9 ANJING

1769 Kata
Lama sekali Gava dan Heartsa duduk di restoran Italia itu. Dari awal mereka memesan makanan hingga minuman bahkan sampai menghabiskannya, waktu terus berjalan. Gava berusaha tampak tenang, tetapi matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap seseorang muncul dan meruntuhkan ketidakpastian yang menggantung di udara. Dalam hati, dia berharap bisa memperlihatkan sesuatu pada Heartsa, sesuatu yang membuktikan dugaannya—bahwa Nick mungkin ada di sini, atau akan segera tiba. Heartsa mulai gelisah. Tatapannya terus bergerak dari ponselnya ke Gava, dan akhirnya ke sekeliling restoran. Dia tidak tahan lagi dengan suasana yang serba tidak pasti ini. “Kak, kapan sih? Kita udah lama di sini, tapi nggak ada tanda-tanda apa pun,” tanya Heartsa, suaranya mulai terdengar cemas. Gava tetap tenang di luar, tapi dalam dirinya, ada kegelisahan yang tidak dia tunjukkan. “Sabar, mungkin sebentar lagi.” Setelah dua jam menunggu begitu lama tanpa jawaban pasti, Heartsa akhirnya tidak bisa lagi menahan kekesalannya. Ia berdiri dengan cepat, menghempaskan napas keras. “Aku nggak bisa terus di sini. Kakak Cuma kasih aku harapan tanpa bukti apa-apa!" Gava tidak menahannya, hanya mengamati Heartsa dengan tenang, namun matanya tetap mengikuti setiap gerakan gadis itu. “Heartsa, tunggu…” Tapi Heartsa sudah tidak peduli lagi. Dia mengambil tasnya dan berjalan cepat keluar dari restoran Italia itu. Langkahnya semakin cepat, mencoba menyingkirkan rasa frustrasi yang menyelimuti pikirannya. "Untuk apa percaya sama orang lain, nyatanya Nick saja masih terus menghubungi dia." Namun, ketika Heartsa mencapai pintu keluar restoran, pandangannya langsung membeku. Di sana, tepat di depan pintu, Nick berdiri—dan di sampingnya ada seorang wanita. Wanita itu tersenyum sambil berbicara, tangannya menyentuh lengan Nick dengan akrab. Nick menoleh saat melihat Heartsa berdiri terpaku di ambang pintu. Wajahnya langsung berubah terkejut. “Babe? What are you doing here?” Heartsa menatap Nick dengan pandangan yang penuh campuran emosi—kebingungan, kemarahan, dan kekecewaan. Tangannya gemetar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. “Nick?” suara Heartsa bergetar, menatap tak percaya pada pemandangan di depannya. Nick berdiri di sana, tampak terkejut, sementara wanita bule di sampingnya tersenyum ramah. “Hay, kamu pasti Heartsa! Hai, aku Maria,” wanita itu menyapa dengan senyuman cerah, seolah-olah tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Gava, yang berdiri tak jauh di belakang Heartsa, hampir tidak bisa menyembunyikan kepuasan di wajahnya. “Akhirnya,” serunya pelan dengan nada senang, “tertangkap basah, Nick. Nggak bisa berkelit lagi.” Heartsa merasa seakan bumi berputar cepat di bawah kakinya. Dia menatap tajam Nick, “Ini... apa maksudnya, Nick? Siapa Maria?” Suaranya naik, tidak bisa menahan amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya. Nick tampak gugup, tidak menyangka situasi ini akan terjadi. “Babe, aku bisa jelasin... ini bukan seperti yang kamu pikir.” “Tidak seperti yang aku pikir?” Heartsa menahan tawa pahitnya, “Aku udah nggak bisa percaya lagi. Kamu bilang sibuk sama mama kamu, ternyata kamu malah sama... Maria?” Gava bersandar di dinding dekat pintu restoran, menyilangkan tangan sambil menyaksikan drama yang sedang terjadi dengan senyum puas di wajahnya. Dalam hatinya, dia mulai menghitung mundur. “Tiga… dua… satu…” Dan benar saja, tepat saat dia sampai di angka terakhir, Heartsa meledak. “Kamu pikir aku bodoh, Nick?!” seru Heartsa, suaranya memecah suasana tenang restoran. “Sibuk sama mama? Ternyata malah sama Maria, wanita lain kamu!” Nick berusaha mendekat, mengangkat tangannya seolah mencoba meredakan situasi. “Babe, dengerin aku dulu—“ “Tidak ada yang perlu didengar!” potong Heartsa cepat, tatapannya penuh dengan kemarahan yang selama ini dia pendam. “Kamu terus bohong, terus sembunyi, dan sekarang ini? Kamu pikir aku nggak bisa lihat apa yang ada di depan mataku?!” Gava hanya menikmati setiap detik pertengkaran itu, senyumnya semakin lebar. Dia tahu ini adalah momen yang dia tunggu-tunggu. Nick akhirnya tak punya jalan keluar, dan untuk pertama kalinya, Gava merasa menang. "Kamu pembohong katanya lagi pergi sama mom kamu! kamu penipu! kamu tega permainan aku seperti ini, kamu tahu ngga usaha aku buat ada di sini. Kamu berengsek Nick!" Suasana semakin panas Heartsa terus melemparkan ucapan-ucapan kasar tentang perselingkuhan sampai akhirnya. Maria akhirnya menatap Heartsa dengan penuh penyesalan, mencoba menjelaskan situasinya. “Ini... ini semua kesalahpahaman, Heartsa,” katanya, suaranya tenang tapi jelas. “Nick tidak sedang berselingkuh denganku. Dia... dia di sini karena meminta bantuanku untuk... untuk menyusun kejutan.” Heartsa terdiam, kebingungan. “Kejutan apa? Omong kosong!” Nick, yang sudah tampak terpojok, akhirnya mendekat dengan raut wajah bersalah tapi tegas. “Aku tahu aku salah karena berbohong pergi bersama mama, tapi... aku Cuma ingin memberikan kejutan buat kamu, Heartsa. Aku sedang menyiapkan rencana untuk melamar kamu.” Nick kemudian melirik Maria. “Dan Maria bantu aku untuk menyiapkan semuanya.” Mata Heartsa melebar. “Melamar?” Maria mengangguk, wajahnya terlihat menyesal tapi juga meyakinkan. “Nick Cuma butuh bantuanku karena dia ingin semuanya sempurna untuk kamu. Aku nggak tahu kalau kamu akan berpikir yang lain. Babe percayalah!" "Heartsa, percayalah. Nick berkata jujur." Bantu Maria untuk Nick. Gava, yang tadinya menikmati drama ini, mendadak terdiam. Wajah senangnya perlahan memudar, merasakan bahwa situasi sudah tidak sesuai dengan yang dia bayangkan. Heartsa masih berdiri di sana, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Nick dan Maria. Semua emosi yang tadi mendidih di dalam dirinya kini berubah menjadi campuran antara terkejut dan bingung. Gava terdiam, matanya membelalak, terpaku di tempatnya. Semua rencana yang ia bayangkan akan mengungkap sisi buruk Nick kini berantakan. Alih-alih terbukti sebagai pahlawan bagi Heartsa, justru kenyataan ini membuat dirinya tampak seperti orang yang memfitnah Nick. Dia tak percaya bahwa semua kecurigaannya ternyata salah. “s**t,” Gava bergumam pelan, menelan ludah dengan susah payah. Dia menatap Heartsa, yang masih tampak kaget, mungkin kini mulai menatapnya dengan kebencian karena telah menuduh tunangannya tanpa alasan. Benar saja, setelah menyelesaikan masalahnya dengan Nick dan meminta maaf, Heartsa menghampiri Gava dengan tatapan penuh kebencian. Wajahnya merah padam, dan suaranya bergetar saat ia melontarkan setiap kata. “Lihat! Bukan berarti apa yang kakak lihat malam itu ketika Nick tinggalin aku, dia berselingkuh! Ini salah paham! Kakak juga berpikir terlalu jauh. Kakak jangan ikut campur sampai cari tahu tentang Nick dan mengorek semuanya! Kakak tahu, aku mengerti kakak peduli, tapi kakak terlalu jauh bertindak. Sekarang urus aja diri kakak dan kehidupan kakak sendiri!” Heartsa berhenti sejenak, napasnya terengah-engah, sebelum melanjutkan. “Itu aku lihat semalam, wanita-wanita kakak cari kakak. Ada yang telepon, kirim pesan, sampai maki aku karena aku angkat telepon kakak! Ya ampun, bingung apa yang cocok untuk pria seperti ini? Playboy? Atau b******k? b******n? Entahlah!” Gava terdiam, hatinya bergetar oleh setiap kata yang diucapkan Heartsa. Dia ingin menjelaskan, membela diri, tapi rasanya semua usaha itu sia-sia. Dia tahu, di hadapan Heartsa kini semua alasan yang dia berikan akan terabaikan. Dia hanya bisa menatapnya, merasakan kemarahan yang terbayang jelas di wajah gadis itu. “Sekarang, pergi dari sini!” Heartsa menambahkan, suaranya menggetar oleh emosi. “Aku nggak mau lihat wajah kakak lagi! Apapun alasannya!" Dan tanpa menunggu jawaban, Heartsa berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Gava sendirian di tengah kebisingan restoran yang kini terasa begitu hampa. *** Beberapa jam kemudian... Gava merasakan seolah seluruh dunia terbalik, dia merasa malu, telak sekali. Sial, Gava merasa gelisah. Acara cuti liburannya di Bali terasa berantakan. Dia termenung sendirian di pantai, sementara adik dan ayah bundanya bersenang-senang di dekat air, tertawa dan bermain. Suara ombak yang tenang seakan tak bisa menutupi kegundahan di hatinya. Kepalanya berputar mengingat perdebatan dengan Heartsa, tatapan marah dan penuh kebencian yang dilemparkan gadis itu seakan terus mengulang dalam pikirannya. Betapa cepat segalanya berubah; dari momen penuh harapan menjadi kekecewaan yang menyakitkan. Gava menghirup udara segar, mencoba menenangkan diri, tetapi rasanya semua itu sia-sia. Dia merasa kehilangan semangat. Pantai yang seharusnya memberikan ketenangan malah membuatnya semakin merindukan Heartsa. Dia mengingat senyumnya, tawanya, dan betapa nyaman rasanya ketika berada di dekatnya. Kini, semua itu terasa jauh dan tak terjangkau. Gava menarik napas dalam-dalam, menatap horizon di depan, berharap bisa melihat jalan keluar dari kebuntuan ini. Di satu sisi, dia ingin menjelaskan semuanya kepada Heartsa, memberi tahu bahwa niatnya bukan untuk merusak hubungannya dengan Nick. Di sisi lain, dia tahu bahwa kata-kata itu mungkin tidak akan cukup untuk menghapus rasa sakit yang dirasakannya. “Tidak niat? Ah omong kosong kau benar berniat sialnya kau salah caranya captain!” Gava kemudian pergi menghabiskan malam kembali bersama teman-temannya di klub malam yang gemerlap. Suara musik yang menggema, lampu-lampu berkelap-kelip, dan kerumunan wanita yang mengelilinginya seharusnya membuatnya merasa hidup. Namun, sialnya, semua itu terasa hampa. Ia mengabaikan semua perhatian yang diberikan oleh para wanita yang berusaha mendekatinya. Sebuah tawaran minuman, senyuman menggoda, dan tawa riang tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Heartsa. Dalam pikirannya, hanya ada satu wajah yang ingin ia lihat, satu senyuman yang ingin ia rasakan—dan itu bukanlah milik para wanita yang kini memadati sekelilingnya. Dia merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak ada artinya, sementara jantungnya terus berdebar, merindukan sosok yang sudah bahagia bersama pria lain. Seiring berjalannya waktu, keramaian di sekitarnya semakin mengganggu. Musik yang awalnya energik kini terdengar monoton di telinganya. Setiap tawa dan teriakan seakan hanya menekankan kesunyian yang dirasakannya. Gava merasa semakin terasing di tengah keramaian, seakan terkurung dalam kotak kaca yang tidak bisa ditembus oleh kegembiraan orang lain. Saat Gava kembali ke villa, suasana hati yang sudah kacau semakin memburuk. Di dalam mobil, ia menyesal tak bisa melupakan semua yang terjadi, namun saat keluar, matanya menangkap sosok Heartsa yang terlihat bahagia. Gadis itu berjalan dengan langkah ringan, mengenakan gaun indah yang mengalun di sekeliling kakinya. Namun, yang paling menarik perhatian Gava adalah buket bunga besar yang dipegang Heartsa dan beberapa orang yang membantunya membawa hadiah-hadiah lain. Senyuman lebar di wajahnya membuat jantung Gava berdebar tidak karuan, tapi juga menciptakan rasa sakit yang mendalam. Jarak antara mereka semakin mendekat, dan Gava melihat dengan jelas saat Nick merengkuh pinggang Heartsa, mendekatkannya pada dirinya dengan lembut. Sementara itu, jari Heartsa berkilau dengan sebuah cincin yang bersinar di bawah sinar lampu villa. Gava merasa seolah-olah semua harapannya runtuh dalam sekejap. Cincin itu... apakah itu pertanda? Apakah Bull dog itu benar-benar melamar Heartsa? Gava mengamati momen manis itu, kehadiran Nick yang tampaknya sangat bahagia bersamanya. Dia mengecup tangan Heartsa dengan lembut sebelum membantu gadis itu kembali ke kamarnya. Gava berjalan kesal melangkah kembali ke Villa di mana bunda dan ayahnya berada setelah Nick dan Heartsa sudah tidak terlihat lagi, dia mengumpati apa yang tadi dia lihat sebelum akhirnya benar-benar turun dari mobil. “Anjiing, Anjiing, Anjing Pudel, Anjing Bulldog, Anjing Husky, Anjing gunung, Anjing sawah, Anjing bukit, Anjing Vila, Bule Anjing!” Sang bunda yang berada di depan pintu mendengar suara seseorang berbicara pun terkejut, “Hey? Apa itu bicaranya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN