Siang menjelang, kesibukan di Algateri juga kian beragam. Setelah menghabiskan waktu di roftoof sekolah, Ranjiel dan Lia juga kembali ke kelas masing-masing.
Ranjiel masih sangat penasaran dengan tempat yang Tuti tuju tadi pagi, ia juga penasaran dengan pria misterius yang bersama Tuti. Tidak ... cowok ganteng itu bukan ingin tahu karena ia cemburu, tetapi ia ingin mencari titik kelemahan Tuti.
Di saat Ranjiel sedang termenung, Rini segera duduk di samping Ranjiel, dan memberikan beberapa data yang Ranjiel inginkan sebulan lalu. Ia tersenyum saat Ranjiel menatap beberapa lembar kertas di atas meja, ada pula amplop cokelat yang tentu berisi banyak hal-hal penting.
Ranjiel segera meraih kertas-kertas berisi keterangan tentang musuh bebuyutannya. Ia melirik Rini yang masih setia duduk sambil tersenyum menatapnya.
“Nape lo?” tanya Ranjiel.
“Nungguin Anjiel baca. Kan kalo Rini udah dapet yang Anjiel mau, Anjiel mau kasi Rini hadiah.”
Sejenak Ranjiel berpikir, ia kemudian mengangguk. “Minggat sono, kalo nggak, gue nggak akan kasi apa-apa.”
Rini segera berdiri, ia tak bisa memaksakan kehendaknya kepada Ranjiel.
“Rini, pulang sekolah ke kolam renang. Gue kasi di sana aja hadiahnya,” ujar Ranjiel sebelum Rini melangkah lebih jauh.
Mendengar keinginan Ranjiel, Rini merasa senang. “Oke deh. Rini tunggu ntar di sana.”
Setelah Rini pergi, Ranjiel meraih amplop cokelat yang ada di atas mejanya. Cowok itu segera membukanya dan menemukan hal gila yang pasti tidak diketahui publik.
“Bangkeh! Gila aja tu bocah, bener-bener nggak ada akhlak. Bener-bener dah, gue bisa hoki terus kalo gini.”
Teman sekelas Ranjiel mengalihkan perhatian mereka. Bahkan Fadhol yang terkenal paling serius dalam belajar mengakhiri percintaannya dengan soal-soal latihan.
“Bos, lo nape?” tanya Samudra yang duduk di seberang Ranjiel, tepat pada bagian paling belakang sebelah kanan.
“Samud, lo mau jajan terus pan?” tanya Ranjiel dengan wajah berseri.
“Woh iya, nape? Lo menang togel?” tanya Samudra.
“Iye, togel buat ngancem si Tuti.”
Mendengar nama Tuti samudra jadi bersemangat, cowok itu menyeringai. “Bener-bener hoki. Kapan nyamperin Nyi Roro Ngibul?”
Ranjiel segera berdiri lalu menyimpnan data yang Rini berikan pada laci meja, ia menuju pintu keluar dari kelas. “Dol, mau ikut kagak?”
Fadhol yang mendapat pertanyaan segera mengangguk, ia menutup buku dan menghampiri Ranjiel. Sedangkan Samudra, cowok itu tak perlu diajak juga akan mengikuti Ranjiel.
Ketiga cowok itu keluar dari ruangan, Ranjiel terlihat begitu senang, bahkan ia bersiul. Samudra yang masih penasaran dengan apa yang Ranjiel temukan. Sedangkan Fadhol yang hanya ikut tanpa tahu apa-apa tentang tujuan mereka sekarang.
Setelah cukup jauh dari kelas, Ranjiel berhenti melangkah. Ia menatap kedua temannya, senyuman aneh dipajang, mengundang kecurigaan Fadhol dan Samudra.
“Lo kerasukan?” tanya Fadhol.
“Bos, lo nape?” tanya Samudra dengan tampang serius.
“Lo bedua tau nggak? Gue tadi pagi liat Tuti ke belakang sekolah.” Ranjiel menatap kiri dan kanan, lorong sekolah memang sangat sepi sekarang. Wajar, belum ada orang yang keluar dari kelas, sedangkan mereka tidak memiliki guru beberapa saat lalu.
“Serius?” tanya Fadhol.
“Belakang sekolah pan sarangnya demit, ngapain tu bocah ke sana?” Fadhol merinding, ia ingat saat mendengar cerita temannya tentang bagian belakang sekolah.
Algateri dulunya ada pemakaman massal, banyaknya pembantaian pada masa orde baru membuat banyak pula mayat tak di ketahui milik keluarga mana. Tidak heran jika tempat itu juga terkenal dengan keangkerannya.
Samudra segera memukul kepala Fadhol agak keras. Ia kemudian tertawa kecil saat temannya itu menatap jengkel padanya.
“Si Tuti pan demit, otak lo lagi kececeran?” tanya Samudra.
“Ye ... lo pan juga demit, Samud.” Fadhol menepis tangan Samudra yang ada pada bahunya. Ia merasa agak kesal saat temannya itu menyerang tiba-tiba.
Ranjiel mengibaskan tangannya, meminta kedua temannya untuk berhenti berdebat.
“Si Tuti ama bapak-bapak. Gue nggak kenal, tapi gue curiga kalo di belakang sekolah ada apa-apanya.” Ranjiel bersedekap, ia memikirkan semua kemungkinan yang bisa saja ada di sana.
Ketiganya kembali terdiam, mereka berpikir tentang apa yang Tuti lakukan pagi-pagi di belakang sekolah. Tetapi nahas, tak jauh dari mereka seseorang sedang berdiri dengan wajah kesal. Orang itu mengeluarkan penggaris berwarna cokelat panjang.
“Ngapain kalian di luar, hah?” tanya orang itu.
Ranjiel, Samudra, dan Fadhol menatap pada sumber suara. Mereka melihat salah satu guru yang cukup ditakuti, Pak Herman, Guru BK.
“Eh, ada Pak Heran. Ini loh, Pak. Kita lagi nyari angin,” ujar Ranjiel dengan wajah tak berdosa.
“Nyari angin apaan kalian? Bener-bener murid nggak ada akhlak. Masuk! Saya nggak mau tau, masuk sekarang!” tegas Pak Herman.
“Kalau kita nggak mau gimana, Pak?” tanya Samudra.
Fadhol memamerkan deretan giginya. “Satu ... dua ... LARI!”
Ranjiel, Samudra, dan Fadhol segera berlari ke arah lapangan. Mereka jelas cukup ngeri dengan penggaris yang sang guru pegangan.
“Awas kalian bertiga!” seru Pak Herman. Ia mengejar ketiga muridnya, penggaris yang ada di tangannya terangkat, siap untuk memukul di antara ketiga cowok itu.
“Kabur! Pak Heran kerasukan,” ujar Samudra. Ia berlari sekuat tenaga, mereka kini berada di koridor sekolah.
“Awas kamu, Samudra! Bapak pukul kamu pakek penggaris kalo dapet,” balas Pak Herman.
“Pak ... tobat, udah tua! Nggak boleh mukul anak orang,” ujar Fadhol. Ia terus berusaha lolos dari kejaran Pak Herman, belum lagi ia berada di barisan paling belakang.
“Bodo amat! Kalian itu pantas dihukum,” ujar Pak Herman yang terus berlari mengejar murid-muridnya.
“Pak Heran, ntar napasnya tambah pendek kalo lari-lari. Bapak mau mati cepet?” tanya Ranjiel.
Pak Herman yang mendengar pertanyaan Ranjiel segera berlari secepat yang ia bisa. Pria paruh baya itu benar-benar kesal dengan kelakuan murid nakalnya hari ini, belum lagi ia mendapat tuntutan dari keluarga besarnya saat makan malam beberapa hari lalu.
Sementara Pak Herman terus mengejar, Ranjiel dan kedua temannya terus berlari. Mereka melompat teras dan berdiri di lapangan. Tanpa menunggu lama mereka segera berlari, tak peduli teriknya matahari, bahkan tak peduli pada peluh yang mulai membasahi baju sekolah mereka.
“Berenti kalian!” teriak Pak Herman dari kejauhan.
“NGGAK MAU!” seru ketiganya serempak.
Pak Herman bertambah kesal, ia berhenti sejenak dan mengatur napasnya yang tersengal. “AWAS KALIAN BERTIGA!”
Ranjiel, Samudra, dan Fadhol menatap ke belakang. Mereka melihat Pak Herman yang berhenti dan mencari napasnya. Mereka berhenti sekitar lima meter dari Pak Herman, menatap pria paruh baya itu dengan tatapan mengejek. Napas mereka juga memburu, maklum, dari gosip yang beredar Pak Herman ahli dalam bidang olahraga lari cepat.
“Pak, capek?” tanya Ranjiel.
“Iya, capek.” Pak Herman tak sempat untuk mengejar sekarang, lonceng di kepalanya mengingatkan tentang satu hal. Murid-muridnya itu masih muda, mereka punya stamina, dan ia tak akan bisa menangkap murid-muridnya dengan begitu mudah.
“Perlu peti atau kain kafan, Pak?” tanya Samudra.
Pak Herman langsung menatap Samudra. “Perlu mukulin kamu!”
“Pak, mau minum es kagak?” tanya Fadhol.
“Saya haus, Pak. Kita lanjut besok aja main kejar-kejarannya.” Fadhol menyeka keringat di wajahnya.
Pak Herman segera berdiri tegak, ia tersenyum dan berkacak pinggang. “Yakin banget kalian bisa lari dari saya.”
“Ye ... si Bapak. Udah ngos-ngosan masih aja,” ujar Samudra.
“Coba lari, saya nggak ngejar juga kalian kena tangkap.”
Ranjiel dan kedua temannya memilih pergi, sepertinya Pak Herman memang sudah menyerah. Saat mereka membalikkan badan, mereka dikagetkan dengan Razka, Ketua OSIS SMA Algateri.
“Tangkap, bawa ke ruangan Pak Herman.” Razka menatap Ranjiel, adiknya itu benar-benar tak berubah.
“BAPAK MAIN CURANG!” ujar Ranjiel dan kedua temannya secara bersamaan.
Perangkat OSIS yang bersama Razka segera menangkap ketiga pembuat onar, mereka menggiring ketiganya ke ruangan Pak Herman.
“Terima kasih, Razka. Bapak bener-bener nggak tau gimana ngurus Ranjiel ama temen-temennya.” Pak Herman menepuk pundak Razka.
“Saya juga minta maaf, Pak. Ranjiel emang susah diatur, nakalnya bener-bener bikin pusing.” Razka tersenyum.
“Ya udah, ayo, kita ke ruangan saya.”
Razka dan Pak Herman segera menyusul perangkat OSIS yang membawa Ranjiel dan kedua temannya.