Bab 4

1849 Kata
“CHOCO MUFFIN.” Pria itu menatap garang, mulutnya terkunci dengan penutup ketat berwarna kuning. Pria itu berdiri beberapa meter darinya tetapi, Lilian bisa merasakan bahaya memancar, tiba-tiba dapat membaui detak pahit ketakutan pribadinya. Saat pria itu menatap tegas ke matanya, Lilian bisa merasakan ujung atap mendekat di belakang. Ia merogoh sarung pistol di bahu, tapi, tentu kosong. Ia meraba-raba semua saku. Lilian memutuskan untuk menggunakan satu senjat pamungkas yang telah diandalkan sepanjang hidupnya, satu senjata menakutkan yang acap membuatnya terlibat dan lolos dari sebagian besar masalah. Kata-kata, namun, alih-alih berhasil melontarkan kata-kata cerdas atau mengancam yang bisa digumamkan hanya kegagapan. “Apa?” Sekali lagi, preman itu berkata, “Choco Muffin?” Kata-kata itu rasanya tak sesuai dengan situasi sekitar hari yang sangat terang, langit tak berawan, burung camar putih membentuk lengkungan malas di atas kepala. Ini seperti minggu pagi, tetapi, Lilian bisa merasakan bahwa itu bukan minggu pagi. Tidak ada minggu pagi yang memberi ancaman begitu besar, atau menimbulkan rasa ketakutan begitu dalam. Tidak ada minggu pagi yang akan mendapati dirinya berada di puncak pusat peradilan Osaka dengan anggota geng mengerikan ini bergerak ke arahnya. Sebelum Lilian bisa bicara, anggota geng itu mengulang ucapannya untuk terakhir kali. “Aku membuatkanmu Choco Muffin, Mommy.” Lilian perlahan membuka kedua matanya. Sinar matahari pagi menerjang dari segala arah, hunjaman-hunjaman tipis kekuningan yang menembus otaknya. Ternyata itu bukan b******n, justru putri tiga tahunnya, Theresa, bertengger di d**a. Baju tidur yang berwarna biru muda itu mempertegas warna kemerahan di pipi. Wajah dengan mata cokelat terang di tengah kekacauan keriting berwarna hitam kecokelatan. Sekarang, tentu saja semua masuk akal, sekarang Lilian mengerti apa yang membebani jantungnya dan mengapa pria mengerikan dalam mimpi buruknya terdengar agak mirip Elmo. “Choco Muffin, Sayang?” Theresa Lee mengangguk. “Ada apa dengan Choco Muffin?” “Aku buatkan untuk sarapanmu, Mommy.” “Kau membuatnya?” “Ya, ya.” “Kau memang sudah besar.” “Memang.” Lilian menunjukkan wajah sungguh-sungguh. “Apa yang Mommy katakan soal menaiki lemari dan menyalakan kompor?” Wajah Theresa berubah-ubah dengan gerakan mengelak, berusaha mengarang cerita yang dapat menjelaskan bagaimana ia mengeluarkan tepung dari lemari tanpa menaiki meja juga menyalakan kompor. Pada akhirnya, ia hanya memberikan senyum termanis dan seperti biasa diskusi itu selesai begitu saja. Lilian terpaksa tersenyum. Ia membayangkan dapurnya pasti hancur lebur seperti Hiroshima dihantam bom atom. “Kenapa kau membuatkan sarapan untukku?” Theresa memutar bola matanya. Bukankah itu sudah jelas? “Kau perlu sarapan di hari pertama sekolahmu!” “Itu benar.” “Itu makanan paling penting dalam sehari!” Theresia, sebenarnya terlalu muda untuk memahami konsep bekerja. Sejak hari pertama ke kelompok bermain di dekat rumah bernama Kodomo sekare tiap kali ibunya meninggalkan rumah utnuk sementara waktu, bagi Theresia itu adalah pergi ke sekolah. Saat pagi mengendap dalam titian kesadaran, rasa takut itu mulai mencair. Lilian tak akan bisa dipinggirkan oleh seorang penjahat, satu skenario mimpi yang telah menjadi terlalu biasa baginya dalam beberapa bulan ini. Ia berada dalam pelukan putri cantiknya. Ia berada di dalam sebuah rumah elite dengan tiga kamar besar yang sertifikatnya disimpan pihak kreditur Osaka timur laut, dan sebuah jeep cherokee juga hasil mengajukan kredit, ada di garasi. Aman. Lilian meraih ke samping dan menyalakan radio ketika Theresa memberikan pelukan dan ciuman yang lebih hangat. “Ini sudah siang!” Lalu ia meluncur turun dari ranjang dan melesat melintasi kamar tidur. “Ayo, Mommy!” Ketika mengamati putrinya yang menghilang di ujung kamar, ia merenung bahwa, dalam dua puluh lima tahun usianya ia tidak pernah sebahagia ini menyambut hari tak pernah segembira ini lepas dari mimpi buruk yang dialami begitu mendengar dirinya dipindahkan ke unit pembunuhan. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai polisi di unit pembunuhan. Ia berharap, itu akan menjadi hari akhirnya dirundung mimpi buruk. Entah mengapa, ia meragukannya. Detektif. Meski telah menghabiskan hampir tiga tahun di unit kendaraan bermotor dan sudah memakai tanda pengenal sepanjang waktu. Ia tahu bahwa unit-unit yang lebih bergengsi perampokan, narkotika, dan pembunuhan. Sejak hari ini, ia adalah salah seorang anggota jajaran elit, salah seorang yang terpilih. Dari semua detektif bertanda pengenal emas di kepolisian Kadoma, para pria dan wanita di unit pembunuhan dipandang seperti dewa. Kau tak akan bisa memperoleh status kewajiban yang lebih tinggi. Mayat-mayat bermunculan di setiap aktivitas kerja, dari perampokan dan pencurian, kesepakatan obat terlarang yang runyam hingga argumen-argumen tak terkendali. Saat denyut nadi tak bisa dirasakan lagi, polisi patroli akan mengangkat telepon dan menghubungi unit pembunuhan. Sejak hari ini, ia akan berbicara untuk mereka yang tak lagi bisa berbicara untuk diri sendiri. “Kau mau sedikit muffin milik Mommy?” tanya Lilian. Ia telah menghabiskan tiga cup muffin, Theresa menuangkan banyak sekali choco lava di atas muffin tersebut hingga menjadi terasa sangat aneh di mulut Lilian. “Tidak, Mommy,” kata Theresa dengan mulut penuh buah rapsberry. Theresa duduk di seberang Lilian di meja dapur dengan bersemangat mewarnai sesuatu yang tampak seperti kodok berkaki enam, sedang mengunyah buah rapsberry favoritnya. “Kau yakin? Ini benar-benar enak.” “Tidak, Mommy.” Sialan, batin Lilian. Anak ini sama keras kepala seperti dirinya. Kapan pun memutuskan untuk melakukan sesuatu Theresa tak bisa digoyahkan. Ini tentu saja menjadi berita bagus dan berita buruk. Berita bagusnya, itu bermakna bahwa gadis kecil Lilian dan Lee Taeyong tak mudah menyerah begitu saja. Berita buruknya, Lilian bisa membayangkan perdebatan sengit mereka, kelak saat Theresa Lee menginjak usia remaja. Namun, sekarang setelah dirinya dan Taeyong berpisah, Lilian bertanya-tanya bagaimana itu akan memengaruhi Theresa secara jangka panjang. Jelas sekali bahwa Theresa kehilangan ayahnya. Lilian memandang ke arah kepala meja, tempat Theresa menyisakan tempat untuk Taeyong, perangkat perak yang dipilihnya adalah sendok sup kecil dan garpu kue tetapi, usahanyayang penting. Selama beberapa bulan terakhir, kapan saja Theresa membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan satu keluarga termasuk pesta teh di halaman belakang yang lazim dihadiri koleksi boneka beruangnya, boneka bebek, dan jerapah ia selalu menyediakan tempat untuk ayahnya. Theresa sudah cukup besar untuk tahu awal dunia keluarga kecilnya sedang jungkir balik tetapi, cukup muda untuk percaya bahwa keajaiban seorang gadis kecil mungkin bisa membuatnya lebih baik. Itu adalah satu dari ribuan alasan hati Lilian seperti tersayat tiap hari. Lilian baru saja memulai membuat rencana untuk mengalihkan perhatian Theresa sehingga bisa menuju bak cuci piring dengan mangkuk salad yang penuh genangan lava cokelat ketika telepon berbunyi. Itu adalah Marianna, saudara sepupu Lilian. Marianna Huang setahun lebih muda dan hampir seperti adik kandung buat Lilian. “Halo, detektif pembunuhan Lee,” kata Marianna “Hai, Marianna.” “Kau bisa tidur?” “Tentu saja, aku dapat dua jam penuh.” “Kau siap untuk hari besarmu?” “Tidak juga.” “Pakai saja rompi pelindung, kau akan baik-baik saja,” kata Marianna. “Jika menurutmu begitu, hanya ....” “Apa?” Ketakutan Lilian sangat tidak berfokus. Ia sulit menjelaskannya. Itu memang seperti hari pertama sekolah , taman kanak-kanak. “Hanya saja, ini hal pertama dalam hidup yang paling aku takutkan.” “Hei!” Marianna mulai menyalakan optimismenya. “Siapa yang berhasil lulus kuliah dalam tiga tahun?” Itu adalah hal rutin yang selalu mereka lakukan tetapi, Lilian tidak keberatan. Tidak untuk hari ini. “Aku.” “Siapa yang lulus ujian promosi pada kesempatan pertama?” “Aku.” “Dan siapa yang mengusir Kazami Miyuto karena meraba-raba selama battle juice?” “Aku,” kata Lilian, meski ia ingat tidak terlalu memperdulikannya. Kazami Miyuto itu tampan. Tetap, saja ada yang berprinsip di sana. “Dan, ingat siapa gadis pemberani kita,” kata Marianna. “Dan, ingat apa yang bisa dilontarkan nenek? Lebih baik telur hari ini dari pada ayam tetapi, besok.” Lilian teringat kembali masa kecilnya, saat liburan di rumah nenek di Hunan dengan aroma bawang putih, basil, asiago, dan merica bakar. Ia terkenang cara nenek duduk di teras depan pada musim semi dan musim panas, jarum rajut di tangan benang yang seolah tanpa akhir tergulung di lantai semen bersih tak bernoda, selalu berwarna hijau dan putih. Nenek melontarkan komentar cerdas buat semua orang yang mau mendengarnya. Percakapan berakhir dengan obrolan soal keluarga. Semua baik-baik saja, setidaknya begitu. Kemudian, seperti yang diperkirakan, Marianna berkata, “ Kau tau, dia sering menanyakanmu.” Lilian tahu benar siapa yang dimaksud dengan ‘dia’ oleh Marianna. Liu Yang Yang adalah dokter di ruang gawat darurat di distrik Gifu, tempat Marianna bekerja sebagai seorang perawat. Yang Yang dan Lilian pernah punya hubungan singkat atau bisa dibilang cinta kilat, sebelum akhirnya Lilian bertunangan dengan Taeyong. Lilian pernah bertemu dengannya pada suatu malam sebagai tak berseragam dengan membawa seorang anak tetangga yang mengahncurkan dua jarinya dengan sepucuk M-80. Lilian dan Yang Yang kemudian berkencan selama sebulan. Lilian sedang menjalin hubungan saat itu, pria ini adalah polisi berseragam di Shijonawate police station. Saat Taeyong mengutarakan pertanyaan kunci itu dan Yang Yang dihadapkan pada komitmen, Yang Yang mundur. Dengan kerenggangan pernikahannya, Lilian beribu kali berpikir apakah ia telah membiarkan hal yang baik pergi. “Dia merana, Lian,” kata Marianna. Marianna adalah satu-satunya orang yang menggunakan kata seperti merana. “Tak ada yang lebih membuat patah hati selain seorang pria tampan yang sedang jatuh cinta.” Marianna memang benar pada bagian ‘tampan’ Yang Yang adalah keturunan China asli dengan wajah manis, rambut gelap, bahu bidang, dan mata sipit yang tampak ikut tersenyum ketika ia tertawa. “Aku ini perempuan yang sudah menikah, Marianna.” “Tidak dalam situasi pernikahan ini.” “Katakan saja padanya aku bilang ... halo,” balas Lilian. “Cuma halo?” “Ya, untuk sekarang. Hal terakhir yang kubutuhkan dalam hidupku sekarang adalah seorang laki-laki.” “Ini mungkin kata-kata paling menyedihkan yang pernah kudengar,” kata Marianna. Lilian tertawa. “Kau benar, itu kedengaran memang sangat memelas.” “Semua sudah siap untuk nanti malam?” “Oh ya,” kata Lilian. “Siapa namanya?” “Kau siap?” “Katakan saja.” “Naya Kimura.” “Wow!” komentar Marianna. “Kimura?” “Kimura.” “Apa yang kamu tahu tentangnya?” “Aku menonton rekaman pertarungan terakhirnya,” kata Lilian. “Puff bedak.” Lilian adalah salah seorang atlet Taekwondo wanita Osaka dengan prestasi terus menanjak. Itu semua diawali keisengan di pusat kebugaran kepolisian saat Lilian berusaha menurunkan berat badan akibat kehamilannya. Dengan rekor 3-0, ketiga-tiganya dimenangkan dengan knock out, Lilian mulai mendapat liputan pers. Fakta bahwa ia memakai celana satin warna hitam strip putih dengan kata-kata TIGER LILY tersulam melintang di kanan kiri celananya ternyata tak merusak citranya. “Kau akan ke sana, kan?” tanya Lilian. “Tentu saja.” “Terima kasih,” kata Lilian, melirik ke arah jam dinding. “Dengar aku harus berangkat.” “Aku juga.” “Ada satu pertanyaan lagi untuk kamu, Marianna.” “Langsung saja.” “Kenapa aku jadi polisi?” “Mudah saja, kau menjadi polisi untuk membanting dan menganiaya.” “Jam delapan.” “Aku pasti datang.” “Aku sayang padamu.” “Aku juga.” Lilian menutup telepon, memandang ke arah Theresa anak itu sudah memutuskan menghubungkan titik-titik pada baju polkadotnya dengan magic marker oranye adalah ide cemerlang. Bagaimana bisa ia melewati ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN