Liburan tetap berjalan, meski bagi Gava, itu hanya rutinitas yang membosankan setelah kejadian kemarin. Gava berusaha keras untuk menyenangkan orang tuanya dan adiknya, menikmati momen yang seharusnya menggembirakan. Namun, di dalam hatinya, ada rasa canggung dan malu yang terus menghantuinya, terutama setiap kali dia berpapasan dengan Heartsa. Kejadian hari itu—kesalahpahaman yang tak terduga—masih membekas dan tidak di sangka keluar dari prediksinya.
Siang ini, suasana terasa berbeda. Acara keluarga telah dipersiapkan dengan matang: barbeque di sebuah resort mewah, di mana orang tuanya akan bertemu dengan kedua orang tua Heartsa. Sungguh sebuah pertemuan yang tidak diinginkannya, terutama karena dia tahu apa yang menjadi alasan pertemuan itu, Heartsa dan Nick keduanya telah melangkah ke arah serius, siap untuk bertunangan secara resmi di Jakarta, dan undangan itu juga mencakup banyak orang nanti.
Sejak acara di mulai Heartsa sama sekali tidak memperhatikan keberadaan Gava. Dia berdiri di tengah keramaian, dikelilingi oleh kedua orang tuanya dan orang tua Nick, dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Momen itu terasa seperti pisau yang mengiris dalam hati Gava. Ia menatap Heartsa, melihat betapa bahagianya gadis itu di samping Nick, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Shit, entah kenapa Gava merasa Nick tidak pantas dengan Heartsa, entahlah dia masih kurang percaya jika Nick benar-benar setia.
Gava merasakan ketidaknyamanan yang semakin mencekam di acara barbeque itu. Dia tidak ingin melihat kebahagiaan Heartsa dan Nick yang semakin menyakitkan hatinya. Dengan langkah cepat, dia menjauh dari keramaian, mencari tempat yang lebih tenang untuk menenangkan pikirannya.
Namun, sialnya, dia bertemu dengan seorang perempuan yang pernah dikenalnya di Thailand, Louis. Louis terlihat anggun dengan pakaian santai yang menonjolkan pesonanya. Mereka berbincang akrab di area dekat taman resort, mengingat kembali kenangan-kenangan seru saat mereka bertemu di sana.
Meskipun percakapan itu terasa menyenangkan, hati Gava tetap tak bisa sepenuhnya teralihkan dari bayangan Heartsa.
Ketika mereka berdua sedang tertawa, tiba-tiba Gava melihat sosok yang sangat dikenalnya—Heartsa. Dia melintas dengan cepat, tampaknya menuju toilet, dan saat mata mereka bertemu, Gava bisa merasakan aura dingin yang memancar dari Heartsa.
Tatapannya penuh sindiran, seolah-olah dia sedang mengumpat Gava dari jauh. Gava dapat merasakan bahwa Heartsa sedang mengutuknya, terutama karena Louis yang berada di sampingnya sangat dekat. Pakaian seksi yang dikenakan Louis semakin menambah pandangan buruk itu.
Namun, Gava memilih untuk bersikap santai, mengacuhkan Heartsa dan kembali fokus pada percakapan dengan Louis. “So, what are you doing here?” tanya Gava, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan tak enak yang menggelayuti hatinya. Dia tidak ingin membiarkan kehadiran Heartsa menghancurkan momen yang bisa jadi menyenangkan.
Louis tersenyum, “I’m just enjoying my holiday. This place is amazing! But how about you? You seem a bit... distracted.”
Heartsa berdiri di dalam toilet outdoor yang dikelilingi oleh nuansa alam yang asri, dengan suara mini air terjun yang menenangkan dan aroma tanaman hijau yang segar di sekelilingnya. Namun, kedamaian itu segera hancur saat dia melihat sesuatu yang bergerak dari sela-sela bebatuan. Heartsa panik dan ketakutan, dia melihat seekor ular berlenggok keluar, menampakkan diri dengan gerakan yang mengerikan.
“Tolooooong! Tolong!” teriak Heartsa, suaranya melengking penuh ketakutan. Beberapa orang di sekitar, termasuk Gava yang tidak jauh dari sana langsung berhenti dan menoleh ke arah suara panik tersebut. Hati Gava berdebar, dan instingnya langsung memicu rasa ingin tahu dan rasa tanggung jawab untuk membantu.
Dia melihat dua orang petugas housekeeping berbisik satu sama lain, gelisah dan tampak ragu. “Kami melihat ular itu, tapi sekarang sudah menghilang,” salah satu dari mereka menjelaskan dengan suara pelan, tetap memperhatikan sekeliling dengan waspada.
Gava merasa darahnya berdesir saat mendengar teriakan Heartsa.
“Ular?” gumamnya panik, langkahnya makin cepat menghampiri pintu toilet. Begitu melihat Heartsa, rasa cemas semakin memuncak.
Di dalam sana Heartsa, yang biasanya tegar, kini tampak begitu rapuh—naik ke atas pot bunga besar sambil menangis histeris, tubuhnya gemetar hebat. Dia tampak ketakutan luar biasa, seolah-olah ular itu mengincarnya.
“Heartsa tenang! Aku di sini.”
“Kak Gava, tolong! Ada ular dia lihat ke arah aku. Kak Gava tolong!” seru Heartsa dengan suara putus asa, memanggil nama Gava berulang kali.
Gava menendang pintu toilet dengan penuh ketegangan, berharap bisa mengalihkan perhatian ular itu. “Tolong, berikan aku sesuatu! Apa saja yang bisa digunakan untuk mengusir ular!” teriaknya kepada dua wanita housekeeping yang tampak ketakutan. Mereka tampak bingung dan ragu, tetapi akhirnya salah satu dari mereka mengeluarkan sapu panjang dari sudut.
Dengan cepat, Gava meraih sapu itu dan berlari ke arah Heartsa, yang masih berdiri di atas pot bunga dengan wajah pucat dan mata membelalak. “Heartsa, tetap di situ! Jangan bergerak!” serunya, berusaha mengingatkan dia agar tetap aman.
Namun, ular itu seolah tidak mengindahkan peringatan Gava. Dengan gerakan lambat dan penuh percaya diri, ular tersebut berjalan semakin dekat ke arah Heartsa, seolah-olah ingin menakut-nakutinya lebih jauh. Gava merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu dia harus segera bertindak.
“Hey! Ular bodoh!” teriak Gava, mengarahkan sapu ke arah ular itu dan berusaha untuk mengusirnya. “Jangan dekat-dekat dengan dia!”
Namun, meskipun suara Gava menggema, ular itu tetap melangkah maju, seolah tidak terpengaruh. Heartsa semakin panik, suara isak tangisnya menggema di udara. “Kak Gava, tolong!”
Dia melanjutkan langkahnya, bersiap untuk menggerakkan sapu dengan penuh kekuatan. Ini adalah momen yang menentukan, dan Gava tahu dia tidak boleh gagal.
Gava merasakan adrenalin memuncak saat satu pukulan sapu nyaris mengenai ular, tetapi dengan sigap, ular itu meluncur masuk ke dalam closet. Tanpa berpikir panjang, Gava segera menutup pintu closet, memastikan ular itu terkurung di dalam. Suasana di sekelilingnya tiba-tiba terasa lebih tenang, meskipun jantungnya masih berdebar kencang.
Begitu pintu tertutup, Heartsa langsung melompat dari pot bunga besar dan memeluk Gava dengan ketakutan, mengangkat kakinya seperti bayi yang berusaha mencari perlindungan. “Ayo pergi!!” teriaknya, suaranya bergetar penuh kepanikan.
Gava terkejut sejenak oleh pelukan mendadak itu, tetapi instingnya sebagai pelindung langsung beraksi. “Ya, kita pergi!” jawabnya cepat, mengaitkan satu lengan di punggung Heartsa dan menariknya menjauh dari toilet.
Di pelukan Heartsa yang hangat dan tanpa jarak itu, Gava merasakan seolah semua kekesalan dan rasa sakit di hatinya mendadak sirna. Sebuah perasaan yang aneh dan menyentuh memenuhi dadanya—perasaan di mana dia merasa dibutuhkan dan penting bagi seseorang.
Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya menjadi samar, hanya ada mereka berdua di sana, terlindungi dari segala kekacauan yang ada.
Gava ingin momen ini berlangsung selamanya. Ia menutup matanya sejenak, berusaha mengingat betapa berarti momen ini. Tidak ada rasa frustasi yang biasanya menghantuinya saat berada di dekat Heartsa, hanya ada kedamaian
Namun, dalam sekejap, Heartsa tersadar akan situasi yang aneh ini. Rasa nyaman yang semula menyelimuti dirinya mendadak sirna, digantikan oleh rasa canggung. Dia melihat sekeliling, menyadari bahwa mereka masih di toilet, dan suara orang-orang di luar mulai mengalihkan perhatian. Terlebih lagi, ada wanita yang bersama Gava tadi.
“Ah... maaf,” kata Heartsa, melepaskan pelukan itu dengan cepat, wajahnya memerah. “Aku hanya panik tadi. Itu tidak seharusnya terjadi.” Dia berusaha tertawa kecil, tetapi suaranya terdengar canggung, lebih seperti refleks dari ketidaknyamanan yang mendalam.
Gava merasakan perubahan itu, dan hatinya sedikit mencelus. Ia ingin mengatakan bahwa tidak ada yang aneh dari apa yang terjadi, bahwa mereka bisa saling mengandalkan satu sama lain dalam situasi sulit, tetapi kata-kata itu terasa tidak tepat saat melihat wajah bingung Heartsa.