tak tahu," jawab Radit ketus.
"Ini ulah kamu?" Radit mengeraskan rahangnya karena marah atas tuduhan mamanya. Susah payah ia membawa pulang gadis itu, kini malah dituduh telah menyakitinya.
"Memang putra Mama ini tak pernah ada baiknya ya?"
"Maaf Nak. Bukan begitu maksud Mama. Maksudnya apa yang terjadi Dit?"
"Tidak tahu Ma. Yang Radit tahu, ia pingsan di kamar mandi. Berat! Mau diletakkan di mana ini Ma?"
"Ayo bawa ke kamarnya." Rasti mengikuti Raditya dari belakang. Dan ia juga membantu untuk membuka pintu untuk mereka.
Radit segera menidurkan Minah yang belum sadar juga di ranjang. "Ma, ganti bajunya. Dia basah kuyup." Setelah itu Raditya ingin keluar dari kamar Minah.
"Dit, Mama tidak bisa berlama-lama menjaga Minah. Mama dapat telepon dari desa. Katanya Kakek sakit, jadi Mama dan Papa harus segera ke sana." Ucapan Rasti menghentikan langkah Raditya.
"Lalu?" Raditya dapat menebak apa yang mamanya inginkan.
"Kamu tolong jaga Minah Ya Nak," pinta Rasti seraya mendekat dan mengelus lengan Raditya.
"No, ogah amat."
"Kasihan Nak. Kalau bukan kamu siapa lagi yang mau merawatnya?" tanya Rasti.
"Tapi kan Ma ... nggak harus Radit juga kali yang merawat dia?" protes lelaki tampan itu.
"Lalu siapa Dit? Rachel? Kamu tahu sendiri kan Rachel itu sifatnya kayak gimana? Sedangkan Bi Murni tadi minta pulang lebih awal karena anaknya sakit."
"Shi* benar-benar menyusahkan saja," batin Raditya kesal.
"Iya iya. Hah, bikin orang repot saja." Raditya berjalan menuju kamarnya.
"Kamu mau kemana?"
"Radit ganti baju dulu Ma. Terpapar bau si Minah kampung." Raditya berlalu menuju kamarnya. Rasti menggelengkan kepala dan mengelus dadanya. Kemudian dengan sabar wanita cantik itu mengganti pakaian Minah.
Rasti sudah selesai mengganti baju Minah. Dan Raditya tak kunjung datang juga, akhirnya ia menyusul putra kesayangannya ke kamarnya.
Ceklek. Rasti masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Dilihatnya putra kesayangannya tengah berbaring di sofa dekat jendela. Kedua mata Raditya terpejam dan sebuah handsfree menutup kedua lubang telinganya.
Rasti menghembuskan napas kasar. Masih berusaha sabar menghadapi anak sulungnya. Perlahan ia mendekati Raditya yang diam tak bersuara. Tangan Rasti terulur menarik handsfree yang Raditya pakai. Membuat pemuda tampan itu mau tak mau membuka matanya.
"Apa sih Ma?" Raditya marah karena mamanya sudah mengganggu ketenangannya.
"Dit, Mama kan minta tolong sekali ini saja. Masa kamu tidak mau?"
"Ma, Minah kan sudah dewasa. Cuma jatuh gitu, nanti juga bangun sendiri. Gitu aja manja," sahut Raditya asal.
"Radit!" Rasti memandang putranya dengan tak suka.
"Ah iya iya iya. Menyebalkan." Raditya mengantongi ponselnya. Dan menyimpan handsfree miliknya. Dengan enggan ia mengikuti langkah Rasti yang menuju kamar si gadis kampung.
Pintu kamar terbuka, menampilkan gadis yang terbaring lemah dengan kelopak mata yang tertutup. Gadis itu masih terlihat pucat.
"Kamu jaga ya Nak. Nanti Mama akan kabulkan satu permintaan kamu."
"Benarkah? Kalau Radit mau Minah kampung ini pergi dari sini bisa?" tanya Raditya tanpa perasaan.
"Radit, kenapa kamu begitu membenci gadis malang ini? Apa salah dia Nak?"
"Ah, entah. Sudah sana Mama pergi!" usir Raditya malas mendengar ceramah mamanya.
"Itu Mama sudah persiapkan air dan handuk kecil. Tolong kamu kompres ya sayang."
"Iya," jawab Raditya ketus.
"Mama juga sudah buatkan bubur. Nanti kamu panaskan dan berikan padanya."
"Apa? Radit juga harus melakukan hal itu? Nggak mau."
"Radit, Mama mohon Nak."
"Hahh, iya iya iya." Rasti tersenyum akhirnya putranya menyetujui.
"Mama juga sudah menyiapkan obat untuk Minah. Nanti suruh dia minum setelah makan. Okay?"
"Hem." jawabnya dingin. Raditya enggan menatap mata mamanya.
"Terima kasih sayang." Rasti tersenyum dan mengelus pipi putranya. Kemudian ia mendekat dan mengecup pipi Raditya.
Cup.
"Ya sudah Mama pergi. Jaga rumah dan jaga Minah."